Oleh
Widya Prana Rini
Kesatria yang Sedang Mencari (membaca puisi Rabbani) - Saya
kira hampir setiap manusia memiliki misi di setiap kehidupanya, entah apa itu,
jika belum bisa menemukanya dapat dikatakan kita masih dalam keadaan “amnesia”
dan berusaha untuk menemukanya. Usaha yang telah dilalui selama ini, juga
ketika anda sedang membaca tulisan saya, merupakan suatu usaha meniti langkah
demi langkah untuk mencapai garis itu. Beruntung kepada seseorang yang telah
menemukan apa yang sejatinya dalam hidup, jika telah menemukanya kemudian digunakan
sebagai kompas untuk menentukan kemana langkah selanjutnya akan ditempuh. Jika anda
bertanya bagaimana dengan saya? Sayapun masih dalam tanda tanya besar, masih
berusaha menyingkapkan tabir itu, berusaha untuk merobohkan sekat-sekat labirin,
sampai menemukan titik cerah yang mengisyaratkan jalan keluar yang harus
dituju. Ada satu kalimat yang saya ingat dari DEE “Berputar menjadi sesuatu
yang bukan kita, demi bisa menjadi kita lagi.”
Apa
hubunganya dengan pembahasan puisi yang ditulis oleh Rabbani dalam diskusi kali
ini. Melalui puisi “Pencarian” karya Rabbani, kata pencarian
mengantarkan saya pada beberapa cerita baik yang bergenre roman maupun epos,
misalnya kisah dari Negeri Arab Layla Majnun karangan Syaikh Nizami, Yusuf
dan Zulaikha karya Hakim Nurrudin Abdurrahman Jami, beberapa kisah roman Disney
yang difilmkan, The Alchemist karya Paulo Coelho, beberapa novel
Indonesia, salah satunya tetralogi Laskar pelangi karya Andrea Hirata.
Dalam cerita epos Ramayana dari India oleh Wlmiki, kisah antara sinta dengan
Rama. Kemudian dalam kakawin, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa yang
menceritakan pernikahan Arjuna dengan tujuh bidadari, Hariwangsa karya
Empu Panuluh yang menceritakan kisah Rukmini dengan Krisna, Gatotkacasraya
karya Panuluh menceritakan kisah Abimanyu dengan Siti Sundari (terlalu banyak
untuk disebutkan). Hampir sebagian besar karya memiliki unsur pencarian, baik
terhadap pencarian jati diri maupun kisah cinta yang menjadi bumbu utama sebuah
cerita. Tidak lain juga halnya dengan puisi, misalnya beberapa puisi Chairl
Anwar dalam antologi Aku Ini Binatang Jalang, Sapardi dalam Hujan
Bulan Juni, Abdul Hadi W.M dalam Mereka Menunggu Ibunya (masih
banyak lainya yang tidak disebutkan). Dari beberapa contoh tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sebuah karya yang diciptakan berhubungan erat dengan pencarian,
hal tersebut bukanlah sesuatu yang asing
lagi.
Saya
memang belum membaca karya-karya Rabbani sebelumnya dan pada kesempatan ini,
saya lebih cenderung memilih puisi berjudul “Pencarian” sebagai pokok
bahasan dari essay saya, sebab menurut pandangan saya, karya ini lebih menarik
untuk ditelisik lebih dalam. Saya tidak berniat untuk menyingkirkan karya yang
satunya, lebih pada alasan agar lebih mendalam. Dengan membaca dua puisi yang
dikirimkan sebagai tugas wajib, Rabbani telah berusaha melompat keluar dari
dirinya sendiri dengan menuliskan puisi yang berjudul “Pencarian” yang
ditujukan kepada Sekar Nitra, sebuah cerita rakyat dari Lombok, kemudian masuk
lagi ke dalam dirinya yang kemudian dituangkan ke dalam bahasa, sehingga
terbentuklah sebuah puisi sebagai baerikut.
Pencarian
: Sekar Nitra
Sebagai
Gurantang, kau adalah ketakutan yang harus kuselamatkan, merebutmu dari Gendawa
yang kini rupa dan perangainya menipu mata.
“Sebab kau, tak lagi kupahami sabda
embun di pucuk rotan!”
Hari
ini, embun sahaja dilahirkan atas namamu. Maka, segala dapat kupercaya kata dan
isyaratnya.
Tapi
Nitra, benarkah kau juga menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan isyarat yang
kuterima, tak lebih dari angin yang terarah menahan langkah.
Jejak Imaji – Yogyakarta, Maret
2016
Dalam
puisi “Pencarian” terdapat beberapa tokoh seperti Sekar Nitra, Gurantang,
Gendawa nama-nama yang diambil dari sebuah cerita cerita rakyat Sasak Cupak Gerantang. Cerita rakyat Cupak Gerantang/Cupak Gurantang dimulai dari kerajaan
Budha Daha yang berkembang pada sekitar abad ke IX Masehi. Kerajaan Daha
merupakan kerajaan Budha yang pernah ada di pulau Lombok. Pusat kerajaan ini
bearada di wilayah Bayan Barat yang sekarang menjadi Desa Senaru. Kerajaan Daha
dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan nama Datu Daha. Datu Daha didampingi
oleh dua orang patih, mereka adalah Patih Mangku Bumi dan Patih Mangku Negara.
Datu Daha juga memiliki seorang putri yang sangat cantik, putrinya itu bernama
Dewi Sekar Nitra.
Diceritakan bahwa Sekar Nitra diculik oleh
Gendawa (raksasa buruk rupa) ketika sedang berjalan-jalan di hutan dengan
ditemani oleh kedua patihnya. Kemudian, karena kehilangan seoarang putri maka
dibuatlah sebuah saimbara. Sementara itu, di tengah hutan belantara dua orang
pemuda sedang melakukan pengembaraan. Pada suatu hari, kedua pemuda ini bertemu
di tengah hutan yang sangat lebat. Konon hutan itu merupakan hutan adat Senaru
saat ini. Kedua pemuda tersebut adalah Cupak sebagai kakak dan Gurantang
sebagai adik. Mulai dari saat itu, mereka berjalan bersama-sama menyusuri hutan
belantara. Ketika Cupak merasa lapar, Ia menyuruh Gurantang untuk mencarikan
makanan, namun ditolak oleh Guarantang. Cupak menuju rumah yang mengepul asap,
hingga akhirnya sampailah Ia ke sebuah rumah pasangan suami istri, yang bernama
Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di kawasan Pawang Bening. Setelah Si Cupak sampai
di rumah Inak Bangkol, Ia tidak mendapatkan apa-apa karena keangkuhan dan
ketidaksopanannya. Cupak kemudian kembali menemui adiknya dan menyuruh adiknya,
dengan kesopanannya maka Gurantang mendapatkan nasi untuk menyambung hidup
bersama kakaknya. Sesampainya di tempat kakanya menunggu, Ia disuruh lagi untuk
mengambil air, kemudian makanan dihabiskan semua oleh kakanya.
Mereka
melakukan perjalanan kembali, kemudian bertemu dengan patih kerajaan Daha dan
menerima tawaran. Sebenarnya, Cupak berwajah buruk dan tidak memiliki
kedikdayaan, tapi Ia hendak memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh Guarantang.
Setelah bertemu Raja dan menikmati hidangan, mereka kemudian berangkat menuju
hutan untuk mencari Sekar. Bertemulah dengan raksasa itu, Cupak mau melarikan
diri, namun ditahan oleh Guarantang agar apa yang sudah dijanjikan kepada raja
bisa dilaksanakan. Melihat kakaknya
dikalahkan oleh raksasa itu, Gurantang langsung menyerang raksasa tersebut.
Pertarungan berjalan dengan sengit dan akhirnya raksasa tersebut terjatuh dan
pingsan karena terkena kesaktian Gurantang. Melihat situasi yang begitu
menguntungkan maka Cupak maju dan membunuh raksasa yang sudah pingsan itu
dengan keris yang dibawa dari kerajaan Daha.
Selanjutnya, mereka berunding untuk menyepakati
siapa yang akan turun ke dalam sumur tempat Dewi Sekar Nitra disembunyikan oleh
raksasa. Karena alasan Cupak terlalu besar dan berat untuk diturun naikkan
dengan tali, maka Cupak menyuruh adiknya untuk turun. Cupak di atas yang akan
menarik tali dan Guarantang menaikkan sang putri. Di dalam sumur tersebut, Gurantang
menemukan sosok perempuan cantik yang sedang bersimpuh penuh rasa ketakutan.
Sosok itu adalah Dewi Sekar Nitra. Melalui sisat licik Cupak, akhirnya setelah
Dewi Sekar terselamatkan Cupak menutup gua dengan batu. Cupak mengatakan, bahwa
Gurantang seorang penghianat dan pengecut. Ia mengatakan bahwa Gurantang
melarikan diri saat diserang oleh raksasa dan kemudian ia jatuh ke jurang dan
tertimpa oleh batu.
Mendengar pengakuan Cupak, sang putri langsung
menyanggah dan berkata bahwa yang menyelamatkan dirinya yaitu Gurantang dan
Cupaklah yang menimbun Gurantang dengan batu di dalam sumur, namun alasan
tersebut tidak menggoyahkan raja. Dewi Sekar akan menikah dengan Cupak, berita
itu tersebar ke seluruh penjuru. Guarantang sebenarnya belum mati, ia dapat
keluar dari dalam sumur. Gurantang mengakui dirinya dan ingin bertemu dengan
Datu Daha. Akhirnya dia bertemu dengan Patih Mangku Bumi dan Mangku Negara, karena
percaya akan perkataan Cupak, maka kedua patih kerajaan Daha ini membunuh
Gurantang dan mayatnya dibuang ke sungai. Pada saat itu, sebenarnya Gurantang
pingsan, namun kedua patih tersebut menganggapnya sudah mati.
Gurantang yang dibuang ke sungai ditemukan oleh
sepasang suami istri yang sedang menagkap ikan di muara sungai. Suami istri itu
adalah Inaq Kasian dan Amaq Kasian. Merekapun membawa tubuh Gurantang yang
sudah lunglai ke rumah mereka, di sana Gurantang dirawat dan dianggap sebagai
anak mereka sendiri hingga Gurantang sembuh dari lukanya. Pada suatu hari, Inaq
Kasian mendapat berita bahwa di kerajaan Daha ada Gawe Beleq (pesta
besar-besaran). Datu Daha akan menikahkan Dewi Sekar Nitra dengan Raden Cupak.
Sebelum diadakan pernikahan, Raden Cupak mengetes kemapuanya bahwa dirinya
pantas. Melalui sebuah arena, Gurantang dengan
Cupak dipertemukan kembali dan adutanding, disitu Cupak dikalahkan. Guarantang
menang dan mendapatkan Dewi Sekar.
Demikian cerita rakyat dari suku Sasak Lombok yang saya rasa menjadi sumber
imaji dari puisi Rabbani tersebut. Ada sebuah perjalanan yang dilakukan oleh
Guarantang untuk menemukan cinta, melalui halang rintangnya, tetapi tetap
selalu dimenangkan oleh kebaikan dan cinta sejati. Kembali pada puisi Rabbani,
pada baris kedua /Gendawa yang kini rupa dan perangainya
menipu mata/ tentu berbeda dengan apa yang terdapat
di dalam cerita tersebut. “Gendawa” bisa diartikan sebagai berbagai
macam hal, seperti laki-laki atau kehidupan moderen yang menyilaukan. /Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di
pucuk rotan!”/ pemilihan diksi sabda embun di pucuk rotan membuat saya berimajinasi, karena struktur
rotan yang memiliki ruas-ruas panjang dan memilik duri-duri tajam di permukaan
batangnya, rotan juga dapat tumbuh sampai puluhan meter, batang rotan mampu
menyimpan air jika ditebas, mengapa kata rotan yang digunakan, apakah sifat
rotan yang ingin digali, atau jenis rotan di Indonesia yang lebih dari 200 species
ingin dimunculkan atau karena konteks cerita yang berada dihutan. Sah-sah saja
penyair ini untuk memasukan kata ke dalam karyanya, pastilah ada maksud
tersendiri. Menurut saya, pemilihan diksi yang dirangkai menjadi kalimat /Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di
pucuk rotan!”/ terkesan meloncat
dan sedikit memkasa, mungkin bisa diperbaiki dengan /kau tak lagi kupahami, bagai embun di pucuk rotan!”/ atau bisa diletakan pada akhir puisi.
Kemudian
pada baris /embun sahaja dilahirkan atas namamu/, “embun” terbentuk
dari uap-uap air yang kembali berubah menjadi titik-titik air, hal ini dapat
terbentuk pada suhu yang cukup dingin dan kondisi yang cukup tenang, sebenarnya
tidak menunggu pada malam hari, namun pada malam hari adalah kondisi yang
memenuhi kondisi tersebut. Embun yang sering dijumpai pada pagi hari ini
memberikan nuansa yang damai dan sejuk. Pemilihan embun pada baris tersebut,
bisa dimaksudkan Nama Sekar membawa sebuah kepribadian yang dapat menyejukan
hati. /Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan
isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang terarah menahan langkah/
Pada baris terakhir, mengisyaratkan bahwa ada sebuah perjuangan yang
dipertanyakan, isyarat-isyarat yang diterima seperti angin yang sejenak
berhembus kemudian berlalu.
Membaca
cerita rakyat kemudaian membaca karya Rabbani yang berjudul “Pencarian”,
cerita rakyat dijadikan sebagai sebuah modeling. Hal demikian sah-sah saja,
dari kacamata sosiologi sastra karya sastra tercipta tercipta dari produk
budaya[1].
Dengan membaca cerita rakyat menimbulkan suatu imajinasi yang kemudian diubah
menjadi puisi oleh Rabbani. Menurut Bandura, seorang ahli psikologi yang lahir di
Kanada tahun 1925 dan menggawangi teori behaviorial, menyatakan tahapan
modeling, yaitu atensi (perhatian), retensi (ingatan), dan reproduksi[2].
Saya rasa, Rabbani telah melakukan ketiga tahap ini. Pertama, pada tahap
atensi yaitu untuk mempelajari sesuatu maka harus diperhatikan secara saksama. Dalam
hal ini, Rabbani telah mempelajari bagaimana cerita rakyat Sasak Cupak Gerantang dijadikan
sebagai modelingnya. Cerita yang diambil dari tempat dimana Rabbani
dilahirkan. Merupakan upaya penyair untuk mengangkat lagi dari produk
lokalitasnya. Kedua, adanya retensi yang dibangun, penyair mencoba
mengingat-ingat apa yang diperhatikan. Di tahap ini, adanya permainan bahasa,
dibentuk dalam citraan-citraan, ada imajinasi yang tertuang. Ketiga, setelah
menggali ingatan kemudian kemampuan dikeluarkan untuk memproduksi apa yang
telah disusun. Pada bagian ini, Rabbani berimprovisasi menghadirkan sesosok
pelaku. Keempat, adanya motivasi, dalam melakukan apapun tentunya
memiliki motivasi dalam diri. Ada kemungkinan motivasi itu berupa dorongan masa
lalu, dorongan yang bisa dibayangkan dan dorongan kepada model-model yang patut
ditiru.
Secara keseluruhan membaca puisi ini, ada nada pesimistik, kesatria yang
ragu dalam pengembaraan untuk memenangkan cinta. Berbeda sekali dengan
Guarantang yang terdapat dalam cerita rakyat Sasak
Cupak Gerantang. Keraguan
tersebut dapat dilihat pada baris terakhir /Tapi Nitra, benarkah kau juga
menunggu kedatanganku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari
angin yang terarah menahan langkah./ Maka pada penutup
bahasan essay saya ini saya ingin mengatakan semoga kesatria tidak berhenti
dalam perjalanan sebuah pencarian.
0 komentar:
Posting Komentar