Pembentukan Kabupaten Wonosobo setelah berdirinya
NKRI didasarkan pada UU No. 13 Tahun 1950, yang ditetapkan di Yogyakarta pada
tanggal 8 Agustus 1950. Berdasarkan catatan sejarah Wonosobo dinyatakan sah
berdiri pada tanggal 24 Juli 1825. Tahun yang sama yang mengingatkan terjadinya
Perang Diponegoro (1825-1830). Tanggal itu ditetapkan berdasarkan hasil
penelitian dari UGM yang dipimpin DR. Joko serta hasil seminar pada tahun 1994
yang diikuti oleh para ahli dan tokoh masyarakat Wonosobo.
Tahun 1825 merupakan tahun yang menandai kemenangan
Muh. Ngarpah dan Mulya Sentika beserta prajuritnya dalam menghadapi Belanda
(VOC) di daerah Legorok (perbatasan Magelang dan Wonosobo). Atas kemenangan itu
Pangeran Diponegoro menganugerahkan gelar kepada Muh. Ngarpah (Kanjeng Raden
Tumenggung Setjonegoro), Mulya Sentika (Kanjeng Raden Tumenggung Kertanegara).
Selanjutnya Setjonegoro ‘dianggap’ sebagai Bupati pertama (1825-1832).
Karena sebagai sebuah distrik Kabupaten yang sudah
berdiri sebelum NKRI maka berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, yang ditetapkan di
Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948 oleh Presiden Soekarno dan Mendagri
Soekiman, Wonosobo ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Daerah Istimewa” atau
“Daerah Otonomi” yang berhak mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Akan
tetapi keistimewaan itu kurang mendapat penegasan secara signifikan dari
Pempus, Pemda, dan masyarakatnya sehingga lambat laun keistimewaan itu memudar
seiring perkembangan zaman, terutama saat berkuasanya Orde Baru.
Dalam buku Kenang-Kenangan
DPRDS Kabupaten Wonosobo 1950-1959 menyatakan bahwa:
Sesudah Yogyakarta, Wonosobo adalah kota
kedua yang berkat ketertiban daripada rakyatnya, dalam Pemerintahan RI., yang
sebagai hasil perundingan tingkat atasan, oleh tentara pendudukan Belanda
diserahkan kembali kepada RI.
Menilik Sejarah
Keberadaan Wonosobo
Pemerintahan Wonosobo dulunya
berawal dari daerah Ledok (sekarang Plobangan, Selomerto). Saat itu yang
memimpin adalah Tumenggung Djogonegoro, yang hidup sezaman dengan ‘Sultan
Sepuh’ di Mataram (kisaran abad 18). Mataram waktu itu dibagi menjadi dua
bagian (bedasar perjanjian Giyanti, 1755), yakni Kasunanan Surakarta dengan
Pakubuwono III sebagai raja dan Kasultanan Yogyakarta dengan Hemengkubuwono 1
sebagai raja. Daerah Wonosobo saat itu kemungkinan berada di bawah pemerintahan
HB 1.
Dari versi lain, ada juga seorang
tokoh lagi bernama Tumenggung Djoyonegoro, (hanya berbeda ‘y’ dan ‘g’) dengan
Djogonegoro. Djoyonegoro diketahui hidup pada kisaran abad ke-17, itu artinya
ia hidup di masa pemberontakan Trunojoyo (masa Amangkurat 1). Ada kemungkinan
Djogonegoro dan Djoyonegoro merupakan orang yang sama, sebab menurut kisahnya ketika
wafat mereka sama-sama dikebumikan di daerah Pakuncen. Dari kedua versi
tersebut memang masih menyisakan perdebatan karena terbatasnya sumber sejarah.
Menurut Serat Walisana yang ditulis oleh Sunan Giri, sebelum masa Mataram, yakni pada masa Kerajaan Demak (akhir),
nama ‘Wonosobo’ atau ‘Wanasaba’ juga sudah ada. Penggunaan kata ‘Wanasaba’
dipakai sebagai gelar oleh seorang tokoh, yakni Ki Gede Wanasaba. Dia adalah
salah seorang yang digolongkan sebagai wali, yang ditugaskan untuk menyebarkan
agama Islam. Lagi-lagi karena kurangnya sumber sejarah, belum bisa diketahui secara
pasti keterkaitan antara Ki Gede Wanasaba dan Wonosobo.
Lebih jauh, di dalam penaklukan
terhadap daerah bawahan Majapahit yang
dilakukan oleh para Wali Kerajaan Demak (berdasar babat yang lahir dan ditulis
dari Kraton Mataram Yogyakarta), Kadipaten Wonosobo pada tahun 1522 merupakan
bagian dari Kadipaten Pengging. Pengging pada abad ke-15 bisa dikatakan sebagai
Negara bayangan dari kerajaan Hindu Kediri dan Daha di Jawa Timur. Babat Tanah Jawi dan Babat Demak mencatat nama Wonosobo dan
Dieng dengan menyebut ‘Ledok’ dan ‘Gowong’.
Lebih jauh lagi, jika menilik dari
munculnya Prasasti Canggal di Gunung Wukir (Salam Magelang) yang diidentifikasi
sebagai tonggak pengetahuan keberadaan Wangsa Sanjaya (Hindu) dan Prasasti
Sojomerto (Banjarnegara) sebagai tonggak pengetahuan keberadaan Wangsa
Syailendra (Budha), keduanya muncul kira-kira abad ke-7, kemudian berkembang
dan menemukan kebesarannya pada abad ke-9. Wonosobo dan Dieng (yang mungkin
saat itu belum bernama) memiliki peran penting terhadap keberadaan dan
keberlangsungan kerajaan, khususnya masa kedua wangsa itu.
Bukti peran penting itu adalah
banyak ditemukannya candi-candi di daerah pegunungan Dieng. Dulu candi dibangun
dan difungsikan sebagai tempat peribadatan (pusat kosmos). Di sisi lain ada
kecenderungan orang-orang pada zaman (Wangsa Sanjaya dan Syailendra) memang memiliki
kebiasaan hidup di daerah tinggi (pegunungan).
Hidup di pengunungan memiliki
resiko, terutama ancaman bencana gunung berapi. Banyak dari kerajaan-kerajaan
di Jawa yang mengalami permasalahan dengan gunung berapi. Akibat bencana ini
mau tidak mau mereka harus mengungsi dan turun gunung mencari tempat yang aman.
Dari kejadian inilah kemudian terjadi pengalihan pusat pemerintahan kerajaan. Contoh
yang paling jelas adalah dengan munculnya candi-candi di dataran rendah.
Dari beberapa catatan di atas,
setidaknya daerah Wonosobo berperan penting menjadi daerah yang memiliki lokasi
strategis untuk mendirikan sebuah kerajaan. Akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah belum adanya sumber pasti yang menunjukkan angka berdirinya
‘Wonosobo’.
Pendiri dan Masa
Pemerintahan Wonosobo
Disebutkan bahwa
pendiri Wonosobo adalah tiga orang kyai, yakni Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai
Kolodete. Ketiga orang ini di
kalangan masyarakat dianggap sebagai Kyai yang berpengaruh besar terhadap
keberadaan Kabupaten Wonosobo. Kyai Walik merintis suatu pemukiman di daerah
kota (yang sekarang), Kyai Karim di Kalibeber, dan Kyai Kolodete di daerah
Dieng.
Kemudian dikenal pula (nama-nama
pemimpin/bupati Wonosobo) (1) Ki Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala daerah
di Selomanik dengan Ki Butowereng sebagai patihnya (daerah selomanik dianggap
sebagai daerah yang pertama kali difungsikan sebagai pusat pemerintahan sebelum
dipindah-pindahkan sampai beberapa kali); (2) Ki Tumenggung Wiraduta
menggantikan Ki Tumenggung Kartawasesa sebagai kepala daerah berpusat di
Pecekelan (Kalilusi); (3) Adipati Sidokolo berpusat di Leksono; (4) Ki Tumenggung
Djogonegoro di Ledok; (5) Ki Tumenggung Tjokrodimedjo (putra Djogonegoro) memindah
pusat pemerintahan ke Selomerto, (6) Tumenggung Surodipoero masih di Selomerto
(setelah Surodipoero agaknya tidak ada lagi nama yang disebut-sebut sebagai
adipati); (7) memasuki abad ke-19 muncul Muh. Ngarpah (Tumenggung Setjonegoro)
(1825-1832) Tumenggung Setjonegoro adalah bupati yang memindah pusat
pemerintahan Wonosobo dari Selomerto ke tempat yang sekarang ini dijadikan
sebagai pusat pemerintahan; (8) R. Tumenggung Mangoenkoesoemo (1832-1857); (9)
Tumenggung Kertonegoro (1857-1863); (10) Tumenggung Tjokrohadisoerjo (1863-1889); (11) Tumenggung
Soerjohadikoesoemo (R. Parikesit) (1889-1898); (12) Tumenggung Soerjohadinegoro
(1898-1919); (13) R. A. A Sosrodiprodjo (1920-1944); (14) R. S Hadipoero
(1944-1946); (15) R. Soemindro (1946-1950); (16) R. Kadri (1950-1954); (17) R.
Oemar Soerjokoesoemo (1954-1955); (18) R. Sangidi Hadisoetirto (1955-1957);
(19) Rapingoen Wimbohadi Soedjono (1957-1959); (20) R. Wibowo Helly
(1960-1967); (21) Drs. Darodjat A.N.S (1967-1974); (22) Pj Bupati R. Marjaban (1974-1975);
(23) Drs. Soekanto (1975-1985); (24) Drs. Poedjihardjo (1985-1990); (25) H.
Soemadi (1990-1995); (26) Drs. H. Margono (1995-2000); (27) Drs. Trimawan
Nugrohadi (2000-2005); (28) Drs. Kholiq Arif, M.Si. (2010-2015).
Secara umum masyarakat Wonosobo meyakini
bahwa orang-orang yang pertama ‘mbukak alas’ adalah Kyai Walik, Karim, dan
Kolodete. Akan tetapi lagi-lagi belum ada catatan resmi yang merujuk pada ada
angka tahun mengenai kapan terjadinya peristiwa itu.