Berkenalan dengan Teori
Oleh Ari Prastyo Nugroho
Sebermula adalah obrolan
dengan kawan-kawan, dari acara ke acara dan tersendat di bangku kuliah.
Pengalaman saya berkenalan dengan beberapa teori, terutama yang pascastruktural,
justru dari cerita kawan-kawan yang tentunya lebih senior dalam hal menempuh
pendidikan tinggi. Saya hanya mendengarkan, mereka menceritakan beberapa
teoritikus sastra sekaligus apa saja konsep-konsep yang ditawarkan. Sambil
minum kopi atau diselingi obrolan ringan di sebuah warung makan, saya tidak
dengan segera paham apa yang dibicarakan tadi. Saya harus menyimpannya dalam
jangka waktu cukup panjang agar perlahan saya mengerti sedikit. Entah kebetulan
atau tidak, acara-acara diskusi yang saya datangi pernah memperkenalkan
beberapa teori yang sayangnya tidak pernah saya dapat ketika kuliah strata
satu. Waktu itu berturut-turut seingat saya, dari mulai wacana Focault,
Fenomenologi Husserl, Arena kultural Bourdiaeu, Ruang dalam kerangka Sara Upstone,
dan simulacrum Jean Baudrillard.
Dalam perjalanan kemudian
saya mendengar cerita dari kawan-kawan tentang Dekontruksi Derrida, Hibriditas
Homi K Bhabha, fungsi pelaku cerita Vladimir Propp, dan reportoar Wolfgang
Iser. Jangan dibayangkan penerimaan tersebut komprehensif, saya hanya menangkap
sepotong-potong dan apabila dicoba-terapkan ke dalam karya sastra hanya
terkesan agar wangun. Setelah merefleksi dari deretan tersebut, almamater saya
tidak lebih dari jurusan tanggung dalam konsentrasi keilmuan: tidak juga
ditekankan kependidikan, bahasa sedikit-sedikit, apalagi soal sastra. Bahkan
ketika akan ada penelitian karya Pramudya Ananta Toer saja mesti diganti dengan
objek yang lain.
Apalagi setelah saya
diberi kesempatan belajar di universitas yang benar-benar Universitas Gambar
Matahari (UGM), sulit dibayangkan jika di almamater sebelumnya (mesti)
mempelajari teori-teori yang basisnya adalah Marxis atau pemikir-pemikir
postmarxis. Satu per satu, beberapa nama yang telah disebut di atas dibahas
lebih dalam di UGM. Kemudian saya seperti mendapat peta konsep yang belum saya
temukan sebelumnya tentang teori-teori yang berkembang. Ada dua pandangan
terhadap karya sastra, mungkin juga terhadap dunia, yaitu strukturalisme dan
pascastrukturalisme.
Strukturalisme memilik akar
yang cukup kuat pada formalisme yang berkembang di Rusia pada tahun 1910.
Formalisme Rusia merupakan teori di
Rusia yang menitikberatkan analisisnya pada unsur-unsur formal karya sastra,
khususnya yang memiliki kekhasan karya sastra (literariness). Karya sastra
dianggap bentuk yang otonom. Teori ini menggunakan analisis ilmiah dan
objektif karena pembahasannya didasarkan
pada fakta-fakta yang ada pada karya sastra, bukan pengarang, konteks
masyarakat, atau pun pembaca. Aliran ini menerapkan linguistik pada kajian
sastra yang berfokus pada struktur bahasa. Dari formalisme Rusia kemudian berkembang
menjadi Strukturalisme Praha, dan berkembang cukup pesat yang disebut Strukturalisme
Prancis setelah Todorov menerbitkan buku yang berjudul Theori de la Litterature
pada tahun 1965. Dalam perkembangan kritik sastra Indonesia, Aprinus Salam
mengatakan tokoh yang cenderung menggunakan teori-teori strukturalisme adalah
H.B Jassin pad kisaran tahun 1970 sampai dengan 1980-an. Pandangan yang
dimaksud terhadap teori tersebut adalah yang berkaitan dengan analisis-analisis
intrinsik yang menjelaskan struktur karya dan diikuti semacam penghakiman
kualitas estetis karya sastra. Sifatnya yang otonom, instrinsik, dan struktur
menjadikan teori ini seakan terlepas dari realitas sosial. Kajian strukturalis
dianggap berguna bagi pengembangan pengetahuan teknik-teknik para sastrawan.
Namun, pada dasarnya kritik sastra lebih dikembangkan agar menjadi jembatan
antara karya dengan pembaca, kemudian ditarik lebih jauh adalah pemahaman pembaca
terhadap karya bisa mengantarkan ke konteks sosial.
Atas dasar asumsi yang
terakhir, menurut saya kemudian muncul pandangan baru yang disebut
pascastrukturalisme. Pandangan ini berdasar kepada strukturalisme namun dengan
menawarkan perbaikan kritis yang cenderung dengan nada menentang. Pada masa
kini perkembangan kata pasca- atau post terasa begitu masif yang melekat pada
kata kolonialisme, feminis, memori, truth, struktulisme dan seterusnya. Kita
memasuki era pasca. Bisa kita amati dalam pandangan Derrida ketika menolak pendapat
Sausure tentang fonosentrisme bahwa bahasa adalah bunyi. Begitupun hubungan
antara penanda dengan petanda terasa kaku. Dalam pengertian yang lebih luas,
pascastrukturalisme menentang logosentrisme, yakni ikhwal “pusat”. Bahasa yang
awalnya tertutup, stabil, kemudian bergerak menjadi bahasa yang terbuka dan
instabil. Persoalan ini juga ditegaskan karena bahasa bersifat arbitrer. Kontruksi
bahasa kadang dari ideologi tertentu kemudian seolah diterima secara universal
dan alamiah. Pandangan mapan seperti ini yang coba dikritisi oleh
pascastrukturalisme.
Menurut Salam, pada tahun 1980-an merupakan masa perpindahan
penelitian struktural ke pascastruktural atau sosiologi sastra. Karya sastra
kemudian ditempatkan sebagai data sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, gender,
dan persoalan kontekstual lainnya. Penelitian yang baru kemudian yang bisa saya
disebut adalah Arena Kultural Emha Ainun Nadjib oleh Latief S Nugraha,
Konstruksi Tubuh Puisi Joko Pinurbo oleh Dwi Raharyoso, Reportoir Novel Yin
Gamela oleh Iqbal Saputra, Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya
dalam Arena Sastra Indonesia, Subjektivitas Pramudya Ananta Toer dengan Novel Perburuan oleh Ramayda Akmal, Paradoks
Narasi Penyelamatan Keseimbangan Ekosistem Dalam Novel Kailasa Karya Jusuf An Kajian Ekokritik oleh Widya Prana Rini, dan
beberapa penelitian setelahnya.
Dari perkenalan dan
pertemuan lebih lanjut dengan nama-nama di atas, ada yang perlu diperhatikan.
Ibarat seseorang sudah mempunyai pisau bedah (sebagai alat) tapi belum bisa menggunakannya
(aplikasi), objek materiil seagung apapun barangkali hanya akan jadi artifak. Persoalan
ini kemudian yang saya temui ketika berhadapan dengan Fredric Jameson seorang
post-Marxis dengan teori materialisme
cultural. Jameson berdiri di atas 3
pemikir; Marxis, Lacan, Freud, dan pemikiran posmodernisme. Konsepnya yang
menarik dituangkan dalam tiga langkah yakni Narasi sebagai Tindakan Simbolik,
Ideologeme, dan Ideologi bentuk. Asumsi dasar dari pemikiran Jameson adalah
karya sastra adalah tindakan simbolik sosial dalam konteks sejarah tertentu.
Teks memiliki relasi dengan formasi-formasi sosial di mana bentuk kultural
tersebut muncul. Karya sastra terdiri dari mainteks dan subteks. Kerja Jameson
cenderung untuk menemukan peristiwa atau pengalaman yang terepresi yang disebut
sebagai substeks. Dalam prosesnya Jameson meminjam konsep Freud tentang Id untuk mengungkap ketidaksadaran
politik (Political Uncosious).