INTERTEKSTUALITAS DAN EKSISTENSI
Oleh ArdyPriyantoko
Ada
dua hal mengapa karya sastra perlu dikritik (Endraswara, 2013: 3), 1) agar
karya sastra yang dihasilkan pengarang semakin meningkat bobotnya, ada
perubahan di waktu-waktu yang akan datang, 2) agar karya sastra yang dihasilkan
tidak menyimpang dari hal-hal yang membahayakan eksistensi pengarang. Kritik
tidak hanya terbatas pada pertimbangan baik-buruknya sebuah karya, tetapi ada
aktivitas lain yang penting
untuk diulas. Tulisan ini akan sedikit mengupas gaya penulisan −intertekstual[1]− cerpen berjudul Elegi Kepala (2014) karya Badrun terkait dengan gaya penulisan cerpen Joni Ariadinata. Mari diskusikan.
untuk diulas. Tulisan ini akan sedikit mengupas gaya penulisan −intertekstual[1]− cerpen berjudul Elegi Kepala (2014) karya Badrun terkait dengan gaya penulisan cerpen Joni Ariadinata. Mari diskusikan.
Bapak
kepalanya muncrat darah. Isi kepalanya berangsur keluar. Otaknya putih seputih susu
ibu. Pernah lihat dulu “Tidak sengaja, ibu netekin Ina”. Bagaimana darah bapak tidak muncrat? Tak keluar? Batu sebesar kepala
orang dihantamkan ke kepalanya. Eh, bapak malah tertawa terbahak-bahak. Semacam
tawa ngece. Atau menertawakan diri
sendiri karena keadaan sudah terpojok. Tinggal maut mengetuk. Aku nangis. Beringsutan. Mulut mendadak bisu. Bergetar. Telinga seperti disumpel linggis. Nyaring, sirine masuk
telinga melalui linggis. Mau lari tak jadi. Kaku batu. Berat. Kesemutan. Jadi
patung. Nahan pipis juga. Mau dikeluarin malu. Tak dikeluarin rasanya geli. (Badrun.
Elegi Kepala (2014), hal. 1).
Lelaki Kiai tertawa terbahak. Aneh.
Pohon-pohon bergetar, lalu hening. Gurat-gurat wajah penuh rahasia ngelangut. Serban putih berkibaran. Dan
Kanap bergidik. Berkali-kali. Lantas menatap di balik bukit Tursina,
orang-orang Lembah Asmaketek tengah menunggu mereka. Sedang orang-orang Kampung
Hitut kaya-raya, terbayang jika kelak dikutuk menjadi babi. Ya Tuhan...
“Tinggal
satu pertanyaanku yang belum kau jawab, Kanap!” mimik sang lelaki putih
tiba-tiba berubah serius: “Kenapa Ki Sabrang Maruto menyuruhku untuk singgah di
Lembah Asmaketek? Heh?!”
Kanap
terdiam. Sungguh. Gemerobyak dahan
kering trembesi berderak. Jatuh. Ajaib. Di langit matahari pahit meleleh. Ia
terpaku: “Saya akan dibunuh. Betul. Jika...” (Joni Ariadinata[2]. Kumcer Air Kaldera. Kita Mengadu Kepada Mayat (1997), hal.
15).
Potongan
kedua cerpen di atas memiliki gaya penulisan yang mirip. Kalimat-kalimat
disusun secara semena-mena. Berbicara tentang karakter penulisan cerpen Elegi Kepala (2014) selanjutnya (EK) dan
Kita Mengadu Kepada Mayat (1997)
selanjutnya (KMKM) apabila dikaji secara interteks cerpen Joni Ariadinata
menjadi hipogram bagi cerpen Badrun –jika dilihat dari tahun penulisan−. Karakteristik
yang mencolok adalah munculnya satu kata yang diakhiri dengan titik, apakah itu
bisa disebut sebagai kalimat atau hanya sebagai penegasan. Selain itu muncul
istilah asing yang digunakan dalam penulisan masing-masing cerpen. Pada EK muncul
istilah “ngece, beringsutan, disumpel”,
sedangkan dalam KMKM muncul istilah “ngelangut,
gemerobyak”.
Kemiripan
kedua cerpen ini perlu mendapat perhatian lebih, terutama bagi Badrun.
Eksistensi Joni sebagai cerpenis di Indonesia sudah tidak diragukan lagi,
bagaimana dengan Badrun? Dari intertekstualitas gaya penulisan yang sudah
sedikit dibahas di atas, seharusnya Badrun bisa menulis dengan –gaya
penulisannya− sendiri.
Seseorang
yang terlibat dalam dunia kesusateraan −khususnya penulis− tentu tidak mau
dikatakan jika karya atau tulisannya dikatakan sebagai saduran atau plagiasi.
Inilah permasalahan sesungguhnya bagi (kita) penulis di masa sekarang.
Kesulitan untuk menemukan hal-hal baru dan sulit untuk melepaskan diri dari
pengaruh karya-karya yang sudah ada sebelumnya. Diperlukan wawasan yang luas,
kesabaran, dan kekreatifan untuk menemukan hal-hal baru.
Sekiranya
hanya sedikit ulasan yang bisa sampaikan, semoga bermanfaat dan mohon maaf bila
ada kekurangannya. Mari kukuhkan eksistensi kita dengan karya yang sesuai
dengan gaya penulisan masing-masing. Sip.
Joni ya Joni, Badrun ya Badrun.
Ariadinata,
Joni. 2000. Air Kaldera. Yogyakarta:
Aksara Indonesia.
Endraswara,
Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta:
CAPS.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
[1]
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks
(lengkapnya: teks kesusastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik
seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain.
Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang
muncul lebih kemudian. (Nurgiyantoro, 2010: 50)
[2]
Cerpenis. Lahir di Majapahit, Majalengka 23
Juni 1966. Kumpulan cerita pendeknya yang telah terbit adalah
Kali Mati (Bentang Budaya, 1999), Kastil
Angin Menderu (Indonesia Tera,
2000), dan Air Kaldera (Aksara Indonesia, 2000), dan
Malaikat Tak Datang Malam Hari (DAR Mizan, 2004).
0 komentar:
Posting Komentar