PUISI, TRADISI, DAN
PERLAWANAN
Oleh: Angga Trio Sanjaya
Seperti halnya mengenal dan menilai seseorang, membaca
sebuah puisi memiliki arah yang sama. Dalam taraf pengenalan, tentu proses
untuk mencari identitas seseorang menjadi penting jika kita nantimemang akan
bersinggungan dengannya. Bukan hanya bentuk dan fisik, tetapi pada akhirnya,
pencarian tentang siapakah dia, bagaimanakah wataknya, serta seperti apakah
pola hidupnya, saya kira harus dilakukan. Tanpa itu semua, penilaian kita hanya
akan sampai pada
tahap mengenali saja, mengetahui apa yang terlihat secara
fisik, yang sering kali menjebak. Maka demikian pula untuk dapat memahami sebuah
puisi.pencarian terhadap latarbelakang puisi itu, bagaimana bentuk dan isi,
serta penulisnya itu sendiri, menjadi korelatif sebagai cara memahami. Kesemua
tindakan itulah yang akan mempengaruhi hasil penilaian kita secara utuh dan
menyeluruh.
Pada konteks itulah, hermeneutik menjadikan perannya
sebagai jalan untuk memahami sebuah puisi melalui proses intepretasi. Dalam
proses interpretasi tersebut ada sejumlah masalah yang menuntut penjelasan,
yakni siapa subjek yang berbicara, mediasinya, ataupun siapa pula yang menerima
informasi tersebut. Palmer (1969) memberikan rincian hermeneutika sebagai cara
meng-kata-kan, sebagai cara menerangkan, dan sebagai cara menerjemahkan dari
satu bahasa ke bahasa lain sehingga informasi yang terkandung dalam satu bahasa
dapat dimengerti oleh penerima/ pendengar/pembaca. Pada awalnya, keterangan itu
dimaksudkan sebagai satu usaha mentransformasikan "bahasa langit"
(pada umumnya seperti yang tertulis dalam “teks-teks suci”) ke "bahasa
bumi”, dan biasanya batasan tradisional ini dianggap benar.
Secara umum,
konsep hermeneutika dipahami dalam dua pengertian. Pertama, hermeneutika sebagai
seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan kedua, hermeneutika dipahami
sebagai suatu penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa
dihindari dari kegiatan memahami. Ada satu pandangan yang mencoba mengakomodasi
kedua pengertian tersebut, yakni suatu pandangan yang mendefinisikan
hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata, bahasa, atau
peristiwa yang telah ditulis (tertulis) dapat dipahami dan menjadi bermakna
pada saat teks tersebut dibaca kembali di waktu yang lebih kemudian,
berdasarkan aturan-aturan atau asumsi-asumsi metodologis aktivitas pemahaman.
Akan tetapi, pandangan yang mencoba mengakomodasi perbedaan peradigma
hermeneutik tersebut masih terlalu berambisi untuk mengklarifikasi persoalan
kebenaran sebuah penafsiran.
Dalam teori
hermeneutik, pada umumnya disepakati bahwa luas cakupan hermeneutik berkisar
pada tiga hal, yaitu dunia teks (the world of the text), dunia pengarang
(the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader),
atau biasa disebut triadik hermeneutik. Hermeneutik berbicara mengenai hampir
semua hal yang berkaitan dengan tiga hal tersebut mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan situasi atau
kondisi paradigmatik pemaknaan pembaca ataupun pengarang.
Seperti telah
dibahas oleh Ricoeur, ada beberapa hal yang perlu ditekankan berkaitan dengan
teks. Sebuah teks sekurang-kurangnya mengandung tiga dunia makna; (1) dunia
"di belakang teks", yaitu latar belakang historis-kultural yang melahirkan
teks, (2) dunia "di dalam teks", yaitu ide-idea atau
kenyataan-kenyataan yang dicipta oleh teks itu sendiri, (3) dunia "di
depan teks", yaitu kesadaran baru yang tercipta setelah pembaca, dengan
latar belakang wawasan dan pemahamannya, membaca teks. Dalam proses ini
biasanya terjadi peleburan wawasan antara wawasan yang dikandung oleh teks
dengan wawasan pembaca, dalam istilah Gadamer disebut sebagai fusion of
horizon.
Sementara itu, pada umumnya
penafsir menghadapi teks menurut tahapan berikut. (1) Pre-understanding,
yaitu pembaca/penafsir menghadapi teks dengan prasangka (seperti juga
diingatkan oleh Gadamer) atau hipotesis tertentu. Situasi ini menjelaskan
mengapa sebuah penafsiran menjadi tidak pernah bersih. (2) Explanation,
yaitu terjadinya pengaitan-pengaitan secara vertikal antara teks dengan latar
belakangnya, juga relasi horisontal antara bagian yang satu dengan
bagian-bagian yang lain dalam teks, (Pengertian ini mendapat penegasan bahwa
setiap teks adalah interteks). (3) Understanding, yaitu mengaitkan semua
itu dengan konteks baru pembaca, dengan wawasan pribadinya. Setelah proses ini,
bisanya diikuti suatu kesadaran baru yang sangat mungkin akan mengubah
pandangan penafsir terhadap kandungan teks.
***
Membaca puisi Ardy Suryantoko, hal
pertama yang kemudian timbul adalah proses masuknya latarbelakang penulis dalam
puisi-puisi tersebut. Cara pandang Ardy Suryantoko dalam puisinya, memperlihatkan
penulis sebagai seorang yang berlatar budaya daerah nampak gagap terhadap
realitas yang ada di kota rantau. Persoalan tradisi yang berbeda menimbulkan
kerisauan dalam dirinya. Puisi “Negeri Bunga Maya” tersebut setidaknya menjadi
gambaran bagaimana interaksi antara budaya daerah dan budaya kota (yang telah
bercampur dengan budaya luar) terjadi dalam diri penulis. Sebagai puisi yang
muncul dari tangan seorang penulis jawa, puisi Ardy Suryantoko tetaplah tumbuh dalam
ruang moderitas.Interaksi keduanya itulah yang akhirnya mempengaruhi bentuk dan
isi dalam puisi-puisinya.
Anggapan sekilas saya terhadap puisi
Ardy Suryantoko di atas, tentu perlu dibuktikan kebenarannya.Maka, jika
akhirnya kita tengok lebih dalam.Beberapa hal perlu kita bahas di sini.Pertama, bagaimana pengaruh tradisi
dalam puisi Ardy Suryantoko sebagai dunia di belakang teks sastra?Kedua, bagaimana karya Ardy Suryantoko
dapat dikatakan sebagai karya sastra yang mumpuni, sebagai sebuah teks yang
utuh, yang sekaligus dapat memberikan perannya sebagai sebuah sastra daerah? Di
sini, dunia dalam teks dan di luar teks (baca: dunia pengarang) berpengaruh
untuk menjawab pertanyaan ini.
PersoalanTradisi: Latarbelakang Penulis dan Puisi
Jika pengandaian dapat dipakai di
sini, kita dapat analogikan bahwa kesusastraan Indonesia modern seperti halnya
sebuah petak sawah, yang di dalamnya tumbuh berbagai karya sastra modern.Maka
puisi Ardy Suryantoko, seperti benih yang terpendam di pinggirannya, sebuah galengan, dimana air yang turun dari
langit tidak sampai menggenanginya.Air itulah arus modernitas yang memenuhi
petak kesusastraan modern kita. Ada saatnya air itu akan sampai pada galengan, meski tidak pernah sampai
menenggelamkannya. Ketika arus modernitas menyentuhnya sedikit saja, maka
puisi-puisi milik Ardy Suryantoko-lah yang tumbuh. Puisi yang tetap akan ada di
galengan, di pinggiran, sebagai
sebuah puisi daerah yang melihat jauh pada kubangan sawah. Dimana berbagai
karya sastra baru mulai tumbuh, dan belum utuh betul sebagai sebuah ‘karya
sastra Indonesia’.
Menengok sekilas ke belakang.Semenjak
era sastra modern bergaung, warna kesusastraan Indonesia menjadi kian beragam
coraknya. Mulai dekade 1970-an hingga awal 1990-an misalnya, menurut Faruk
(2001), kancah pemikiran sastra dihiasi oleh gagasan mengenai sastra
kontekstual, sastra pedalaman, postmodernisme, dan sebagainya. Melalui
perkembangan itu, kesusastraan Indonesia terus menerus mengalami perubahan-kebaharuan.Di
sisi lain, pada kurun waktu itu juga, kesusastraan Indonesia cenderung diisi
oleh serangkaian eksperimen yang tak kunjung henti. Suatu usaha pembaharuan
bentuk puisi, menjauhkan dari penafsiran, mendekatkan pada
absurditas.Karya-karya ini memiliki kepentingan untukmenggali ruang estetis dan
ide dalam teks, namun sekaligus secara tidak langsung melepaskan fungsi sastra
dalam wilayah sosial.
Dalam kurun waktu yang sama pula, tumbuhbeberapa
genre lain dalam dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Salah satunya adalah
keberadaan sastra daerah.Seperti namanya,jenis sastra ini banyakmengeksploitasi
kebudayaan daerah.Jika sastra eksperimentalis bergerak untuk mencari
bentuk-bentuk estetis baru, berkutat pada ide dan imajinasi penulis, serta bergerak
pada avantgardisme ‘seni murni’.Maka sastra daerah menarik kembali ke-tradisionalan
kita, sebagai Indonesia yang multikultural.Mengangungkap-ungkap dan berusaha
memberi penjelasan mengenai jati diri sastra Indonesia.sastra daerah, berusaha
untuk—menimjam istilah Manifes Kebudayaan—melap-lap kebudayaan lama kita.
Dalam ruang ini, sastra daerah
tersebut datang dengan membawa semangat kedaerahan.Tidak jarang menentang
berbagai hasil dari modernitasyang tidak mereka sepakati.Tidak bisa dipungkiri,
kemunculan sastra daerah banyak dibentuk oleh idealisme penulis sebagai seorang
yang berlatarbelakang kedaerahan, berasal dari seluk beluk tradisi yang kental.Dengan
kata lain, pondasi tradisi itulah yang memberikan pengaruh besar terhadap cara
pandang penulis dalam menyikapi segala bentuk perubahan yang ada.
Sekilas, kesusastraan Indonesia
dengan budaya Indonesia-nya yang telah mengakar begitu kuat nyatanya tidak pernah
luntur.Kita tidak bisa memungkiri adanya campur tangan kolonial Belanda dalam
pembentukan kesusastraan modern Indonesiaan kita.Budaya Indonesia dengan
beragam etnis, suku, dan tradisi telah berasimilasi dengan budaya luar,
sehingga membentuk kesusastraan Indonesiaan dengan corak budaya yang
beragam.Dalam sudut pandang Faruk (2001), kesusastraan Indonesia lahir dari
masyarakat yang terkolonisasi, sebuah masyarakat yang tumbuh dan berkembang
tidak sepenuhnya dari dialektika internalnya sendiri.
Pada gilirannya, merasa wajar jika
tradisi sebagai produk kebudayaan diperlakukan secara ambivalen oleh kekuatan
kultural yang ada.Dalam praktiknya, kekuatan kultural yang demikian ini secara
terang-terangan mempertentangkan tradisi dengan modernitas.Yang dimaksud dengan
kekuatan kultural di sini bukan saja berupa faktor subjektif masyarakat
Indonesia sendiri, melainkan menurut Faruk, hal ini juga dipengaruhi oleh
kekuatan kultural global yang terus menerus membangun wacana pertentangan yang
tidak terdamaikan antara kedua hal di atas. Dengan kata lain, kekuatan kultur
itu dibangun oleh dua kutub, masyarakat yang dibentuk oleh sitem kebudayaan
daerah di satu pihak dan arus modernisme di lain pihak. Kedua hal itu terus
saja tarik menarik satu sama lain.
Persoalan demikian agaknya kian
menegaskan kembali bahwa tradisi dan modernitas merupakan sesuatu yang
terpisah, saling bertentangan.Meskipun dalam kenyataannya, sastra daerah selalu
berusaha mengangkat kembali tradisi, yang oleh sebagian sastrawan Indonesia
dianggap memiliki kekuatan dan jati diri untuk melawan segala bentuk budaya
yang datang dari luar.Akan tetapi, sastra daerah tidak bisa begitu saja melepas
atributnya.Ia tetaplah sastra daerah, yang hanya sampai menempatkan tradisi
sebagai sesuatu yang perlu diwacanakan, perlu dilestarikan keberadaannya.
Lalu bagaimana dengan Ardy Suryantoko
dan puisinya?
Ardy Suryantoko dapat dikatakan masuk
kategori penulis yang memiliki wawasan kedaerahan.Yang dimaksud wawasan
kedaerahan di sini adalah penguasaan yang wajar dimiliki oleh seorang penulis
yang lahir dan besar dalam kerangkan tradisi dan budaya daerah.Kemampuan Ardy
Suryantoko dalam memahami tradisi daerah tentu dimiliki secara alamiah. Pola
hidup sebagai manusia desa dibentuk oleh kultur lingkungan tempat tinggalnya. Di
sini dapat dikatakan Ardy Suryantoko memiliki modal utama sebagai seorang
penulis sastra daerah yang baik, yang berkemungkinan dapat mengangkat tradisi
dan kebudayaan dimana ia dibesarkan, dan dilahiran.
Adalah Wonosobo, sebuah daerah di
wilayah Jawa Tengah dengan berbagai seluk beluk tradisi dan budayanya, menjadi
tempat kelahiran sekaligus tempatnya dibesarkan. Dalam konteks ini, tidak bisa
dipungkiri, Ardy Suryantoko tentu memiliki keakraban yang intim dengan suasana
dan pola hidup masyarakat desa.
Sebagai sebuah tempat yang syarat
dengan tradisi dan kebudayaan, Wonosobo menjadi cerminan diri Ardy
Suryantoko.Banyak hal yang bisa digali dari tempat ini.Misalnya ketika bicara persoal
kebudayaan, Wonosobo memiliki Tari Lengger yang masih dipelihara oleh masyarakat.Tari Lengger ini biasanya digelar untuk memperingati hari
jadi Desa serta rasa ucap syukur masyarakat atas berkah yang diberikan oleh
Tuhan Sang Maha Kuasa.Tari Lengger ini digelar satu tahun sekali di setiap
kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo.
Di samping itu, tradisi yang banyak
dikenal oleh masyarakat adalah ruwatan potong rambut gembel atau gimbal.Prosesi
upacara ruwat ini sering terjadi di Dataran Tinggi
Dieng.Fenomena ini dihubungkan dengan hal-hal spiritual. Masyarakat dataran tinggi Dieng beranggapan rabut
gembel atau gimbal tidak dapat dihilangkan begitu saja karena seorang anak yang
berambut gembel merupakan keturunan leluhur atau pepunden Dieng, versi lain
menyebutkan rambut gembel dianggap sebagai "Balak" atau bisa membawa
musibah.Sampai dengan saat ini, keberadaan rambut gembel di Dataran Tinggi
Dieng masih menjadi misteri dan belum ada penelitian medis mengenai fenomena
tersebut.
Beberapa hal yang saya singgung di atas
sekedar untuk menyatakan betapa Wonosobo begitu akrab dengan ragam tradisi dan
kebudayaan.Dengan begini, aktivitas dan pola kultural yang dibangun oleh
masyarakat setempat erat kaitannya dengan persoalan tradisi itu sendiri. Dapat
dikatakan, cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya masih begitu
kental. Akhirnya, sebagian besar dari masyarakat memiliki hubungan yang erat
dengan kultur daerahnya.
Kaitannya dengan hal yang saya bahas
sebelumnya.Faktor kultural itulah yang kemudian membentuk karakter dan pribadi
Ardy Suryantoko sebagai seorang manusia daerah.Tidak menjadi sebuah hal yang
aneh bila persentuhan Ardy Suryantoko dengan kebudayaan di luar dirinya
(kebudayaan kota) menjadi sebuah persoalan. Persoalan yang dimaksud di sini
adalah efek yang timbul dari interaksi antara budaya daerah dengan budaya di luar
dirinya. Dengan kata lain, menjadi amat relevan untuk kemudian menyebut
kegelisahan Ardy Suryantoko sebagai sebuah pertentangan tradisi, sebagai seorang
manusia yang tidak serta merta dapat menerima tradisi luar yang datang padanya.
Ketika mengkaitkan pembahasan
mengenai latarbelakang Ardy Suryantoko di atas kepada puisinya, kita memiliki
gambaran dasar mengenai tema dan muatan yang dibawa oleh Ardy Suryantoko.Puisi “Negeri
Bunga Maya” Ardy Suryantoko, dapat dikatakan berada dalam ruang pertentangan di
atas. Ardy Suryantoko bukan saja menjadikan warna daerah sebagai sumber
penulisan di dalam puisinya, tapi juga lebih dari itu, ada semangat untuk
melawan segala sesuatu yang datang dari luar, kekuatan modernisme di atas.
Dalam
kaitannya dengan itu, menurut Djoko Saryono (2011), sumber penciptaan sastra
Indonesia dapat lacak melalui, pertama,
sistem lambang budaya jawa, misalnya bahasa, sastra, seni sejarah dan mitos
jawa. Kedua, sistem sosial budaya
jawa, misalnya fenomena gejala stratifikasi sosial, organisasi sosial, dan
status sosial jawa.Ketiga, sistem
material budaya jawa, misalnya arsitektur jawa, perabotan dan kerajinan jawa,
persnjataan jawa, makanan (ekonimi) jawa, dan pakaian jawa.Sastrawan Indonesia
yang beretnis jawa, berangkat dari budaya jawa, dan memiliki sensibilitas jawa
telah mempergunakan berbagai hal tersebut sebagai sumber penciptaan karya
mereka.
Jika dipahami melalui latarbelakang
penciptaannya, puisi “Negeri Bunga Maya” karya Ardy Suryantoko, banyak menggunakan
sistem lambang budaya jawa.Misalnya, penggunaan istilah bahasa jawa. Hal itu dapat
dilihat dari penggunaan istilah ‘emak’, ‘gaman’ dalam bait II, dan
‘alang-alang’ bait ke V. Penggunaan sistem material budaya jawa, misalnya
istilah perabotan pada bait I, ‘rantang’, ‘daun pisang’ (baca: tikar), serta
pemakaian istilah makanan, ‘ingkung’ dalam bait I.
Dalam konteks puisi “Negeri Bunga
Maya”, modalitas bahasa jawa yang dipergunakan oleh Ardy Suryantoko di atas
juga menonjol. Hal itu menandakanadanya proses menujukesungguhan Ardy dalam
memasukkan unsur-unsur jawa ke dalam puisinya. Dapat dimaklumi, meski proses
penyerapan modalitas bahasa belum seutuhnya berhasil, setidaknya kehadiran
leksikon bahasa jawa patut diapresiasi. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh
Ardy Suryantokoadalah ketidak hati-hatian Ardy Suryantoko dalam menyerap kosa
kata yang ada.Pemakaian leksikon jawa di atas saya anggap kurang menunjukan
kejatidiriannya.Penggunaan leksikon jawa oleh Ardy Suryantoko menunjukan
penguasaan yang rendah.Lebih lagi itu tidak didukung dengan kepiawaian dia
sebagai seorang penulis puisi.Ardy Suryantoko belum berhasil untuk menghidupkan
kejawaannya secara utuh.Saya misalkan pada bait I dapat dilihat kekurangan yang
saya maksudkan;
1/
lidah tak sempat
menyulap rindu
dan mata tak sanggup
merayu waktu
menatap sawah di
pelosok negeri orang
seperti apa kabar rantang dan nasi yang digelar di atas daun pisang
yang lengkap dengan ingkung,
dan telur-telur ayam kampung
Bahasa Ardy Suryantoko nampak seperti
seorang yang belum lama menggeluti puisi.Penggunaan kata Indonesia maupun
leksikon dalam penggalan puisi tersebut begitu polos dan konvensional. Untuk
ukuran Ardy, tulisan seperti ini sudah seharusnya ia lewati beberapa tahun
silam. Artinya tidak ada pergelutan yang benar-benar dalam memilah dan memilih
bahasa puisi.Leksikon jawa yang dipergunakan Ardy merupakan bahasa
sehari-harinya.Tetapi yang menjadi soal adalah bahasa yang dipilih Ardy saya
katakan tidak memiliki kekhasan sebagai seorang penulis.Tidak berbeda dengan
hal tersebut, persoalan perbendaharaan kata yang kurang juga melingkupi puisi
Ardy.Lihat pada baris I dan II, //lidah tak sempat menyulap rindu/dan mata tak sanggup merayu waktu/”, kedua baris tersebut begitu mendayu-ndayu. Kalau
boleh dikata, bahasa seperti ini banyak terdapat pada puisi baru angkatan
pujangga baru.Pola bahasa yang sudah berpuluh tahun silam dipergunakan.Saya
berikan penggalan puisi Amir Hamzah berjudul “Hari Menuai” sebagai pembanding
pola bahasa yang serupa;
Lamanya sudah tiada bertemu
tiada kedengaran suatu apa
tiada tempat duduk bertanya
tiada teman kawan berberita
Lipu aku diharu sendu
samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa
Meskipun dalam puisi Amir Hamzah
terlihat susunan bait begitu rapi—sebagai pengaruh dari puisi lama—akan tetapi
ada persamaan dalam penggunaan bahasa khususnya pada akhir setiap baris. Hal
yang paling kantara adalah adanya pola rima dalam penggalan kedua puisi di
atas. Persoalan bahasa yang menghasilkan rima dan bunyi tidak menjadi apa
ketika penulis memiliki kekuatan dalam pemilihan bahasa. Tetapi memang dalam
baris puisi Ardy yang saya kutip, tidak menunjukan hal itu.
Kini, kita lihat puisi Rendra sebagai
seorang penyair yang muncul sekitar periode 50-an. Saya ingin menegaskan bahwa
meskipun sebuah puisi menggunakan bahasa dengan akhiran yang sama, atau
kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan rima. Puisi di tangan penulis
yang baik akan tetap memikat dan tidak gagu. Mari kita simak sajak Rendra
berjudul ”Sajak Kenalan Lamamu” berikut ini.
Kini kita saling
berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa
pula, kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di
ambang pintu kereta api,
tergencet oleh
penumpang berjubel,
Dari Yogya ke
Jakarta,
aku melihat kamu
tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas
koran,
sambil memeluk
satu anakmu,
sementara istrimu
meneteki bayinya,
terbaring di
sebelahmu.
Pernah pula kita
satu truk,
duduk di atas
kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi
tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama
kaget,
ketika truk
tiba-tiba terhenti kerna distop oleh polisi,
yang menarik
pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita
sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama
anak jalan raya.(Sajak Kenalan Lamamu, 1997)
Dalam penggalan puisi Rendra di atas,
setidaknya Ardy Suryantoko dapat belajar banyak bagaimana memanfaatkan
perbendaharaan kata yang ada di sekelilingnya.Kekuatan Rendra adalah
pemanfaatan leksikon bahasa sehari-hari dan leksikon jawa yang digarap begitu
cermat. Ada sebuah proses pilah-memilah kata dan bahasa, sehingga puisi yang
dihasilkan tidak terasa gagu dan sumbang. Ardy dapat memanfaatkan proses
tersebut untuk membedah puisinya kembali, mencermati, kemudian mengganti bahasa
yang kurang tepat.
Di samping unsur bahasa jawa,
terdapat pula unsur mitos yang coba dibangun Ardy Suryantoko dalam puisinya.
Misalnya bait III, dapat kita pahami Ardy Suryantoko mencoba memunculkan mitos
Sungai Serayu di sana. Bila dijelaskan ringkas, Serayu merupakan salah satu
sungai di Pulau Jawa.Sungai tersebut mengalir dari hulu pegunungan Dieng (Jawa
Tengah), hingga bermuara di laut selatan yang berdekatan dengan Gunung Srandil.Sebuah
gunung sakral yang berada di wilayah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Dari hulu
pegunungan Dieng, Sungai
Serayu yang mengalir serupa urat nadi dalam kehidupan manusia
tersebut melintasi lima wilayah kabupaten di Jawa Tengah, antara lain:
Banjarnegara, Wanasaba, Purbalingga, Banyumas (Purwakerta), dan Cilacap.
Pembahasan selanjutnya, apa kaitannya
mitos Serayu dengan puisi Ardy Suryantoko dapat disimak dalam bait III di bawah
ini.
3/
mesin besi
menyeruak rumput-rumput
memecah bening
embun yang tertidur
tiba-tiba tangis
runtuh pada bulan kering
memecah gelisah
riak kali hinga kesakitan
di ujung
gerojokan:
kotoran menimpa
nama-nama yang pernah singgah di gubuk
lalu terbawa
banjir hingga serayu
melewatikedung
yang penuh mayat manusia
Dalam konteks puisi tersebut, jika
asumsi saya mendekati benar, maka dari sini dapat dimaknai bahwa Sungai Serayu sebagai
sungai suci yang bukan sekadar memberikan penghidupan bagi manusia secara
tulus, namun memiliki makna simbolik yang sangat dalam. Dimana sungai tersebut
dapat dimaknai sebagai cinta kasih kudus yang mengalir terus-menerus dari sang bapa atau lingga (Pegunungan Dieng) pada
sang biyung atau Yoni (Laut Selatan).
Dalam puisi Ardy Suryantoko di atas,
ada semacam bangunan mitos yang kemudian dikonstruksi dengan keadaan realitas
sekarang.Bila saya tidak keliru, realitas sosial yang terjadi seperti bencana
tanah longsor memiliki peranan untuk itu. Persoalan mitos Serayu yang saya
kutip menjadi berlawanan dengan apa yang dimunculkan. Ardy seolah ingin
berbicara bahwa mitos Serayu yang begitu istimewa keberadaannya menjadi tidak
memiliki kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan realitas seperti
sekarang.Disadari atau tidak, Ardy mengahadirkan mitos Serayu tidak untuk
dinikmati ke-mitosannya, melainkan dipertanyakan keberadaan dan pengaruh mitos
itu bagi kehidupan saat ini.Tentu, semoga penafsiran saya tidak berlebihan.
***
Penggunaan tradisi jawa sebagai
sumber penciptaan sastra daerah di atas, sesungguhnya telah dimulai oleh banyak
sastrawan pendahulunya. Misalnya, Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi AG, Burung-Burung
Manyar karya Y.B Mangunwijaya, Golf untuk
Rakyat karya Darmanto Jarman, Balada
Orang-orang Tercinta karya Ws Rendra, dan Ibu Sinder karya Pandir Kelana. Karya-karya ini banyak
mempergunakan perbendaharaan leksikon Jawa, peristilahan Jawa, dan modalitas
bahasa Jawa. Linus Suryadi, Mangunwijaya, dan Pandir Kelana bahkan memerankan
diri sebagai sosiolog atau penerjemah juga—di samping sebagai sastrawan—pada
waktu menulis karya sastra mereka tersebut dengan dibuat catatan kaki dan
daftar istilah yang menjelaskan makna dan maksud bahasa Jawa yang dipakai dalam
karya mereka.Meskipun Darmanto dan Rendra tidak membuat catatan kaki dan daftar
istilah untuk kata dan istilah Jawa yang dipakai dalam puisi-puisi mereka,
modalitas bahasa Jawa sangat menonjol dalam puisi mereka.
Kini yang ada dihadapan saya adalah puisi
“Negeri Bunga Maya” karya Ardy Suryantoko.Setidaknya hal ini memberikan harapan
dalam kepenulisan Ardy Suryantoko sebagai seorang penulis etnis
jawa.Persoalannya adalah bagaimana Ardy nantinya dapat merawat semangat
kedaerahan ini, sehingga paling tidak ada aroma khas yang dapat dijumpai ketika
membaca sajak-sajaknya. Aroma pedesaan, aroma rantang maupun kayu bakar, yang
pada saatnya nanti banyak orang rindukan ketikamerasa sesak dengan bau asap
kenalpot dan debu jalanan perkotaan.
Metaphor: Jalan Lain Menuju Tafsir
Setelah
membaca latar belakang penulis dan puisi, saya ingin masuk ke dalam puisi Ardy
Suryantoko melalui pembacaan terhadap metaphor.Hal ini saya lakukan dengan
alasan, bahwa dalam beberapa bagian puisi Ardy Suryantoko banyak dijejali
perbandingan/perumpamaan. Di sini lain, metaphor adalah media yang digunakan
oleh penyair untuk mengungkapkan maksud atau isi secara kiasan, atau yang
sering diungkapkan maksudnya begini,
bilangnya begitu. Dengan demikian, metaphor memiliki peran sebagai pembantu
pembaca untuk memahami sebuah teks sastra. Untuk itulah, proses masuk dalam
dunia di dalam teks puisi Ardy Suryantoko akan dilakukan dengan menafsir
metaphor yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar