Kamis, 03 November 2016

Membaca Sejarah (Wonosobo), Memasuki Ruang yang Penuh Jebakan.

 Pembentukan Kabupaten Wonosobo setelah berdirinya NKRI didasarkan pada UU No. 13 Tahun 1950, yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 8 Agustus 1950. Berdasarkan catatan sejarah Wonosobo dinyatakan sah berdiri pada tanggal 24 Juli 1825. Tahun yang sama yang mengingatkan terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Tanggal itu ditetapkan berdasarkan hasil penelitian dari UGM yang dipimpin DR. Joko serta hasil seminar pada tahun 1994 yang diikuti oleh para ahli dan tokoh masyarakat Wonosobo.
Tahun 1825 merupakan tahun yang menandai kemenangan Muh. Ngarpah dan Mulya Sentika beserta prajuritnya dalam menghadapi Belanda (VOC) di daerah Legorok (perbatasan Magelang dan Wonosobo). Atas kemenangan itu Pangeran Diponegoro menganugerahkan gelar kepada Muh. Ngarpah (Kanjeng Raden Tumenggung Setjonegoro), Mulya Sentika (Kanjeng Raden Tumenggung Kertanegara). Selanjutnya Setjonegoro ‘dianggap’ sebagai Bupati pertama (1825-1832).
Karena sebagai sebuah distrik Kabupaten yang sudah berdiri sebelum NKRI maka berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948 oleh Presiden Soekarno dan Mendagri Soekiman, Wonosobo ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Daerah Istimewa” atau “Daerah Otonomi” yang berhak mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Akan tetapi keistimewaan itu kurang mendapat penegasan secara signifikan dari Pempus, Pemda, dan masyarakatnya sehingga lambat laun keistimewaan itu memudar seiring perkembangan zaman, terutama saat berkuasanya Orde Baru.
Dalam buku Kenang-Kenangan DPRDS Kabupaten Wonosobo 1950-1959 menyatakan bahwa:
Sesudah Yogyakarta, Wonosobo adalah kota kedua yang berkat ketertiban daripada rakyatnya, dalam Pemerintahan RI., yang sebagai hasil perundingan tingkat atasan, oleh tentara pendudukan Belanda diserahkan kembali kepada RI.


Menilik Sejarah Keberadaan Wonosobo
            Pemerintahan Wonosobo dulunya berawal dari daerah Ledok (sekarang Plobangan, Selomerto). Saat itu yang memimpin adalah Tumenggung Djogonegoro, yang hidup sezaman dengan ‘Sultan Sepuh’ di Mataram (kisaran abad 18). Mataram waktu itu dibagi menjadi dua bagian (bedasar perjanjian Giyanti, 1755), yakni Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwono III sebagai raja dan Kasultanan Yogyakarta dengan Hemengkubuwono 1 sebagai raja. Daerah Wonosobo saat itu kemungkinan berada di bawah pemerintahan HB 1.
            Dari versi lain, ada juga seorang tokoh lagi bernama Tumenggung Djoyonegoro, (hanya berbeda ‘y’ dan ‘g’) dengan Djogonegoro. Djoyonegoro diketahui hidup pada kisaran abad ke-17, itu artinya ia hidup di masa pemberontakan Trunojoyo (masa Amangkurat 1). Ada kemungkinan Djogonegoro dan Djoyonegoro merupakan orang yang sama, sebab menurut kisahnya ketika wafat mereka sama-sama dikebumikan di daerah Pakuncen. Dari kedua versi tersebut memang masih menyisakan perdebatan karena terbatasnya sumber sejarah.
            Menurut Serat Walisana yang ditulis oleh Sunan Giri, sebelum masa Mataram, yakni pada masa Kerajaan Demak (akhir), nama ‘Wonosobo’ atau ‘Wanasaba’ juga sudah ada. Penggunaan kata ‘Wanasaba’ dipakai sebagai gelar oleh seorang tokoh, yakni Ki Gede Wanasaba. Dia adalah salah seorang yang digolongkan sebagai wali, yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam. Lagi-lagi karena kurangnya sumber sejarah, belum bisa diketahui secara pasti keterkaitan antara Ki Gede Wanasaba dan Wonosobo.
            Lebih jauh, di dalam penaklukan terhadap daerah bawahan Majapahit  yang dilakukan oleh para Wali Kerajaan Demak (berdasar babat yang lahir dan ditulis dari Kraton Mataram Yogyakarta), Kadipaten Wonosobo pada tahun 1522 merupakan bagian dari Kadipaten Pengging. Pengging pada abad ke-15 bisa dikatakan sebagai Negara bayangan dari kerajaan Hindu Kediri dan Daha di Jawa Timur. Babat Tanah Jawi dan Babat Demak mencatat nama Wonosobo dan Dieng dengan menyebut ‘Ledok’ dan ‘Gowong’.
            Lebih jauh lagi, jika menilik dari munculnya Prasasti Canggal di Gunung Wukir (Salam Magelang) yang diidentifikasi sebagai tonggak pengetahuan keberadaan Wangsa Sanjaya (Hindu) dan Prasasti Sojomerto (Banjarnegara) sebagai tonggak pengetahuan keberadaan Wangsa Syailendra (Budha), keduanya muncul kira-kira abad ke-7, kemudian berkembang dan menemukan kebesarannya pada abad ke-9. Wonosobo dan Dieng (yang mungkin saat itu belum bernama) memiliki peran penting terhadap keberadaan dan keberlangsungan kerajaan, khususnya masa kedua wangsa itu.
            Bukti peran penting itu adalah banyak ditemukannya candi-candi di daerah pegunungan Dieng. Dulu candi dibangun dan difungsikan sebagai tempat peribadatan (pusat kosmos). Di sisi lain ada kecenderungan orang-orang pada zaman (Wangsa Sanjaya dan Syailendra) memang memiliki kebiasaan hidup di daerah tinggi (pegunungan).
            Hidup di pengunungan memiliki resiko, terutama ancaman bencana gunung berapi. Banyak dari kerajaan-kerajaan di Jawa yang mengalami permasalahan dengan gunung berapi. Akibat bencana ini mau tidak mau mereka harus mengungsi dan turun gunung mencari tempat yang aman. Dari kejadian inilah kemudian terjadi pengalihan pusat pemerintahan kerajaan. Contoh yang paling jelas adalah dengan munculnya candi-candi di dataran rendah.
            Dari beberapa catatan di atas, setidaknya daerah Wonosobo berperan penting menjadi daerah yang memiliki lokasi strategis untuk mendirikan sebuah kerajaan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah belum adanya sumber pasti yang menunjukkan angka berdirinya ‘Wonosobo’.

Pendiri dan Masa Pemerintahan Wonosobo
            Disebutkan bahwa pendiri Wonosobo adalah tiga orang kyai, yakni Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete. Ketiga orang ini di kalangan masyarakat dianggap sebagai Kyai yang berpengaruh besar terhadap keberadaan Kabupaten Wonosobo. Kyai Walik merintis suatu pemukiman di daerah kota (yang sekarang), Kyai Karim di Kalibeber, dan Kyai Kolodete di daerah Dieng.
            Kemudian dikenal pula (nama-nama pemimpin/bupati Wonosobo) (1) Ki Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala daerah di Selomanik dengan Ki Butowereng sebagai patihnya (daerah selomanik dianggap sebagai daerah yang pertama kali difungsikan sebagai pusat pemerintahan sebelum dipindah-pindahkan sampai beberapa kali); (2) Ki Tumenggung Wiraduta menggantikan Ki Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala daerah berpusat di Pecekelan (Kalilusi); (3) Adipati Sidokolo berpusat di Leksono; (4) Ki Tumenggung Djogonegoro di Ledok; (5) Ki Tumenggung Tjokrodimedjo (putra Djogonegoro) memindah pusat pemerintahan ke Selomerto, (6) Tumenggung Surodipoero masih di Selomerto (setelah Surodipoero agaknya tidak ada lagi nama yang disebut-sebut sebagai adipati); (7) memasuki abad ke-19 muncul Muh. Ngarpah (Tumenggung Setjonegoro) (1825-1832) Tumenggung Setjonegoro adalah bupati yang memindah pusat pemerintahan Wonosobo dari Selomerto ke tempat yang sekarang ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan; (8) R. Tumenggung Mangoenkoesoemo (1832-1857); (9) Tumenggung Kertonegoro (1857-1863); (10) Tumenggung  Tjokrohadisoerjo (1863-1889); (11) Tumenggung Soerjohadikoesoemo (R. Parikesit) (1889-1898); (12) Tumenggung Soerjohadinegoro (1898-1919); (13) R. A. A Sosrodiprodjo (1920-1944); (14) R. S Hadipoero (1944-1946); (15) R. Soemindro (1946-1950); (16) R. Kadri (1950-1954); (17) R. Oemar Soerjokoesoemo (1954-1955); (18) R. Sangidi Hadisoetirto (1955-1957); (19) Rapingoen Wimbohadi Soedjono (1957-1959); (20) R. Wibowo Helly (1960-1967); (21) Drs. Darodjat A.N.S (1967-1974); (22) Pj Bupati R. Marjaban (1974-1975); (23) Drs. Soekanto (1975-1985); (24) Drs. Poedjihardjo (1985-1990); (25) H. Soemadi (1990-1995); (26) Drs. H. Margono (1995-2000); (27) Drs. Trimawan Nugrohadi (2000-2005); (28) Drs. Kholiq Arif, M.Si. (2010-2015).

            Secara umum masyarakat Wonosobo meyakini bahwa orang-orang yang pertama ‘mbukak alas’ adalah Kyai Walik, Karim, dan Kolodete. Akan tetapi lagi-lagi belum ada catatan resmi yang merujuk pada ada angka tahun mengenai kapan terjadinya peristiwa itu.
Share:

Selasa, 05 April 2016

KESATRIA YANG SEDANG MENCARI (MEMBACA PUISI RABBANI)




           Kesatria yang Sedang Mencari (membaca puisi Rabbani) - Saya kira hampir setiap manusia memiliki misi di setiap kehidupanya, entah apa itu, jika belum bisa menemukanya dapat dikatakan kita masih dalam keadaan “amnesia” dan berusaha untuk menemukanya. Usaha yang telah dilalui selama ini, juga ketika anda sedang membaca tulisan saya, merupakan suatu usaha meniti langkah demi langkah untuk mencapai garis itu. Beruntung kepada seseorang yang telah menemukan apa yang sejatinya dalam hidup, jika telah menemukanya kemudian digunakan sebagai kompas untuk menentukan kemana langkah selanjutnya akan ditempuh. Jika anda bertanya bagaimana dengan saya? Sayapun masih dalam tanda tanya besar, masih berusaha menyingkapkan tabir itu, berusaha untuk merobohkan sekat-sekat labirin, sampai menemukan titik cerah yang mengisyaratkan jalan keluar yang harus dituju. Ada satu kalimat yang saya ingat dari DEE “Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi kita lagi.”
Share:

Minggu, 17 Januari 2016

MEMBACA DENGAN CERMIN DAN MEMBACA DENGAN RASA


Membaca dengan Cermin dan Membaca dengan Rasa

Kota Gede, komunitas belajar sastra Jejak Imaji kedatangan sesepuh sastra Yogyakarta, Iman Budhi Santosa. Kedatangannya di sekertariat Jejak Imaji untuk berbagi pengalaman sebagai penulis yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia sastra.
“Pertemuan ini untuk menjawab kegundahan penulis muda dalam mencipta karya yang sering mandek, sementara mereka terus produktif dalam berkarya. Mestinya bisa menjadi contoh bagi penulis muda untuk terus mengasah kemampuannya.” Terang Iqbal H Saputra (17/1/2016)
Acara ini juga dijadikan media silaturahmi penulis muda kepada sesepuh sastra di Yogyakarta.
“Tentu saja dengan silaturahmi ini selain belajar pada sesepuh, kami berharap para penulis muda mampu menjalin komunikasi dengan yang sudah lebih dahulu berkecimpung di dunia sastra.” Sambung Iqbal.
Dalam acara yang dihadiri lima belas orang ini Iman Budi Santosa berbicara tentang masalah proses kreatif.
“Kembali lagi pada falsafah Jawa, menulis itu adalah membaca dengan cermin dan membaca dengan rasa. Selama ini masalah utama penulis muda adalah malas membaca, sehingga dalam menulis seringkali ide habis di tengah jalan.” Terang Iman. (afr/sur)




Share: