Selasa, 16 Desember 2014

ESAI "INTERTEKSTUALITAS DAN EKSISTENSI"



INTERTEKSTUALITAS DAN EKSISTENSI

Ada dua hal mengapa karya sastra perlu dikritik (Endraswara, 2013: 3), 1) agar karya sastra yang dihasilkan pengarang semakin meningkat bobotnya, ada perubahan di waktu-waktu yang akan datang, 2) agar karya sastra yang dihasilkan tidak menyimpang dari hal-hal yang membahayakan eksistensi pengarang. Kritik tidak hanya terbatas pada pertimbangan baik-buruknya sebuah karya, tetapi ada aktivitas lain yang penting
untuk diulas. Tulisan ini akan sedikit mengupas gaya penulisan intertekstual[1] cerpen berjudul Elegi Kepala (2014) karya Badrun terkait dengan gaya penulisan cerpen Joni Ariadinata. Mari diskusikan.

Bapak kepalanya muncrat darah. Isi kepalanya berangsur keluar. Otaknya putih seputih susu ibu. Pernah lihat dulu “Tidak sengaja, ibu netekin Ina”. Bagaimana darah bapak tidak muncrat? Tak keluar? Batu sebesar kepala orang dihantamkan ke kepalanya. Eh, bapak malah tertawa terbahak-bahak. Semacam tawa ngece. Atau menertawakan diri sendiri karena keadaan sudah terpojok. Tinggal maut mengetuk.  Aku nangis. Beringsutan. Mulut mendadak bisu. Bergetar. Telinga seperti disumpel linggis. Nyaring, sirine masuk telinga melalui linggis. Mau lari tak jadi. Kaku batu. Berat. Kesemutan. Jadi patung. Nahan pipis juga. Mau dikeluarin malu. Tak dikeluarin rasanya geli. (Badrun. Elegi Kepala (2014), hal. 1).
           
            Lelaki Kiai tertawa terbahak. Aneh. Pohon-pohon bergetar, lalu hening. Gurat-gurat wajah penuh rahasia ngelangut. Serban putih berkibaran. Dan Kanap bergidik. Berkali-kali. Lantas menatap di balik bukit Tursina, orang-orang Lembah Asmaketek tengah menunggu mereka. Sedang orang-orang Kampung Hitut kaya-raya, terbayang jika kelak dikutuk menjadi babi. Ya Tuhan...
“Tinggal satu pertanyaanku yang belum kau jawab, Kanap!” mimik sang lelaki putih tiba-tiba berubah serius: “Kenapa Ki Sabrang Maruto menyuruhku untuk singgah di Lembah Asmaketek? Heh?!”
Kanap terdiam. Sungguh. Gemerobyak dahan kering trembesi berderak. Jatuh. Ajaib. Di langit matahari pahit meleleh. Ia terpaku: “Saya akan dibunuh. Betul. Jika...” (Joni Ariadinata[2]. Kumcer Air Kaldera. Kita Mengadu Kepada Mayat (1997), hal. 15).

            Potongan kedua cerpen di atas memiliki gaya penulisan yang mirip. Kalimat-kalimat disusun secara semena-mena. Berbicara tentang karakter penulisan cerpen Elegi Kepala (2014) selanjutnya (EK) dan Kita Mengadu Kepada Mayat (1997) selanjutnya (KMKM) apabila dikaji secara interteks cerpen Joni Ariadinata menjadi hipogram bagi cerpen Badrun –jika dilihat dari tahun penulisan−. Karakteristik yang mencolok adalah munculnya satu kata yang diakhiri dengan titik, apakah itu bisa disebut sebagai kalimat atau hanya sebagai penegasan. Selain itu muncul istilah asing yang digunakan dalam penulisan masing-masing cerpen. Pada EK muncul istilah “ngece, beringsutan, disumpel”, sedangkan dalam KMKM muncul istilah “ngelangut, gemerobyak”.
            Kemiripan kedua cerpen ini perlu mendapat perhatian lebih, terutama bagi Badrun. Eksistensi Joni sebagai cerpenis di Indonesia sudah tidak diragukan lagi, bagaimana dengan Badrun? Dari intertekstualitas gaya penulisan yang sudah sedikit dibahas di atas, seharusnya Badrun bisa menulis dengan –gaya penulisannya− sendiri.
            Seseorang yang terlibat dalam dunia kesusateraan −khususnya penulis− tentu tidak mau dikatakan jika karya atau tulisannya dikatakan sebagai saduran atau plagiasi. Inilah permasalahan sesungguhnya bagi (kita) penulis di masa sekarang. Kesulitan untuk menemukan hal-hal baru dan sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh karya-karya yang sudah ada sebelumnya. Diperlukan wawasan yang luas, kesabaran, dan kekreatifan untuk menemukan hal-hal baru.
            Sekiranya hanya sedikit ulasan yang bisa sampaikan, semoga bermanfaat dan mohon maaf bila ada kekurangannya. Mari kukuhkan eksistensi kita dengan karya yang sesuai dengan gaya penulisan masing-masing. Sip.
Joni ya Joni, Badrun ya Badrun.

Ariadinata, Joni. 2000. Air Kaldera. Yogyakarta: Aksara Indonesia.
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


[1] Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesusastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. (Nurgiyantoro, 2010: 50)
[2] Cerpenis. Lahir di Majapahit, Majalengka 23  Juni  1966. Kumpulan  cerita pendeknya yang telah terbit adalah Kali  Mati (Bentang  Budaya, 1999),  Kastil  Angin Menderu (Indonesia Tera,  2000),  dan  Air Kaldera (Aksara Indonesia, 2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (DAR Mizan, 2004).
Share:

0 komentar:

Posting Komentar