Selasa, 05 April 2016

KESATRIA YANG SEDANG MENCARI (MEMBACA PUISI RABBANI)




           Kesatria yang Sedang Mencari (membaca puisi Rabbani) - Saya kira hampir setiap manusia memiliki misi di setiap kehidupanya, entah apa itu, jika belum bisa menemukanya dapat dikatakan kita masih dalam keadaan “amnesia” dan berusaha untuk menemukanya. Usaha yang telah dilalui selama ini, juga ketika anda sedang membaca tulisan saya, merupakan suatu usaha meniti langkah demi langkah untuk mencapai garis itu. Beruntung kepada seseorang yang telah menemukan apa yang sejatinya dalam hidup, jika telah menemukanya kemudian digunakan sebagai kompas untuk menentukan kemana langkah selanjutnya akan ditempuh. Jika anda bertanya bagaimana dengan saya? Sayapun masih dalam tanda tanya besar, masih berusaha menyingkapkan tabir itu, berusaha untuk merobohkan sekat-sekat labirin, sampai menemukan titik cerah yang mengisyaratkan jalan keluar yang harus dituju. Ada satu kalimat yang saya ingat dari DEE “Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi kita lagi.”

            Apa hubunganya dengan pembahasan puisi yang ditulis oleh Rabbani dalam diskusi kali ini. Melalui puisi “Pencarian” karya Rabbani, kata pencarian mengantarkan saya pada beberapa cerita baik yang bergenre roman maupun epos, misalnya kisah dari Negeri Arab Layla Majnun karangan Syaikh Nizami, Yusuf dan Zulaikha karya Hakim Nurrudin Abdurrahman Jami, beberapa kisah roman Disney yang difilmkan, The Alchemist karya Paulo Coelho, beberapa novel Indonesia, salah satunya tetralogi Laskar pelangi karya Andrea Hirata. Dalam cerita epos Ramayana dari India oleh Wlmiki, kisah antara sinta dengan Rama. Kemudian dalam kakawin, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa yang menceritakan pernikahan Arjuna dengan tujuh bidadari, Hariwangsa karya Empu Panuluh yang menceritakan kisah Rukmini dengan Krisna, Gatotkacasraya karya Panuluh menceritakan kisah Abimanyu dengan Siti Sundari (terlalu banyak untuk disebutkan). Hampir sebagian besar karya memiliki unsur pencarian, baik terhadap pencarian jati diri maupun kisah cinta yang menjadi bumbu utama sebuah cerita. Tidak lain juga halnya dengan puisi, misalnya beberapa puisi Chairl Anwar dalam antologi Aku Ini Binatang Jalang, Sapardi dalam Hujan Bulan Juni, Abdul Hadi W.M dalam Mereka Menunggu Ibunya (masih banyak lainya yang tidak disebutkan). Dari beberapa contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah karya yang diciptakan berhubungan erat dengan pencarian, hal tersebut  bukanlah sesuatu yang asing lagi.
            Saya memang belum membaca karya-karya Rabbani sebelumnya dan pada kesempatan ini, saya lebih cenderung memilih puisi berjudul “Pencarian” sebagai pokok bahasan dari essay saya, sebab menurut pandangan saya, karya ini lebih menarik untuk ditelisik lebih dalam. Saya tidak berniat untuk menyingkirkan karya yang satunya, lebih pada alasan agar lebih mendalam. Dengan membaca dua puisi yang dikirimkan sebagai tugas wajib, Rabbani telah berusaha melompat keluar dari dirinya sendiri dengan menuliskan puisi yang berjudul “Pencarian” yang ditujukan kepada Sekar Nitra, sebuah cerita rakyat dari Lombok, kemudian masuk lagi ke dalam dirinya yang kemudian dituangkan ke dalam bahasa, sehingga terbentuklah sebuah puisi sebagai baerikut.

Pencarian
: Sekar Nitra

Sebagai Gurantang, kau adalah ketakutan yang harus kuselamatkan, merebutmu dari Gendawa yang kini rupa dan perangainya menipu mata.

“Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di pucuk rotan!”

Hari ini, embun sahaja dilahirkan atas namamu. Maka, segala dapat kupercaya kata dan isyaratnya.

Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang terarah menahan langkah.

Jejak Imaji – Yogyakarta, Maret 2016

            Dalam puisi “Pencarian” terdapat beberapa tokoh seperti Sekar Nitra, Gurantang, Gendawa nama-nama yang diambil dari sebuah cerita cerita rakyat Sasak Cupak Gerantang. Cerita rakyat Cupak Gerantang/Cupak Gurantang dimulai dari kerajaan Budha Daha yang berkembang pada sekitar abad ke IX Masehi. Kerajaan Daha merupakan kerajaan Budha yang pernah ada di pulau Lombok. Pusat kerajaan ini bearada di wilayah Bayan Barat yang sekarang menjadi Desa Senaru. Kerajaan Daha dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan nama Datu Daha. Datu Daha didampingi oleh dua orang patih, mereka adalah Patih Mangku Bumi dan Patih Mangku Negara. Datu Daha juga memiliki seorang putri yang sangat cantik, putrinya itu bernama Dewi Sekar Nitra.
Diceritakan bahwa Sekar Nitra diculik oleh Gendawa (raksasa buruk rupa) ketika sedang berjalan-jalan di hutan dengan ditemani oleh kedua patihnya. Kemudian, karena kehilangan seoarang putri maka dibuatlah sebuah saimbara. Sementara itu, di tengah hutan belantara dua orang pemuda sedang melakukan pengembaraan. Pada suatu hari, kedua pemuda ini bertemu di tengah hutan yang sangat lebat. Konon hutan itu merupakan hutan adat Senaru saat ini. Kedua pemuda tersebut adalah Cupak sebagai kakak dan Gurantang sebagai adik. Mulai dari saat itu, mereka berjalan bersama-sama menyusuri hutan belantara. Ketika Cupak merasa lapar, Ia menyuruh Gurantang untuk mencarikan makanan, namun ditolak oleh Guarantang. Cupak menuju rumah yang mengepul asap, hingga akhirnya sampailah Ia ke sebuah rumah pasangan suami istri, yang bernama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di kawasan Pawang Bening. Setelah Si Cupak sampai di rumah Inak Bangkol, Ia tidak mendapatkan apa-apa karena keangkuhan dan ketidaksopanannya. Cupak kemudian kembali menemui adiknya dan menyuruh adiknya, dengan kesopanannya maka Gurantang mendapatkan nasi untuk menyambung hidup bersama kakaknya. Sesampainya di tempat kakanya menunggu, Ia disuruh lagi untuk mengambil air, kemudian makanan dihabiskan semua oleh kakanya.
            Mereka melakukan perjalanan kembali, kemudian bertemu dengan patih kerajaan Daha dan menerima tawaran. Sebenarnya, Cupak berwajah buruk dan tidak memiliki kedikdayaan, tapi Ia hendak memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh Guarantang. Setelah bertemu Raja dan menikmati hidangan, mereka kemudian berangkat menuju hutan untuk mencari Sekar. Bertemulah dengan raksasa itu, Cupak mau melarikan diri, namun ditahan oleh Guarantang agar apa yang sudah dijanjikan kepada raja bisa dilaksanakan.  Melihat kakaknya dikalahkan oleh raksasa itu, Gurantang langsung menyerang raksasa tersebut. Pertarungan berjalan dengan sengit dan akhirnya raksasa tersebut terjatuh dan pingsan karena terkena kesaktian Gurantang. Melihat situasi yang begitu menguntungkan maka Cupak maju dan membunuh raksasa yang sudah pingsan itu dengan keris yang dibawa dari kerajaan Daha.
Selanjutnya, mereka berunding untuk menyepakati siapa yang akan turun ke dalam sumur tempat Dewi Sekar Nitra disembunyikan oleh raksasa. Karena alasan Cupak terlalu besar dan berat untuk diturun naikkan dengan tali, maka Cupak menyuruh adiknya untuk turun. Cupak di atas yang akan menarik tali dan Guarantang menaikkan sang putri. Di dalam sumur tersebut, Gurantang menemukan sosok perempuan cantik yang sedang bersimpuh penuh rasa ketakutan. Sosok itu adalah Dewi Sekar Nitra. Melalui sisat licik Cupak, akhirnya setelah Dewi Sekar terselamatkan Cupak menutup gua dengan batu. Cupak mengatakan, bahwa Gurantang seorang penghianat dan pengecut. Ia mengatakan bahwa Gurantang melarikan diri saat diserang oleh raksasa dan kemudian ia jatuh ke jurang dan tertimpa oleh batu.
Mendengar pengakuan Cupak, sang putri langsung menyanggah dan berkata bahwa yang menyelamatkan dirinya yaitu Gurantang dan Cupaklah yang menimbun Gurantang dengan batu di dalam sumur, namun alasan tersebut tidak menggoyahkan raja. Dewi Sekar akan menikah dengan Cupak, berita itu tersebar ke seluruh penjuru. Guarantang sebenarnya belum mati, ia dapat keluar dari dalam sumur. Gurantang mengakui dirinya dan ingin bertemu dengan Datu Daha. Akhirnya dia bertemu dengan Patih Mangku Bumi dan Mangku Negara, karena percaya akan perkataan Cupak, maka kedua patih kerajaan Daha ini membunuh Gurantang dan mayatnya dibuang ke sungai. Pada saat itu, sebenarnya Gurantang pingsan, namun kedua patih tersebut menganggapnya sudah mati.
Gurantang yang dibuang ke sungai ditemukan oleh sepasang suami istri yang sedang menagkap ikan di muara sungai. Suami istri itu adalah Inaq Kasian dan Amaq Kasian. Merekapun membawa tubuh Gurantang yang sudah lunglai ke rumah mereka, di sana Gurantang dirawat dan dianggap sebagai anak mereka sendiri hingga Gurantang sembuh dari lukanya. Pada suatu hari, Inaq Kasian mendapat berita bahwa di kerajaan Daha ada Gawe Beleq (pesta besar-besaran). Datu Daha akan menikahkan Dewi Sekar Nitra dengan Raden Cupak. Sebelum diadakan pernikahan, Raden Cupak mengetes kemapuanya bahwa dirinya pantas.  Melalui sebuah arena, Gurantang dengan Cupak dipertemukan kembali dan adutanding, disitu Cupak dikalahkan. Guarantang menang dan mendapatkan Dewi Sekar.
Demikian cerita rakyat dari suku Sasak Lombok yang saya rasa menjadi sumber imaji dari puisi Rabbani tersebut. Ada sebuah perjalanan yang dilakukan oleh Guarantang untuk menemukan cinta, melalui halang rintangnya, tetapi tetap selalu dimenangkan oleh kebaikan dan cinta sejati. Kembali pada puisi Rabbani, pada baris kedua /Gendawa yang kini rupa dan perangainya menipu mata/ tentu berbeda dengan apa yang terdapat di dalam cerita tersebut. “Gendawa” bisa diartikan sebagai berbagai macam hal, seperti laki-laki atau kehidupan moderen yang menyilaukan. /Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di pucuk rotan!”/ pemilihan diksi sabda embun di pucuk rotan membuat saya berimajinasi, karena struktur rotan yang memiliki ruas-ruas panjang dan memilik duri-duri tajam di permukaan batangnya, rotan juga dapat tumbuh sampai puluhan meter, batang rotan mampu menyimpan air jika ditebas, mengapa kata rotan yang digunakan, apakah sifat rotan yang ingin digali, atau jenis rotan di Indonesia yang lebih dari 200 species ingin dimunculkan atau karena konteks cerita yang berada dihutan. Sah-sah saja penyair ini untuk memasukan kata ke dalam karyanya, pastilah ada maksud tersendiri. Menurut saya, pemilihan diksi yang dirangkai menjadi kalimat /Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di pucuk rotan!”/ terkesan meloncat dan sedikit memkasa, mungkin bisa diperbaiki dengan /kau tak lagi kupahami, bagai  embun di pucuk rotan!”/ atau bisa diletakan pada akhir puisi.
Kemudian pada baris /embun sahaja dilahirkan atas namamu/, “embun” terbentuk dari uap-uap air yang kembali berubah menjadi titik-titik air, hal ini dapat terbentuk pada suhu yang cukup dingin dan kondisi yang cukup tenang, sebenarnya tidak menunggu pada malam hari, namun pada malam hari adalah kondisi yang memenuhi kondisi tersebut. Embun yang sering dijumpai pada pagi hari ini memberikan nuansa yang damai dan sejuk. Pemilihan embun pada baris tersebut, bisa dimaksudkan Nama Sekar membawa sebuah kepribadian yang dapat menyejukan hati. /Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang terarah menahan langkah/ Pada baris terakhir, mengisyaratkan bahwa ada sebuah perjuangan yang dipertanyakan, isyarat-isyarat yang diterima seperti angin yang sejenak berhembus kemudian berlalu.
Membaca cerita rakyat kemudaian membaca karya Rabbani yang berjudul “Pencarian”, cerita rakyat dijadikan sebagai sebuah modeling. Hal demikian sah-sah saja, dari kacamata sosiologi sastra karya sastra tercipta tercipta dari produk budaya[1]. Dengan membaca cerita rakyat menimbulkan suatu imajinasi yang kemudian diubah menjadi puisi oleh Rabbani. Menurut Bandura, seorang ahli psikologi yang lahir di Kanada tahun 1925 dan menggawangi teori behaviorial, menyatakan tahapan modeling, yaitu atensi (perhatian), retensi (ingatan), dan reproduksi[2]. Saya rasa, Rabbani telah melakukan ketiga tahap ini. Pertama, pada tahap atensi yaitu untuk mempelajari sesuatu maka harus diperhatikan secara saksama. Dalam hal ini, Rabbani telah mempelajari bagaimana cerita rakyat Sasak Cupak Gerantang dijadikan sebagai modelingnya. Cerita yang diambil dari tempat dimana Rabbani dilahirkan. Merupakan upaya penyair untuk mengangkat lagi dari produk lokalitasnya. Kedua, adanya retensi yang dibangun, penyair mencoba mengingat-ingat apa yang diperhatikan. Di tahap ini, adanya permainan bahasa, dibentuk dalam citraan-citraan, ada imajinasi yang tertuang. Ketiga, setelah menggali ingatan kemudian kemampuan dikeluarkan untuk memproduksi apa yang telah disusun. Pada bagian ini, Rabbani berimprovisasi menghadirkan sesosok pelaku. Keempat, adanya motivasi, dalam melakukan apapun tentunya memiliki motivasi dalam diri. Ada kemungkinan motivasi itu berupa dorongan masa lalu, dorongan yang bisa dibayangkan dan dorongan kepada model-model yang patut ditiru.
Secara keseluruhan membaca puisi ini, ada nada pesimistik, kesatria yang ragu dalam pengembaraan untuk memenangkan cinta. Berbeda sekali dengan Guarantang yang terdapat dalam cerita rakyat Sasak Cupak Gerantang. Keraguan tersebut dapat dilihat pada baris terakhir /Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang terarah menahan langkah./ Maka pada penutup bahasan essay saya ini saya ingin mengatakan semoga kesatria tidak berhenti dalam perjalanan sebuah pencarian.


[1] Susanto, Dwi. 2012. Pengatar teori sastra.CAPS: Yogyakarta. Hlm.10
[2] Boree, George. 2013. Personality Theories:Melacak Kepribadian Andan Bersama Psikologi Dunia. Prismashopie:Jakarta. Hlm. 236-238.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar