Jumat, 23 Januari 2015

ESAI "PUISI, TRADISI, DAN PERLAWANAN"



PUISI, TRADISI, DAN PERLAWANAN

Seperti halnya mengenal dan menilai seseorang, membaca sebuah puisi memiliki arah yang sama. Dalam taraf pengenalan, tentu proses untuk mencari identitas seseorang menjadi penting jika kita nantimemang akan bersinggungan dengannya. Bukan hanya bentuk dan fisik, tetapi pada akhirnya, pencarian tentang siapakah dia, bagaimanakah wataknya, serta seperti apakah pola hidupnya, saya kira harus dilakukan. Tanpa itu semua, penilaian kita hanya akan sampai pada
tahap mengenali saja, mengetahui apa yang terlihat secara fisik, yang sering kali menjebak. Maka demikian pula untuk dapat memahami sebuah puisi.pencarian terhadap latarbelakang puisi itu, bagaimana bentuk dan isi, serta penulisnya itu sendiri, menjadi korelatif sebagai cara memahami. Kesemua tindakan itulah yang akan mempengaruhi hasil penilaian kita secara utuh dan menyeluruh.
Pada konteks itulah, hermeneutik menjadikan perannya sebagai jalan untuk memahami sebuah puisi melalui proses intepretasi. Dalam proses interpretasi tersebut ada sejumlah masalah yang menuntut penjelasan, yakni siapa subjek yang berbicara, mediasinya, ataupun siapa pula yang menerima informasi tersebut. Palmer (1969) memberikan rincian hermeneutika sebagai cara meng-kata-kan, sebagai cara menerangkan, dan sebagai cara menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain sehingga informasi yang terkandung dalam satu bahasa dapat dimengerti oleh penerima/ pendengar/pembaca. Pada awalnya, keterangan itu dimaksudkan sebagai satu usaha mentransformasikan "bahasa langit" (pada umumnya seperti yang tertulis dalam “teks-teks suci”) ke "bahasa bumi”, dan biasanya batasan tradisional ini dianggap benar.
Secara umum, konsep hermeneutika dipahami dalam dua pengertian. Pertama, hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan kedua, hermeneutika dipahami sebagai suatu penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami. Ada satu pandangan yang mencoba mengakomodasi kedua pengertian tersebut, yakni suatu pandangan yang mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata, bahasa, atau peristiwa yang telah ditulis (tertulis) dapat dipahami dan menjadi bermakna pada saat teks tersebut dibaca kembali di waktu yang lebih kemudian, berdasarkan aturan-aturan atau asumsi-asumsi metodologis aktivitas pemahaman. Akan tetapi, pandangan yang mencoba mengakomodasi perbedaan peradigma hermeneutik tersebut masih terlalu berambisi untuk mengklarifikasi persoalan kebenaran sebuah penafsiran.
Dalam teori hermeneutik, pada umumnya disepakati bahwa luas cakupan hermeneutik berkisar pada tiga hal, yaitu dunia teks (the world of the text), dunia pengarang (the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader), atau biasa disebut triadik hermeneutik. Hermeneutik berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan tiga hal tersebut mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan situasi atau kondisi paradigmatik pemaknaan pembaca ataupun pengarang.
Seperti telah dibahas oleh Ricoeur, ada beberapa hal yang perlu ditekankan berkaitan dengan teks. Sebuah teks sekurang-kurangnya mengandung tiga dunia makna; (1) dunia "di belakang teks", yaitu latar belakang historis-kultural yang melahirkan teks, (2) dunia "di dalam teks", yaitu ide-idea atau kenyataan-kenyataan yang dicipta oleh teks itu sendiri, (3) dunia "di depan teks", yaitu kesadaran baru yang tercipta setelah pembaca, dengan latar belakang wawasan dan pemahamannya, membaca teks. Dalam proses ini biasanya terjadi peleburan wawasan antara wawasan yang dikandung oleh teks dengan wawasan pembaca, dalam istilah Gadamer disebut sebagai fusion of horizon.
Sementara itu, pada umumnya penafsir menghadapi teks menurut tahapan berikut. (1) Pre-understanding, yaitu pembaca/penafsir menghadapi teks dengan prasangka (seperti juga diingatkan oleh Gadamer) atau hipotesis tertentu. Situasi ini menjelaskan mengapa sebuah penafsiran menjadi tidak pernah bersih. (2) Explanation, yaitu terjadinya pengaitan-pengaitan secara vertikal antara teks dengan latar belakangnya, juga relasi horisontal antara bagian yang satu dengan bagian-bagian yang lain dalam teks, (Pengertian ini mendapat penegasan bahwa setiap teks adalah interteks). (3) Understanding, yaitu mengaitkan semua itu dengan konteks baru pembaca, dengan wawasan pribadinya. Setelah proses ini, bisanya diikuti suatu kesadaran baru yang sangat mungkin akan mengubah pandangan penafsir terhadap kandungan teks.
***
Membaca puisi Ardy Suryantoko, hal pertama yang kemudian timbul adalah proses masuknya latarbelakang penulis dalam puisi-puisi tersebut. Cara pandang Ardy Suryantoko dalam puisinya, memperlihatkan penulis sebagai seorang yang berlatar budaya daerah nampak gagap terhadap realitas yang ada di kota rantau. Persoalan tradisi yang berbeda menimbulkan kerisauan dalam dirinya. Puisi “Negeri Bunga Maya” tersebut setidaknya menjadi gambaran bagaimana interaksi antara budaya daerah dan budaya kota (yang telah bercampur dengan budaya luar) terjadi dalam diri penulis. Sebagai puisi yang muncul dari tangan seorang penulis jawa, puisi Ardy Suryantoko tetaplah tumbuh dalam ruang moderitas.Interaksi keduanya itulah yang akhirnya mempengaruhi bentuk dan isi dalam puisi-puisinya.
Anggapan sekilas saya terhadap puisi Ardy Suryantoko di atas, tentu perlu dibuktikan kebenarannya.Maka, jika akhirnya kita tengok lebih dalam.Beberapa hal perlu kita bahas di sini.Pertama, bagaimana pengaruh tradisi dalam puisi Ardy Suryantoko sebagai dunia di belakang teks sastra?Kedua, bagaimana karya Ardy Suryantoko dapat dikatakan sebagai karya sastra yang mumpuni, sebagai sebuah teks yang utuh, yang sekaligus dapat memberikan perannya sebagai sebuah sastra daerah? Di sini, dunia dalam teks dan di luar teks (baca: dunia pengarang) berpengaruh untuk menjawab pertanyaan ini.
PersoalanTradisi: Latarbelakang Penulis dan Puisi
Jika pengandaian dapat dipakai di sini, kita dapat analogikan bahwa kesusastraan Indonesia modern seperti halnya sebuah petak sawah, yang di dalamnya tumbuh berbagai karya sastra modern.Maka puisi Ardy Suryantoko, seperti benih yang terpendam di pinggirannya, sebuah galengan, dimana air yang turun dari langit tidak sampai menggenanginya.Air itulah arus modernitas yang memenuhi petak kesusastraan modern kita. Ada saatnya air itu akan sampai pada galengan, meski tidak pernah sampai menenggelamkannya. Ketika arus modernitas menyentuhnya sedikit saja, maka puisi-puisi milik Ardy Suryantoko-lah yang tumbuh. Puisi yang tetap akan ada di galengan, di pinggiran, sebagai sebuah puisi daerah yang melihat jauh pada kubangan sawah. Dimana berbagai karya sastra baru mulai tumbuh, dan belum utuh betul sebagai sebuah ‘karya sastra Indonesia’.
Menengok sekilas ke belakang.Semenjak era sastra modern bergaung, warna kesusastraan Indonesia menjadi kian beragam coraknya. Mulai dekade 1970-an hingga awal 1990-an misalnya, menurut Faruk (2001), kancah pemikiran sastra dihiasi oleh gagasan mengenai sastra kontekstual, sastra pedalaman, postmodernisme, dan sebagainya. Melalui perkembangan itu, kesusastraan Indonesia terus menerus mengalami perubahan-kebaharuan.Di sisi lain, pada kurun waktu itu juga, kesusastraan Indonesia cenderung diisi oleh serangkaian eksperimen yang tak kunjung henti. Suatu usaha pembaharuan bentuk puisi, menjauhkan dari penafsiran, mendekatkan pada absurditas.Karya-karya ini memiliki kepentingan untukmenggali ruang estetis dan ide dalam teks, namun sekaligus secara tidak langsung melepaskan fungsi sastra dalam wilayah sosial.
Dalam kurun waktu yang sama pula, tumbuhbeberapa genre lain dalam dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Salah satunya adalah keberadaan sastra daerah.Seperti namanya,jenis sastra ini banyakmengeksploitasi kebudayaan daerah.Jika sastra eksperimentalis bergerak untuk mencari bentuk-bentuk estetis baru, berkutat pada ide dan imajinasi penulis, serta bergerak pada avantgardisme ‘seni murni’.Maka sastra daerah menarik kembali ke-tradisionalan kita, sebagai Indonesia yang multikultural.Mengangungkap-ungkap dan berusaha memberi penjelasan mengenai jati diri sastra Indonesia.sastra daerah, berusaha untuk—menimjam istilah Manifes Kebudayaan—melap-lap kebudayaan lama kita.
Dalam ruang ini, sastra daerah tersebut datang dengan membawa semangat kedaerahan.Tidak jarang menentang berbagai hasil dari modernitasyang tidak mereka sepakati.Tidak bisa dipungkiri, kemunculan sastra daerah banyak dibentuk oleh idealisme penulis sebagai seorang yang berlatarbelakang kedaerahan, berasal dari seluk beluk tradisi yang kental.Dengan kata lain, pondasi tradisi itulah yang memberikan pengaruh besar terhadap cara pandang penulis dalam menyikapi segala bentuk perubahan yang ada.
Sekilas, kesusastraan Indonesia dengan budaya Indonesia-nya yang telah mengakar begitu kuat nyatanya tidak pernah luntur.Kita tidak bisa memungkiri adanya campur tangan kolonial Belanda dalam pembentukan kesusastraan modern Indonesiaan kita.Budaya Indonesia dengan beragam etnis, suku, dan tradisi telah berasimilasi dengan budaya luar, sehingga membentuk kesusastraan Indonesiaan dengan corak budaya yang beragam.Dalam sudut pandang Faruk (2001), kesusastraan Indonesia lahir dari masyarakat yang terkolonisasi, sebuah masyarakat yang tumbuh dan berkembang tidak sepenuhnya dari dialektika internalnya sendiri.
Pada gilirannya, merasa wajar jika tradisi sebagai produk kebudayaan diperlakukan secara ambivalen oleh kekuatan kultural yang ada.Dalam praktiknya, kekuatan kultural yang demikian ini secara terang-terangan mempertentangkan tradisi dengan modernitas.Yang dimaksud dengan kekuatan kultural di sini bukan saja berupa faktor subjektif masyarakat Indonesia sendiri, melainkan menurut Faruk, hal ini juga dipengaruhi oleh kekuatan kultural global yang terus menerus membangun wacana pertentangan yang tidak terdamaikan antara kedua hal di atas. Dengan kata lain, kekuatan kultur itu dibangun oleh dua kutub, masyarakat yang dibentuk oleh sitem kebudayaan daerah di satu pihak dan arus modernisme di lain pihak. Kedua hal itu terus saja tarik menarik satu sama lain.
Persoalan demikian agaknya kian menegaskan kembali bahwa tradisi dan modernitas merupakan sesuatu yang terpisah, saling bertentangan.Meskipun dalam kenyataannya, sastra daerah selalu berusaha mengangkat kembali tradisi, yang oleh sebagian sastrawan Indonesia dianggap memiliki kekuatan dan jati diri untuk melawan segala bentuk budaya yang datang dari luar.Akan tetapi, sastra daerah tidak bisa begitu saja melepas atributnya.Ia tetaplah sastra daerah, yang hanya sampai menempatkan tradisi sebagai sesuatu yang perlu diwacanakan, perlu dilestarikan keberadaannya.
Lalu bagaimana dengan Ardy Suryantoko dan puisinya?
Ardy Suryantoko dapat dikatakan masuk kategori penulis yang memiliki wawasan kedaerahan.Yang dimaksud wawasan kedaerahan di sini adalah penguasaan yang wajar dimiliki oleh seorang penulis yang lahir dan besar dalam kerangkan tradisi dan budaya daerah.Kemampuan Ardy Suryantoko dalam memahami tradisi daerah tentu dimiliki secara alamiah. Pola hidup sebagai manusia desa dibentuk oleh kultur lingkungan tempat tinggalnya. Di sini dapat dikatakan Ardy Suryantoko memiliki modal utama sebagai seorang penulis sastra daerah yang baik, yang berkemungkinan dapat mengangkat tradisi dan kebudayaan dimana ia dibesarkan, dan dilahiran.
Adalah Wonosobo, sebuah daerah di wilayah Jawa Tengah dengan berbagai seluk beluk tradisi dan budayanya, menjadi tempat kelahiran sekaligus tempatnya dibesarkan. Dalam konteks ini, tidak bisa dipungkiri, Ardy Suryantoko tentu memiliki keakraban yang intim dengan suasana dan pola hidup masyarakat desa.
Sebagai sebuah tempat yang syarat dengan tradisi dan kebudayaan, Wonosobo menjadi cerminan diri Ardy Suryantoko.Banyak hal yang bisa digali dari tempat ini.Misalnya ketika bicara persoal kebudayaan, Wonosobo memiliki Tari Lengger yang masih dipelihara oleh masyarakat.Tari Lengger ini biasanya digelar untuk memperingati hari jadi Desa serta rasa ucap syukur masyarakat atas berkah yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Kuasa.Tari Lengger ini digelar satu tahun sekali di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo.
Di samping itu, tradisi yang banyak dikenal oleh masyarakat adalah ruwatan potong rambut gembel atau gimbal.Prosesi upacara ruwat ini sering terjadi di Dataran Tinggi Dieng.Fenomena ini dihubungkan dengan hal-hal spiritual. Masyarakat dataran tinggi Dieng beranggapan rabut gembel atau gimbal tidak dapat dihilangkan begitu saja karena seorang anak yang berambut gembel merupakan keturunan leluhur atau pepunden Dieng, versi lain menyebutkan rambut gembel dianggap sebagai "Balak" atau bisa membawa musibah.Sampai dengan saat ini, keberadaan rambut gembel di Dataran Tinggi Dieng masih menjadi misteri dan belum ada penelitian medis mengenai fenomena tersebut.
Beberapa hal yang saya singgung di atas sekedar untuk menyatakan betapa Wonosobo begitu akrab dengan ragam tradisi dan kebudayaan.Dengan begini, aktivitas dan pola kultural yang dibangun oleh masyarakat setempat erat kaitannya dengan persoalan tradisi itu sendiri. Dapat dikatakan, cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya masih begitu kental. Akhirnya, sebagian besar dari masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan kultur daerahnya.
Kaitannya dengan hal yang saya bahas sebelumnya.Faktor kultural itulah yang kemudian membentuk karakter dan pribadi Ardy Suryantoko sebagai seorang manusia daerah.Tidak menjadi sebuah hal yang aneh bila persentuhan Ardy Suryantoko dengan kebudayaan di luar dirinya (kebudayaan kota) menjadi sebuah persoalan. Persoalan yang dimaksud di sini adalah efek yang timbul dari interaksi antara budaya daerah dengan budaya di luar dirinya. Dengan kata lain, menjadi amat relevan untuk kemudian menyebut kegelisahan Ardy Suryantoko sebagai sebuah pertentangan tradisi, sebagai seorang manusia yang tidak serta merta dapat menerima tradisi luar yang datang padanya.
Ketika mengkaitkan pembahasan mengenai latarbelakang Ardy Suryantoko di atas kepada puisinya, kita memiliki gambaran dasar mengenai tema dan muatan yang dibawa oleh Ardy Suryantoko.Puisi “Negeri Bunga Maya” Ardy Suryantoko, dapat dikatakan berada dalam ruang pertentangan di atas. Ardy Suryantoko bukan saja menjadikan warna daerah sebagai sumber penulisan di dalam puisinya, tapi juga lebih dari itu, ada semangat untuk melawan segala sesuatu yang datang dari luar, kekuatan modernisme di atas.
            Dalam kaitannya dengan itu, menurut Djoko Saryono (2011), sumber penciptaan sastra Indonesia dapat lacak melalui, pertama, sistem lambang budaya jawa, misalnya bahasa, sastra, seni sejarah dan mitos jawa. Kedua, sistem sosial budaya jawa, misalnya fenomena gejala stratifikasi sosial, organisasi sosial, dan status sosial jawa.Ketiga, sistem material budaya jawa, misalnya arsitektur jawa, perabotan dan kerajinan jawa, persnjataan jawa, makanan (ekonimi) jawa, dan pakaian jawa.Sastrawan Indonesia yang beretnis jawa, berangkat dari budaya jawa, dan memiliki sensibilitas jawa telah mempergunakan berbagai hal tersebut sebagai sumber penciptaan karya mereka.
Jika dipahami melalui latarbelakang penciptaannya, puisi “Negeri Bunga Maya” karya Ardy Suryantoko, banyak menggunakan sistem lambang budaya jawa.Misalnya, penggunaan istilah bahasa jawa. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan istilah ‘emak’, ‘gaman’ dalam bait II, dan ‘alang-alang’ bait ke V. Penggunaan sistem material budaya jawa, misalnya istilah perabotan pada bait I, ‘rantang’, ‘daun pisang’ (baca: tikar), serta pemakaian istilah makanan, ‘ingkung’ dalam bait I.
Dalam konteks puisi “Negeri Bunga Maya”, modalitas bahasa jawa yang dipergunakan oleh Ardy Suryantoko di atas juga menonjol. Hal itu menandakanadanya proses menujukesungguhan Ardy dalam memasukkan unsur-unsur jawa ke dalam puisinya. Dapat dimaklumi, meski proses penyerapan modalitas bahasa belum seutuhnya berhasil, setidaknya kehadiran leksikon bahasa jawa patut diapresiasi. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh Ardy Suryantokoadalah ketidak hati-hatian Ardy Suryantoko dalam menyerap kosa kata yang ada.Pemakaian leksikon jawa di atas saya anggap kurang menunjukan kejatidiriannya.Penggunaan leksikon jawa oleh Ardy Suryantoko menunjukan penguasaan yang rendah.Lebih lagi itu tidak didukung dengan kepiawaian dia sebagai seorang penulis puisi.Ardy Suryantoko belum berhasil untuk menghidupkan kejawaannya secara utuh.Saya misalkan pada bait I dapat dilihat kekurangan yang saya maksudkan;
1/
lidah tak sempat menyulap rindu
dan mata tak sanggup merayu waktu
menatap sawah di pelosok negeri orang
seperti apa kabar rantang dan nasi yang digelar di atas daun pisang
yang lengkap dengan ingkung, dan telur-telur ayam kampung
Bahasa Ardy Suryantoko nampak seperti seorang yang belum lama menggeluti puisi.Penggunaan kata Indonesia maupun leksikon dalam penggalan puisi tersebut begitu polos dan konvensional. Untuk ukuran Ardy, tulisan seperti ini sudah seharusnya ia lewati beberapa tahun silam. Artinya tidak ada pergelutan yang benar-benar dalam memilah dan memilih bahasa puisi.Leksikon jawa yang dipergunakan Ardy merupakan bahasa sehari-harinya.Tetapi yang menjadi soal adalah bahasa yang dipilih Ardy saya katakan tidak memiliki kekhasan sebagai seorang penulis.Tidak berbeda dengan hal tersebut, persoalan perbendaharaan kata yang kurang juga melingkupi puisi Ardy.Lihat pada baris I dan II, //lidah tak sempat menyulap rindu/dan mata tak sanggup merayu waktu/”, kedua baris tersebut begitu mendayu-ndayu. Kalau boleh dikata, bahasa seperti ini banyak terdapat pada puisi baru angkatan pujangga baru.Pola bahasa yang sudah berpuluh tahun silam dipergunakan.Saya berikan penggalan puisi Amir Hamzah berjudul “Hari Menuai” sebagai pembanding pola bahasa yang serupa;
Lamanya sudah tiada bertemu
tiada kedengaran suatu apa
tiada tempat duduk bertanya
tiada teman kawan berberita

Lipu aku diharu sendu
samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa

Meskipun dalam puisi Amir Hamzah terlihat susunan bait begitu rapi—sebagai pengaruh dari puisi lama—akan tetapi ada persamaan dalam penggunaan bahasa khususnya pada akhir setiap baris. Hal yang paling kantara adalah adanya pola rima dalam penggalan kedua puisi di atas. Persoalan bahasa yang menghasilkan rima dan bunyi tidak menjadi apa ketika penulis memiliki kekuatan dalam pemilihan bahasa. Tetapi memang dalam baris puisi Ardy yang saya kutip, tidak menunjukan hal itu.
Kini, kita lihat puisi Rendra sebagai seorang penyair yang muncul sekitar periode 50-an. Saya ingin menegaskan bahwa meskipun sebuah puisi menggunakan bahasa dengan akhiran yang sama, atau kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan rima. Puisi di tangan penulis yang baik akan tetap memikat dan tidak gagu. Mari kita simak sajak Rendra berjudul ”Sajak Kenalan Lamamu” berikut ini.
Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula, kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.(Sajak Kenalan Lamamu, 1997)

Dalam penggalan puisi Rendra di atas, setidaknya Ardy Suryantoko dapat belajar banyak bagaimana memanfaatkan perbendaharaan kata yang ada di sekelilingnya.Kekuatan Rendra adalah pemanfaatan leksikon bahasa sehari-hari dan leksikon jawa yang digarap begitu cermat. Ada sebuah proses pilah-memilah kata dan bahasa, sehingga puisi yang dihasilkan tidak terasa gagu dan sumbang. Ardy dapat memanfaatkan proses tersebut untuk membedah puisinya kembali, mencermati, kemudian mengganti bahasa yang kurang tepat.
Di samping unsur bahasa jawa, terdapat pula unsur mitos yang coba dibangun Ardy Suryantoko dalam puisinya. Misalnya bait III, dapat kita pahami Ardy Suryantoko mencoba memunculkan mitos Sungai Serayu di sana. Bila dijelaskan ringkas, Serayu merupakan salah satu sungai di Pulau Jawa.Sungai tersebut mengalir dari hulu pegunungan Dieng (Jawa Tengah), hingga bermuara di laut selatan yang berdekatan dengan Gunung Srandil.Sebuah gunung sakral yang berada di wilayah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Dari hulu pegunungan Dieng, Sungai Serayu yang mengalir serupa urat nadi dalam kehidupan manusia tersebut melintasi lima wilayah kabupaten di Jawa Tengah, antara lain: Banjarnegara, Wanasaba, Purbalingga, Banyumas (Purwakerta), dan Cilacap.
Pembahasan selanjutnya, apa kaitannya mitos Serayu dengan puisi Ardy Suryantoko dapat disimak dalam bait III di bawah ini.
3/
mesin besi menyeruak rumput-rumput
memecah bening embun yang tertidur
tiba-tiba tangis runtuh pada bulan kering
memecah gelisah riak kali hinga kesakitan
di ujung gerojokan:
kotoran menimpa nama-nama yang pernah singgah di gubuk
lalu terbawa banjir hingga serayu
melewatikedung yang penuh mayat manusia
Dalam konteks puisi tersebut, jika asumsi saya mendekati benar, maka dari sini dapat dimaknai bahwa Sungai Serayu sebagai sungai suci yang bukan sekadar memberikan penghidupan bagi manusia secara tulus, namun memiliki makna simbolik yang sangat dalam. Dimana sungai tersebut dapat dimaknai sebagai cinta kasih kudus yang mengalir terus-menerus dari sang bapa atau lingga (Pegunungan Dieng) pada sang biyung atau Yoni (Laut Selatan).
Dalam puisi Ardy Suryantoko di atas, ada semacam bangunan mitos yang kemudian dikonstruksi dengan keadaan realitas sekarang.Bila saya tidak keliru, realitas sosial yang terjadi seperti bencana tanah longsor memiliki peranan untuk itu. Persoalan mitos Serayu yang saya kutip menjadi berlawanan dengan apa yang dimunculkan. Ardy seolah ingin berbicara bahwa mitos Serayu yang begitu istimewa keberadaannya menjadi tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan realitas seperti sekarang.Disadari atau tidak, Ardy mengahadirkan mitos Serayu tidak untuk dinikmati ke-mitosannya, melainkan dipertanyakan keberadaan dan pengaruh mitos itu bagi kehidupan saat ini.Tentu, semoga penafsiran saya tidak berlebihan.
***
Penggunaan tradisi jawa sebagai sumber penciptaan sastra daerah di atas, sesungguhnya telah dimulai oleh banyak sastrawan pendahulunya. Misalnya, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya, Golf untuk Rakyat karya Darmanto Jarman, Balada Orang-orang Tercinta karya Ws Rendra, dan Ibu Sinder karya Pandir Kelana. Karya-karya ini banyak mempergunakan perbendaharaan leksikon Jawa, peristilahan Jawa, dan modalitas bahasa Jawa. Linus Suryadi, Mangunwijaya, dan Pandir Kelana bahkan memerankan diri sebagai sosiolog atau penerjemah juga—di samping sebagai sastrawan—pada waktu menulis karya sastra mereka tersebut dengan dibuat catatan kaki dan daftar istilah yang menjelaskan makna dan maksud bahasa Jawa yang dipakai dalam karya mereka.Meskipun Darmanto dan Rendra tidak membuat catatan kaki dan daftar istilah untuk kata dan istilah Jawa yang dipakai dalam puisi-puisi mereka, modalitas bahasa Jawa sangat menonjol dalam puisi mereka.
Kini yang ada dihadapan saya adalah puisi “Negeri Bunga Maya” karya Ardy Suryantoko.Setidaknya hal ini memberikan harapan dalam kepenulisan Ardy Suryantoko sebagai seorang penulis etnis jawa.Persoalannya adalah bagaimana Ardy nantinya dapat merawat semangat kedaerahan ini, sehingga paling tidak ada aroma khas yang dapat dijumpai ketika membaca sajak-sajaknya. Aroma pedesaan, aroma rantang maupun kayu bakar, yang pada saatnya nanti banyak orang rindukan ketikamerasa sesak dengan bau asap kenalpot dan debu jalanan perkotaan.

Metaphor: Jalan Lain Menuju Tafsir
Setelah membaca latar belakang penulis dan puisi, saya ingin masuk ke dalam puisi Ardy Suryantoko melalui pembacaan terhadap metaphor.Hal ini saya lakukan dengan alasan, bahwa dalam beberapa bagian puisi Ardy Suryantoko banyak dijejali perbandingan/perumpamaan. Di sini lain, metaphor adalah media yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan maksud atau isi secara kiasan, atau yang sering diungkapkan maksudnya begini, bilangnya begitu. Dengan demikian, metaphor memiliki peran sebagai pembantu pembaca untuk memahami sebuah teks sastra. Untuk itulah, proses masuk dalam dunia di dalam teks puisi Ardy Suryantoko akan dilakukan dengan menafsir metaphor yang ada.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar