Selasa, 16 Desember 2014

ESAI "PUISI YANG MENCARI JALAN SUFI"



PUISI YANG MENCARI JALAN SUFI


Sudah banyak puisi-puisi sufistik ditulis oleh para penyair. Puisi sufikstik sebagaimana menurut Abdul Hadi WM adalah upaya untuk membuat pembaca memasuki wilayah puitik untuk merasakan suasana spiritual yang dialami oleh sang penyair. Lantas, apakah boleh jika puisi yang akan kita bahas kali ini dapat dikategorikan sebagai puisi sufistik?
Dalam sejarahnya, puisi sufi banyak diperkenalkan oleh para penyair Arab dan Persia sebagai salah satu cara melestarikan nilai-nilai keagamaan atau ajaran-ajaran dalam kitab suci mereka. Para penyair sufi berupaya menulis dengan nilai-nilai luhur
atau menggunakan pendekatan yang dinamakan: Tasawwuf atau suffisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi). Pendekatan yang lain mengatakan bahwa: “ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari kata suf, bahasa arab untuk wol, merujuk pada jubah sederhanayang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah Safa, yang berarti kemurnian. Hal inimenaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa kata tasafu berasal dari bahasa Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. (Sayangbati: 2013)

Dalam kesempatan kali ini, ada dua puisi karya Aditya Dwi Yoga, selanjutnya Adit yang mana saya lebih tertarik untuk mencari makna dari sajak-sajaknya. Puisi pertama berjudul “Menujumu” Dan “Hijan Telah Reda.”
Langsung saja, pertama terkait judul “Menujumu.” Penyair di sini saya acungi jempol terkait dengan judul itu sendiri. “Menujumu” dalam puisi ini bisa memiliki dua makna, pertama hubungan secara horizontal dan kedua hubungan secara vertikal. Tapi ternyata “mu” dalam puisi karya Aditya Dwi Yoga selanjutnya Adit cukup rancu. Karena yang dituju ternyata bukan “Mu” yang menjelaskan hubungan secara horizontal. Apakah puisi ini tentang kegalauan sang penyair (Adit)? Karena keterkaitan “mu” di sini dijelaskan pada baris pada sajak-sajaknya yang memiliki hubungan secara vertikal.
Dijelaskan pada baris aku bergerak ke arahmu, panggilanmu yang lantang berdengung membentur gugus karang yang kasar, o, tubuhmu yang terkapar dan dan aku menyusulmu.
Bagi saya, seorang penyair yang memutuskan untuk menciptakan puisi yang beraliran sufi setidaknya harus mengetahui seluk beluk dirinya sendiri. Sebab untuk mencapai “Mu” seseorang harus mampu mengalahkah dirinya sendiri, terutama nafsunya. Sebagaimana adagium ilmu tasawuf: Untuk mengetahui Tuhan, mesti mengetahui dirinya sendiri.
Sedangkan dalam puisi ini, menurut saya, tidak ada jalan yang relevan untuk menuju “Mu” yang sebenarnya. Apakah penyair sendiri sadar akan hal itu? Karena pada hakikatmya, kita adalah hamba dan yang dituju adalah Tuhan. Jadi, kita harus mampu menempatkan diri yang pantas sebagai hamba.
Dalam puisi ini penyair (Adit) sepertinya memang dengan sadar tidak ingin menciptakan puisi yang berkaitan dengan Tuhan sebagaimana puisi-puisi sufistik. Kenapa tidak memilih judul yang lain, selain “Menujumu.” Misalnya “Perjalanan” atau yang lain.
Mungkin, jika penyair sendiri memilih judul yang tepat akan lebih istimewa puisinya. Sebab dari baris-baris puisinya belum menjelaskan atau memberikan makna tentang ketuhanan. Di sini saya melihat atau merasakan kegalauan dari keseluruhan puisinya. Seperti, mengejar kepergian kekasihnya dan “aku” di sini ingin mengejarnya.
Kali ini boleh kita membandingan puisi karya Adit dengan karya Abdul Hadi WM yang berjudul “Jalan Ke Pantai” dalam antalogi puisinya yang berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat.

JALAN KE PANTAI
Jalan ke pantai dari rumahku
kecil berkerikil, namun terasa lebar
jika kujejakan kaki menghidupkan nafas pasir
duri-duri semak selalu berkisah –
sumur-sumur tak pernah kering
di tengah ketandusan. Luka
Tak terasa sebagai luka bila tercium
harum darah kembang kembang kaktus liar
Dan usia membuang semua usianya
 Akar-akar kebebasan bangkit kembali
dan tunasnya menghijau menyikap cakrawala
Apa yang mesti kucemaskan?
Telah banyak hari-hari kulalui
Telah banyak hari-hari melaluiku
Melalui semak-semak, duri-duri
Melalui jalan ke pantai dari rumahku
Membawa langit, membentang langit
Menuntun anak pada ibunya
Kelopak-kelopak mawar kepada sari-sari bunga.

1991

Di sini saya merasakan sekali bahwa kita yang kesepian sebagai hamba dan merasakan kehadiran Tuhan yang begitu dekat. Sedikit berbeda dengan karya milik saudara Adit. Meski saya merasakan kesendirian, tapi tidak menghadirkan Tuhan di dalamnya.
Sebenarnya dalam kedua puisi tersebut seperti memunculkan sebuah kehilangan. Tapi saya lebih merasakan kepasrahan hamba pada Tuhan sebab hari-hari yang telah dilalui dan melalui, seperti dalam puisi karya Abdul Hadi WM. Sedangkan dalam karya Adit, saya hanya merasakan sebuah kehilangan seorang kekasih dan penyair, selanjutnya Adit, pasrah pada Tuhan karena kehilangan kekasihnya. Sedangkan dalam puisi “Jalan Ke Pantai” penyair benar-benar pasrah akan dirinya pada Tuhan sepenuhnya, bukan karena seorang kekasih, tapi sebab apa yang telah ia lalui semasa hidup dan ingin kembali pada Tuhan yang dirasa sangat dekat.
Share:

2 komentar: