Jumat, 23 Januari 2015

ESAI "BERKELANA MENCARI HAN"



Esai Berkelana Mencari Han
 
Banyak penyair yang menuliskan kisah perjalanan menjadi sebuah karya sastra khususnya puisi. Seperti halnya Angga T Sanjaya yang menbuat kisahnya menjadi puisi perjalanan, entah itu perjalanan fisiknya ataupun perjalanan batinya. Dari puisi yang disuguhkan oleh Angga T Sanjaya mulai dari Ah Poong, Sore Yang Gerimis, tengah malam di taman Ismail Marzuki, dari dalam kereta, dari cacatan seorang penyair.
Dari keempat karya tersebut, saya tertarik membahas karya yang berjudul Ah Poong, Sore Yang Gerimis.
Membaca puisi Angga T Sanjaya yang berjudul Ah Poong, Sore Yang Gerimis saya sebagai pembaca menangkap adanya suatu gejolak si aku lirik tentang masa lalunya tentang kegelisahan dan keraguan jiwa si aku lirik. Si aku lirik menceritakan kisah batinnya yang tak lain tak bukan tentang kegalauan hatinya. Ada yang menarik dari puisi ini, penggunaan repetisi[1] “Ah Poong”, dalam pemilihan kata tersebut si penyair seperti ingin melupakan sesuatu hal yang telah terjadi, seperti penggalan sajak Ah Poong, Sore Yang Gerimis
Di hadapan kita, kau pesan sebuah cerita dan masa silam
Pada secangkir teh panas, rindu yang mendidih. Ah Poong, ujarmu

Mari kita lihat puisi Ah Poong, Sore Yang Gerimis karya Angga T Sanjaya dan puisi Hari Pun Tiba karya Sapardi Djoko Damono dalam antologi DukaMu Abadi. Saya menampilkan puisi Sapardi ini bukan untuk membandingkan, tetapi untuk memperkuat tentang repetisi dalam puisi secara umum, tapi disini lebih khususnya pada puisi Angga T Sanjaya.
Hari Pun Tiba

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: kemana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat

            Dalam puisinya Angga sebagai penyair repetisi yang di gunakan yaitu “Ah Poong” sedangkan puisi Sapardi ditunjukkan oleh pengulangan “tiba-tiba” dan juga “pun”. Angga sebagai penyair mampu menggunakan diksi yang begitu runtut sehingga mampu dipahami oleh pembaca, namun ada bagian diksi yang menggelitik perasaan saya, yaitu penggunaan kata kita, kau dan mu, yang terdapat pada penggalan puisi berikut ini.
Di hadapan kita, kau pesan sebuah cerita dan masa silam
Pada secangkir teh panas, rindu yang mendidih. Ah Poong, ujarmu

            Jika di baca secara seksama posisi “kau” disini tidak koheren dengan kata-kata sebelumnya “Di hadapan kita” yang sudah jelas bahwa “kita” disini menunjukkan bahwa hanya ada aku dan kamu, sehingga penggunaan “kau” pada baris setelahnya menciptakan ketidaklogisan. Ketidakketerkaitan juga diperkuat dengan penggunaan “mu” pada akhir basir. Penggunaan mu dalam baris terakhir apakah menerangkan “kita” ataukah “kau”?
Referensi
Sayuti Suminto A., 2010. Berkenalan Dengan Puisi. Yogyakarta: GAMA MEDIA


[1] Repetisi atau perulangan adalah sarana retorik yang berkenaan dengan segala bentuk perulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi (Suminto, 2010: 254)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar