MENCARI MAKNA DALAM KETERASINGAN DAN DERITA
Ketika saya membaca sajak AnggaT Sanjaya, saya seperti diajak melakukan sebuah perjalanan, secara batiniah.
Dan dalam proses kontemplasi dari setengah sadarnya (subconsius) Angga
menuangkan ke dalam bentuk sadarnya (concius) yaitu berupa sajak. Dan kekuatan
karya sastra sendiri dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu
menungkapkan ekspresi kejiwaan itu ke dalam sebuah cipta sastra. Dan dasar
analisis secara psikologi sendiri
dipengaruhi oleh dua hal tersebut. Dalam beberapa sajak Angga memang
berhasil menunjukan ekspresi kejiwaannya tentang pencarian makna hidup yang
sejati. Seperti pada puisi Tengah Malam
Di Taman Ismail Marzuki keresahan ini sangat terasa, misal dalam bait
pertama;
Terduduk
di belantara malam, udara teramat beku
Percakapan
yang gagu, angin dan keluh-kesah yang cepat berlalu
Sekian
hari yang lintas, lekas pudar bersama bayang kita
Di
tungku kota ini. Segala yang kelam
Matamu
yang berbias pekat sepanjang aspal
Betapa
pucat dan membiru tahun-tahun yang bergaram ini
Di sini Angga mengungkapkan
rasa emosionalnya pada pengalaman yang ia rasakan. Di bait pertama keresahan angga
tentang kehidupan yang ia ungkapan sebagai bentuk yang mendorong untuk
melakukan sesuatu hal. Dalam bait tersebut bisa diparafrasekan bahwa pertemuan
telah hilang percakapan, hilang rasa, hanya kepedihan yang aku-lirik rasakan ini
bisa kita lihat dalam baris /betapa pucat dan membiru tahun-tahun yang bergaram
ini// pemilihan diksi membiru-garam pada baris tersebut juga ikut menambah
cipta rasa kesedihan atau duka yang ditampilikan oleh Angga.
Lalu
pada bait kedua Angga mulai mulai memainkan perasaannya, menampilkan keasingan
keberadannya di suatu tempat;
Beginikah hidup dalam buruan perasaan
sendiri
Langit yang menjauh dan rembulan
terjepit
Dalam lipatan waktu. Kita di sini,
menjadi turis
Bagi diri dan batin. Hari-hari yang
pergi, kecemasan ini
Beginikah sunyi yang terus menggerus
ubun-ubun dan hati
Di dalam baris ini
/Beginikah hidup dalam
buruan perasaan sendiri// /Langit
yang menjauh dan rembulan terjepit//
aku-lirik merasa diburu oleh perasaannya sendiri, seolah-olah dunia menjadi
sempit dan timbulah perasaan aku-lirik akan eksistensi/ kedududukan dirinya di
dunia. Dalam sebuah perjalanan hidup yang Angga ingin sampaikan saya rasa ia
berusaha mencari makna akan kehidupan seperti yang diungkapkan oleh Frannkl
“menjadi manusia berarti bertanggung jawab untuk memenuhi potensi makna yang
melekat pada sebuah situasi kehidupan tertentu” (1975a: 125). Seperti situasi
dimana manusia mencari hakikat hidup dari penderitaan (dalam sajak ini
keterasingan dan cemas).
Kita di sini, sahabatku, berbekal rindu
dan keinginan
Menyeberangkan hatiku dan hatimu dalam
belantara bisu
Kita tenggelamkan sunyi ini dalam rinai
tangis dan gaduh
Suara yang kian bergema dalam gairah dan
api dendam
Sewaktu kata mendadak letih, tertikam di
tikungan nurani
Sedang pada bait ini perjalanan
batin aku-lirik mulai memuncak /Kita di sini,
sahabatku, berbekal rindu dan keinginan//
/
Menyeberangkan hatiku dan hatimu dalam belantara bisu// melesapkan duka kedalam doa kedalam harapan yang
tinggi. Lalu pada akhirnya aku-lirik menemukan makna transendensi dalam
perjalanan yang letih dan panjang bisa kita lihat dalam baris-baris ini /Kita
tenggelamkan sunyi ini dalam rinai tangis dan gaduh// /Suara yang kian bergema
dalam gairah dan api dendam// /Sewaktu
kata mendadak letih, tertikam di tikungan nurani//. Sekian analisis saya, mudah-mudahan bisa menjadi bahan kajian yang
bermanfaat. (Aditya Dwiyoga Batanggeni).
0 komentar:
Posting Komentar