Selasa, 16 Desember 2014

CATATAN CACAT LOGIKA



Catatan Cacat Logika
A.    Kepenulisan
1.      Pengacuan langsung kepada orang atau nama orang dalam kalimat langsung harus menggunakan huruf kapital. (Gampangnya, kalau yang diajak berbicara ada di depan kita, maka menggunakan huruf kapital. Namun jika yang dibicarakan tidak berada dalam satu tempat, maka menggunakan huruf kecil).
Contoh: “Eh, Pak! Kemarin paman menitip pesan.”
2.      Tanda petik satu [‘ ’] digunakan untuk menyatakan makna, sedangkan tanda petik dua [“ ”] digunakan untuk menekankan sesuatu.
3.      Terlalu banyak tanda titik-titik [........] yang seharusnya tidak perlu.
4.      Untuk menjelaskan sesuatu yang masih dalam satu kalimat, bisa menggunakan pemisah koma [,], tanda kurung [( )], atau tanda [‒]. Jadi, kurang tepat jika menggunakan tanda petik dua [“ ”] ataupun petik satu [‘ ’].
Contoh:
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina, gadis ingusan kami.
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina (gadis ingusan kami).
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina‒gadis ingusan kami.
5.      Meskipun kata atau kalimat ditulis miring (italic), tanda baca harus tegak.


B.     Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno logos yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis).

            Membaca cerpen Badron dengan judul “Elegi Kepala”, saya menemukan beberapa cacat logika.

Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang seharusnya mengajarkan cara mengelupas kelapa malah mengajarkan cara menguliti kepala orang. (paragraf pertama)

Kerjaan bapak dulu bukan maling. Maling merupakan kerjaan terakhir dari beberapa pilihan. Tukang tambal ban, sepi. (paragraf kesepuluh)
                       
Pada paragraf pertama, Badron menyebutkan tentang “mengajarkan cara mengelupas kelapa”. Namun pada paragraf kesepuluh, dijelaskan bahwa tokoh bapak dalam cerpen tersebut bekerja sebagai “tukang tambal ban”. Jelas sekali ada logika cerita yang dipertanyakan. Melalui paragraf pertama, pembaca sudah digiring untuk memahami pekerjaan tokoh bapak, tetapi hingga akhir cerita, perkara “kelapa” tidak pernah disinggung lagi. Apakah hanya sekadar mempercantik diksi antara “kepala dan kelapa”? Hanya Tuhan dan Badron yang tahu.
Tidak salah menggunakan gaya flash back di dalam sebuah cerpen. Namun, alur maju-mundur-mundur-maju harus cantik, seperti lagu barunya Syahrini itu. Sayangnya, dalam cerpen ini cukup (gagal, pun tidak ganteng). Pembagian tentang alam mimpi, kenyataan, putaran waktu yang kurang jelas sangat mengganggu logika cerita yang dibangun.
Pembaca, khususnya saya, cukup gemas dengan usia si Ina gadis ingusan kami itu. Usia tiga tahun dia diadopsi, tetapi masih sering terdapat sempilan kata “netekin”. Anak tiga tahun masih netek? Atau, penulis yang suka dengan kata itu? Ah, lagi-lagi ini hanya Tuhan dan Badron yang tahu.
Waktu itu Ina berumur tiga tahun. Tiga tahun baru lepas dari teteknya ibu, lalu diasuh Paman Kasmin dan Bi Warti.
Ina jadi linglung. Sampai umur belasan takut laki-laki “Kecuali aku dan bapak”.
Sebelum Ina lahir. Aku berumur sebelas tahun.
Uang togel buat beli obat Ina. Gadis belasan yang linglung. “Saatnya kawin,” kata simbah. Jelas Ina tak laku.
Ina sudah belasan, aku sudah dua puluhan.
Ina loncat-loncat. Kayak mau minta netek ibu lagi.

Di tengah-tengah cerita, muncul banyak tokoh. Simbah, Paman Kasmin, Bi Warti, Kang Maman. Fungsi tokoh simbah dan Bi Warti jika dihilangkan tidak akan banyak berpengaruh dalam keutuhan cerita.
Kemudian, muncul konflik baru tentang ibu yang ternyata selingkuh dengan Kang Maman. Untuk menjelaskan sebagai masa lalu, konflik ini tidak berpengaruh banyak kepada isi cerita. Kecuali pemikiran saya bahwa Ina itu anak Kang Maman, sih. Tapi, kenapa yang dipotong hanya kepala Paman Kasmin? Kenapa bukan Kang Maman yang sudah selingkuh dengan istrinya bapak?
Secara logika‒jika benar Kang Maman bapaknya Ina (atau perlu tes DNA dulu, Kak?), harusnya yang lebih pantas dipotong adalah kepala Kang Maman. Bapak perlu berterima kasih karena Paman Kasmin sudah “gituin” Ina. Toh, Ina bukan anak kandung bapak. Tapi kenapa harus kepala Paman Kasmin? Kenapa? Jelaskan! (Soal esai ini bobotnya 80 poin).
Nah, jika Badron berhasil membangun logika cerita yang pas, pasti pertanyaan konyol saya di atas tidak perlu muncul. Sekali lagi, ini tentang logika cerita yang‒menurut saya‒cacat.

C.    Penceritaan
Maaf sebelumnya, silakan keluarkan Joni Ariadinata dari dalam diri Anda. Sudah? Oke, Terima kasih.

D.    Simpulan
Belajar lagi tentang teknik penulisan. Bangun logika cerita yang masuk akal dan tidak ribet sehingga pembaca tahu mau dibawa ke mana hubungan cerita kita ini. Berlebihan tokoh dan konflik yang memperparah cacat logika cerita. Konflik terlalu lebar seperti badan Adit. Usir sesuatu yang pernah atau masih kamu cintai sampai sekarang (baca: Joni Ariadinata).

E.     Kepustakaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Logika



*Penulis (penganalisis) adalah perempuan salah pergaulan yang suka mantengin Mojok.co sehingga mempunyai gaya tulisan yang sangat tidak formal. Pengaruh ini dirasakan sejak kenal tahu tentang penulis ketje bade asal Bangka, Dea Anugrah. Semoga berjodoh dengan orang seperti itu, amiin. Maaf ngelantur. Semoga bisa dimengerti.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar