Catatan
Cacat Logika
Oleh: Utami Pratiwi*
A.
Kepenulisan
1. Pengacuan
langsung kepada orang atau nama orang dalam kalimat langsung harus menggunakan
huruf kapital. (Gampangnya, kalau yang diajak berbicara ada di depan kita, maka
menggunakan huruf kapital. Namun jika yang dibicarakan tidak berada dalam satu
tempat, maka menggunakan huruf kecil).
2. Tanda
petik satu [‘ ’] digunakan untuk menyatakan makna, sedangkan tanda petik dua [“ ”] digunakan untuk menekankan sesuatu.
3. Terlalu
banyak tanda titik-titik [........] yang seharusnya tidak perlu.
4. Untuk
menjelaskan sesuatu yang masih dalam satu kalimat, bisa menggunakan pemisah
koma [,], tanda kurung [( )], atau tanda [‒]. Jadi, kurang tepat jika
menggunakan tanda petik dua [“ ”] ataupun petik satu [‘ ’].
Contoh:
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina,
gadis ingusan kami.
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina (gadis ingusan kami).
Sambil nyanyi-nyanyi, ibu memeluk Ina‒gadis ingusan kami.
5. Meskipun
kata atau kalimat ditulis miring (italic), tanda baca harus tegak.
B.
Logika
Logika
berasal dari kata Yunani kuno logos yang berarti hasil pertimbangan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu,
logika disebut dengan logike episteme
(Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang
mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini
mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada
kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata
logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Konsep
bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan
(validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya.
Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan
antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis).
Membaca cerpen Badron dengan judul
“Elegi Kepala”, saya menemukan beberapa cacat logika.
Aku tidak
habis pikir, bagaimana bisa seorang yang seharusnya mengajarkan cara mengelupas
kelapa malah mengajarkan cara menguliti kepala orang. (paragraf
pertama)
Kerjaan bapak
dulu bukan maling. Maling merupakan kerjaan terakhir dari beberapa pilihan.
Tukang tambal ban, sepi.
(paragraf kesepuluh)
Pada paragraf pertama, Badron
menyebutkan tentang “mengajarkan cara mengelupas kelapa”. Namun pada paragraf
kesepuluh, dijelaskan bahwa tokoh bapak dalam cerpen tersebut bekerja sebagai
“tukang tambal ban”. Jelas sekali ada logika cerita yang dipertanyakan. Melalui
paragraf pertama, pembaca sudah digiring untuk memahami pekerjaan tokoh bapak,
tetapi hingga akhir cerita, perkara “kelapa” tidak pernah disinggung lagi.
Apakah hanya sekadar mempercantik diksi antara “kepala dan kelapa”? Hanya Tuhan
dan Badron yang tahu.
Tidak salah menggunakan gaya flash back di dalam sebuah cerpen.
Namun, alur maju-mundur-mundur-maju harus cantik, seperti lagu barunya Syahrini
itu. Sayangnya, dalam cerpen ini cukup (gagal, pun tidak ganteng). Pembagian
tentang alam mimpi, kenyataan, putaran waktu yang kurang jelas sangat
mengganggu logika cerita yang dibangun.
Pembaca, khususnya saya, cukup gemas
dengan usia si Ina gadis ingusan kami itu. Usia tiga tahun dia diadopsi, tetapi
masih sering terdapat sempilan kata “netekin”. Anak tiga tahun masih netek? Atau,
penulis yang suka dengan kata itu? Ah, lagi-lagi ini hanya Tuhan dan Badron
yang tahu.
Waktu itu Ina berumur tiga tahun. Tiga tahun baru
lepas dari teteknya ibu, lalu diasuh Paman Kasmin dan Bi Warti.
Ina jadi linglung. Sampai
umur belasan takut laki-laki “Kecuali aku dan bapak”.
Sebelum Ina lahir. Aku berumur sebelas tahun.
Uang togel buat beli obat Ina. Gadis belasan yang
linglung. “Saatnya kawin,” kata simbah. Jelas Ina tak laku.
Ina sudah belasan, aku sudah dua puluhan.
Ina loncat-loncat. Kayak mau
minta netek ibu lagi.
Di tengah-tengah cerita, muncul banyak
tokoh. Simbah, Paman Kasmin, Bi Warti, Kang Maman. Fungsi tokoh simbah dan Bi
Warti jika dihilangkan tidak akan banyak berpengaruh dalam keutuhan cerita.
Kemudian, muncul konflik baru tentang
ibu yang ternyata selingkuh dengan Kang Maman. Untuk menjelaskan sebagai masa
lalu, konflik ini tidak berpengaruh banyak kepada isi cerita. Kecuali pemikiran
saya bahwa Ina itu anak Kang Maman, sih. Tapi, kenapa yang dipotong hanya
kepala Paman Kasmin? Kenapa bukan Kang Maman yang sudah selingkuh dengan
istrinya bapak?
Secara logika‒jika benar Kang Maman bapaknya
Ina (atau perlu tes DNA dulu, Kak?), harusnya yang lebih pantas dipotong adalah
kepala Kang Maman. Bapak perlu berterima kasih karena Paman Kasmin sudah
“gituin” Ina. Toh, Ina bukan anak kandung bapak. Tapi kenapa harus kepala Paman
Kasmin? Kenapa? Jelaskan! (Soal esai ini bobotnya 80 poin).
Nah, jika Badron berhasil membangun
logika cerita yang pas, pasti pertanyaan konyol saya di atas tidak perlu
muncul. Sekali lagi, ini tentang logika cerita yang‒menurut saya‒cacat.
C.
Penceritaan
Maaf
sebelumnya, silakan keluarkan Joni Ariadinata dari dalam diri Anda. Sudah? Oke,
Terima kasih.
D.
Simpulan
Belajar
lagi tentang teknik penulisan. Bangun logika cerita yang masuk akal dan tidak
ribet sehingga pembaca tahu mau dibawa ke mana hubungan cerita kita
ini. Berlebihan tokoh dan konflik yang memperparah cacat logika cerita. Konflik
terlalu lebar seperti badan Adit. Usir sesuatu yang pernah atau masih
kamu cintai sampai sekarang (baca: Joni Ariadinata).
E.
Kepustakaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
*Penulis (penganalisis) adalah perempuan salah
pergaulan yang suka mantengin Mojok.co sehingga mempunyai gaya tulisan yang
sangat tidak formal. Pengaruh ini dirasakan sejak kenal tahu tentang
penulis ketje bade asal Bangka, Dea Anugrah. Semoga berjodoh dengan orang
seperti itu, amiin. Maaf ngelantur. Semoga bisa dimengerti.
0 komentar:
Posting Komentar