Esai
Berkelana Mencari Han
Banyak penyair
yang menuliskan kisah perjalanan menjadi sebuah karya sastra khususnya puisi. Seperti
halnya Angga T Sanjaya yang menbuat kisahnya menjadi puisi perjalanan, entah
itu perjalanan fisiknya ataupun perjalanan batinya. Dari puisi yang disuguhkan
oleh Angga T Sanjaya mulai dari Ah Poong,
Sore Yang Gerimis, tengah malam di taman Ismail Marzuki, dari dalam kereta,
dari cacatan seorang penyair.
Dari
keempat karya tersebut, saya tertarik membahas karya yang berjudul Ah Poong, Sore Yang Gerimis.
Membaca puisi Angga T Sanjaya yang berjudul Ah Poong, Sore Yang Gerimis saya sebagai pembaca menangkap adanya
suatu gejolak si aku lirik tentang masa lalunya tentang kegelisahan dan
keraguan jiwa si aku lirik. Si aku lirik menceritakan kisah batinnya yang tak
lain tak bukan tentang kegalauan hatinya. Ada yang menarik dari puisi ini,
penggunaan repetisi[1]
“Ah Poong”, dalam pemilihan kata tersebut si penyair seperti ingin melupakan
sesuatu hal yang telah terjadi, seperti penggalan sajak Ah Poong, Sore Yang Gerimis
Di hadapan kita, kau pesan sebuah cerita
dan masa silam
Pada secangkir teh panas, rindu yang
mendidih. Ah Poong, ujarmu
Mari kita lihat puisi Ah Poong, Sore Yang Gerimis karya Angga T Sanjaya dan puisi Hari
Pun Tiba karya Sapardi Djoko Damono dalam antologi DukaMu Abadi. Saya menampilkan puisi Sapardi ini bukan untuk
membandingkan, tetapi untuk memperkuat tentang repetisi dalam puisi secara
umum, tapi disini lebih khususnya pada puisi Angga T Sanjaya.
Hari Pun Tiba
hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati
angka-angka
kau pun menyapa: kemana kita
tiba-tiba terasa musim mulai
menanggalkan daun-daunnya
tiba-tiba terasa kita tak sanggup
menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa
gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam sibuk membilang saat-saat
terlambat
Dalam puisinya Angga sebagai penyair
repetisi yang di gunakan yaitu “Ah Poong” sedangkan puisi Sapardi ditunjukkan
oleh pengulangan “tiba-tiba” dan juga “pun”. Angga sebagai penyair mampu
menggunakan diksi yang begitu runtut sehingga mampu dipahami oleh pembaca,
namun ada bagian diksi yang menggelitik perasaan saya, yaitu penggunaan kata
kita, kau dan mu, yang terdapat pada penggalan puisi berikut ini.
Di hadapan kita, kau pesan sebuah cerita
dan masa silam
Pada secangkir teh panas, rindu yang
mendidih. Ah Poong, ujarmu
Jika di baca secara seksama posisi
“kau” disini tidak koheren dengan kata-kata sebelumnya “Di hadapan kita” yang
sudah jelas bahwa “kita” disini menunjukkan bahwa hanya ada aku dan kamu,
sehingga penggunaan “kau” pada baris setelahnya menciptakan ketidaklogisan.
Ketidakketerkaitan juga diperkuat dengan penggunaan “mu” pada akhir basir.
Penggunaan mu dalam baris terakhir apakah menerangkan “kita” ataukah “kau”?
Referensi
Sayuti
Suminto A., 2010. Berkenalan Dengan Puisi.
Yogyakarta: GAMA MEDIA
[1] Repetisi atau perulangan adalah sarana retorik yang berkenaan
dengan segala bentuk perulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris
yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula
pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi (Suminto, 2010: 254)
0 komentar:
Posting Komentar