Rabu, 28 November 2018

Berkenalan dengan Teori


Berkenalan dengan Teori

Oleh Ari Prastyo Nugroho

Sebermula adalah obrolan dengan kawan-kawan, dari acara ke acara dan tersendat di bangku kuliah. Pengalaman saya berkenalan dengan beberapa teori, terutama yang pascastruktural, justru dari cerita kawan-kawan yang tentunya lebih senior dalam hal menempuh pendidikan tinggi. Saya hanya mendengarkan, mereka menceritakan beberapa teoritikus sastra sekaligus apa saja konsep-konsep yang ditawarkan. Sambil minum kopi atau diselingi obrolan ringan di sebuah warung makan, saya tidak dengan segera paham apa yang dibicarakan tadi. Saya harus menyimpannya dalam jangka waktu cukup panjang agar perlahan saya mengerti sedikit. Entah kebetulan atau tidak, acara-acara diskusi yang saya datangi pernah memperkenalkan beberapa teori yang sayangnya tidak pernah saya dapat ketika kuliah strata satu. Waktu itu berturut-turut seingat saya, dari mulai wacana Focault, Fenomenologi Husserl, Arena kultural Bourdiaeu, Ruang dalam kerangka Sara Upstone, dan simulacrum Jean Baudrillard.

Dalam perjalanan kemudian saya mendengar cerita dari kawan-kawan tentang Dekontruksi Derrida, Hibriditas Homi K Bhabha, fungsi pelaku cerita Vladimir Propp, dan reportoar Wolfgang Iser. Jangan dibayangkan penerimaan tersebut komprehensif, saya hanya menangkap sepotong-potong dan apabila dicoba-terapkan ke dalam karya sastra hanya terkesan agar wangun. Setelah merefleksi dari deretan tersebut, almamater saya tidak lebih dari jurusan tanggung dalam konsentrasi keilmuan: tidak juga ditekankan kependidikan, bahasa sedikit-sedikit, apalagi soal sastra. Bahkan ketika akan ada penelitian karya Pramudya Ananta Toer saja mesti diganti dengan objek yang lain.

Apalagi setelah saya diberi kesempatan belajar di universitas yang benar-benar Universitas Gambar Matahari (UGM), sulit dibayangkan jika di almamater sebelumnya (mesti) mempelajari teori-teori yang basisnya adalah Marxis atau pemikir-pemikir postmarxis. Satu per satu, beberapa nama yang telah disebut di atas dibahas lebih dalam di UGM. Kemudian saya seperti mendapat peta konsep yang belum saya temukan sebelumnya tentang teori-teori yang berkembang. Ada dua pandangan terhadap karya sastra, mungkin juga terhadap dunia, yaitu strukturalisme dan pascastrukturalisme.

Strukturalisme memilik akar yang cukup kuat pada formalisme yang berkembang di Rusia pada tahun 1910. Formalisme Rusia merupakan  teori di Rusia yang menitikberatkan analisisnya pada unsur-unsur formal karya sastra, khususnya yang memiliki kekhasan karya sastra (literariness). Karya sastra dianggap bentuk yang otonom. Teori ini menggunakan analisis ilmiah dan objektif  karena pembahasannya didasarkan pada fakta-fakta yang ada pada karya sastra, bukan pengarang, konteks masyarakat, atau pun pembaca. Aliran ini menerapkan linguistik pada kajian sastra yang berfokus pada struktur bahasa.  Dari formalisme Rusia kemudian berkembang menjadi Strukturalisme Praha, dan berkembang cukup pesat yang disebut Strukturalisme Prancis setelah Todorov menerbitkan buku yang berjudul Theori  de la Litterature pada tahun 1965. Dalam perkembangan kritik sastra Indonesia, Aprinus Salam mengatakan tokoh yang cenderung menggunakan teori-teori strukturalisme adalah H.B Jassin pad kisaran tahun 1970 sampai dengan 1980-an. Pandangan yang dimaksud terhadap teori tersebut adalah yang berkaitan dengan analisis-analisis intrinsik yang menjelaskan struktur karya dan diikuti semacam penghakiman kualitas estetis karya sastra. Sifatnya yang otonom, instrinsik, dan struktur menjadikan teori ini seakan terlepas dari realitas sosial. Kajian strukturalis dianggap berguna bagi pengembangan pengetahuan teknik-teknik para sastrawan. Namun, pada dasarnya kritik sastra lebih dikembangkan agar menjadi jembatan antara karya dengan pembaca, kemudian ditarik lebih jauh adalah pemahaman pembaca terhadap karya bisa mengantarkan ke konteks sosial. 

Atas dasar asumsi yang terakhir, menurut saya kemudian muncul pandangan baru yang disebut pascastrukturalisme. Pandangan ini berdasar kepada strukturalisme namun dengan menawarkan perbaikan kritis yang cenderung dengan nada menentang. Pada masa kini perkembangan kata pasca- atau post terasa begitu masif yang melekat pada kata kolonialisme, feminis, memori, truth, struktulisme dan seterusnya. Kita memasuki era pasca. Bisa kita amati dalam pandangan Derrida ketika menolak pendapat Sausure tentang fonosentrisme bahwa bahasa adalah bunyi. Begitupun hubungan antara penanda dengan petanda terasa kaku. Dalam pengertian yang lebih luas, pascastrukturalisme menentang logosentrisme, yakni ikhwal “pusat”. Bahasa yang awalnya tertutup, stabil, kemudian bergerak menjadi bahasa yang terbuka dan instabil. Persoalan ini juga ditegaskan karena bahasa bersifat arbitrer. Kontruksi bahasa kadang dari ideologi tertentu kemudian seolah diterima secara universal dan alamiah. Pandangan mapan seperti ini yang coba dikritisi oleh pascastrukturalisme.

Menurut Salam,  pada tahun 1980-an merupakan masa perpindahan penelitian struktural ke pascastruktural atau sosiologi sastra. Karya sastra kemudian ditempatkan sebagai data sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, gender, dan persoalan kontekstual lainnya. Penelitian yang baru kemudian yang bisa saya disebut adalah Arena Kultural Emha Ainun Nadjib oleh Latief S Nugraha, Konstruksi Tubuh Puisi Joko Pinurbo oleh Dwi Raharyoso, Reportoir Novel Yin Gamela oleh Iqbal Saputra, Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Indonesia, Subjektivitas Pramudya Ananta Toer dengan Novel Perburuan oleh Ramayda Akmal, Paradoks Narasi Penyelamatan Keseimbangan Ekosistem Dalam Novel Kailasa Karya Jusuf An Kajian Ekokritik oleh Widya Prana Rini, dan beberapa penelitian setelahnya.

Dari perkenalan dan pertemuan lebih lanjut dengan nama-nama di atas, ada yang perlu diperhatikan. Ibarat seseorang sudah mempunyai pisau bedah (sebagai alat) tapi belum bisa menggunakannya (aplikasi), objek materiil seagung apapun barangkali hanya akan jadi artifak. Persoalan ini kemudian yang saya temui ketika berhadapan dengan Fredric Jameson seorang post-Marxis dengan teori materialisme cultural.  Jameson berdiri di atas 3 pemikir; Marxis, Lacan, Freud, dan pemikiran posmodernisme. Konsepnya yang menarik dituangkan dalam tiga langkah yakni Narasi sebagai Tindakan Simbolik, Ideologeme, dan Ideologi bentuk. Asumsi dasar dari pemikiran Jameson adalah karya sastra adalah tindakan simbolik sosial dalam konteks sejarah tertentu. Teks memiliki relasi dengan formasi-formasi sosial di mana bentuk kultural tersebut muncul. Karya sastra terdiri dari mainteks dan subteks. Kerja Jameson cenderung untuk menemukan peristiwa atau pengalaman yang terepresi yang disebut sebagai substeks. Dalam prosesnya Jameson meminjam konsep Freud tentang Id untuk mengungkap ketidaksadaran politik (Political Uncosious).

Share:

Rabu, 27 September 2017

Perempuan yang Bersuara. Pembacaan Terhadap Buku "SUARA PEREMPUAN KORBAN TRAGEDI ‘65"

Pembacaan 
SUARA PEREMPUAN
KORBAN TRAGEDI ‘65
Ita F. Nadia

PEREMPUAN YANG BERSUARA
Oleh Widya Prana Rini, M.A.

            Ketika belajar sejarah di bangku sekolah kita akan membayangkan kebiadaban tokoh PKI membunuh Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, lima jendral, dan satu letkol. Beberapa waktu yang lalu kita juga mendengar buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah singkatan G-30-S harus dibakar. Sebab akhiran “/PKI” dari G30S mencerminkan siapa yang mendalangi peristiwa tersebut. Sebagai kalangan yang belajar kritis, klaim serupa itu patut kita kaji ulang sebelum menarik sebuah hipotesis. Beberapa pertanyaan yang mungkin yang dapat kita ajukan seperti, berapa jumlah anggota PKI? Apakah semua jumlah tersebut seluruhnya bertanggung jawab?
Peristiwa berdarah yang sudah lama itu masih berdampak sampai sekarang “masyarakat terhegemoni” dari pandangan siapa pun yang berhubungan PKI harus bertanggung jawab dan diizinkan dipandang sebelah mata. Jika kita analogikan pada wacana saat ini, ketika sebuah organisasi keagamaan melakukan sebuah tindakan anarki secara fisik maupun secara simbolis yang memengaruhi kestabilan negara, pemerintah dengan dewasa akan mencari sumber oknum yang bersangkutan tidak serta merta melibas semua yang ada. Kita sadari bahwa kontrol sosial masyarakat melalui peran media dewasa ini kritis. Saat ini kita “percaya” pemerintah hanya meringkus seseorang atau oknum-oknum yang memiliki keterkaitan dan yang terbukti menjadi dalang sebuah kekacauan. Hal demikian tidak terjadi pada masa lalu. Membaca sejarah terkadang membuat kita tertantang sekaligus frustasi.
Buku ini memberi suguhan kisah sepuluh wanita yang mengalami luka dan rasa traumatis yang mendalam. Tentu saja sepuluh ini mewakili ribuan orang yang mengalami tindakan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap eks-tapol. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga masih harus menanggung stigma masyarakat, cemoohan dan pengusiran dari masyarakat yang membuatnya jadi sangat sengsara. Mereka berjuang keras demi menyambung detik demi detik hidupnya. Perempuan yang bersuara dalam buku ini adalah mereka yang memiliki harapan supaya didengar, baik untuk kalangan yang paling terdekat seperti keluarga, orang-orang terkasih, baik yang masih hidup maupun yang entah di mana, yang telah tiada, keluarga jendral korban G30S, serta masyarakat yang memandang sebelah mata organisasi gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sepuluh orang yang mengalami kekejaman di sini tidak semua terlibat dalam Gerwani.
 Terlebih dahulu di dalam kata pengatar buku ini diberi sebuah wacana kepada pembaca seperti apa kegiatan Gerwani. Gerwani adalah organisasi yang diwadahi oleh PKI tahun 50, yang sebelumnya dinamakan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Dijelaskan bahwa Gerwani berjuang untuk masalah-masalah sosial, perjuangan hak kerja, tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dan laki-laki. Perjuangan Gerwani berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan juga untuk sosialisme. Kader-kader Gerwani bergerak merambah ke pelosok daerah dengan tujuan untuk memberantas buta aksara pada kalangan kaum perempuan.
Organisasi yang sangat Ibuisme ini memberi kekuatan dalam keluarga seperti pendidikan terhadap anaknya yang kelak berguna bagi tujuan revolusioner Soekarno, sehingga hubungan antara keduanya menjadi erat[1]. Dengan kata lain, gerakan Gerwani ini dapat dikatakan keibuan yang militan yang menggabungkan fungsi ibu rumah tangga dan perempuan aktivis politik sekaligus. Kekuatan perempuan di ruang domestik menyusun kekuatan di sisi eksterior inilah yang diebut home”pada istilah Sara Upston.
 Singkatnya pada tahun 1965 kekuasaan Soekarno kian melemah disebabkan menurunya kesehatan. Pada waktu itu, telah terjadi enam kali percobaan pembunuhan yang membuka peluang bagi mereka yang haus akan kekuasaan. Puncak dari ketegangan pada waktu itu ketika perwira Angkatan Darat Letkol Untung melancarkan putsch militer berujung pada tragedi Lubang Buaya. Jasad-jasad yang ditemukan di dalam sumur Lubang Buaya tidak jauh dari lapangan tempat Gerwani yang sedang melakukan latihan menjadi sukarelawan kampanye “Ganyang Malaysia”.
Kata Pengatar buku ini mengutip dua buku yang mendorong pertanyaan besar kepada pembaca untuk membuka sudut pandang baru. Kutipan yang digunakan adalah tulisan dari Anderson dan McVey (1971) menyatakan bahwa Soekarno mengangkat jendral yunior bernama Pranoto Reksosamudro. Kemudian diteruskan dari kutipan Crocuh yang menyatakan Soeharto mengabaikan perintah Presiden dengan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (1978:132). Dua kutipan ini seakan menggiring pembaca mengarah pada sebuah “kudeta” yang dilakukan oleh oknum berkuasa untuk menggantikan kekuatan Soekarno yang besar. Terlihat dua minggu kemudian Soeharto menggantikan Pranoto yang kemudian diikuti kampanye propaganda dan pembantaian besar-besaran.
Fokus pada buku ini adalah penderitaan yang dialami sepuluh perempuan yang bernama Rusminah (Ibu rumah tangga, istri dari sekertaris CSS PKI), Partini (Aktivis Gerwani), Yanti (Ibu rumah tangga), Maryati (Anggota Gerwani), Sukarti (Penjual makanan), Sudarsi (Aktivis-Mahasiswa), Sus (Dosen Universitas), Suprapti (Aktivis BTI), Badriyah (aktivis Gerwani), dan Darmi (Penari Bali). Tujuan dari buku ini adalah untuk menghentikan “politik pembisuan” dengan metode perekaman dan pencatatan. Secara garis besar mereka mengisahkan pengalaman kebiadaban yang dilakukan oleh tentara-tentara pada saat itu dan secara lirih berusaha ingin menghilangkan labeling eks-tapol yang bejat dan kejam. Ketika membaca kisah tersebut dengan melibatkan imajinasi, saya merasakan betapa perihnya hari-hari yang dijalani oleh para eks-tapol dan bagaimana rasa sepi yang dialami karena harus tercerai dari keluarganya. Saya mencium aroma yang kuat dari buku tersebut yaitu dominasi maskulin (dalam istilah Bordeau)[2] (2010:42-43) yang menempatkan perempuan sebagai lambang status sang pria, menggeser tempat wanita dari kedudukan subjek menjadi objek. Terlihat jelas sekali dalam pengantar yang ditulis Prof. Dr. Saskia E. Wieringa University of Amsterdam memberikan uraian yang diberi judul Sexual Politics and the New Order of President Soeharto.
Kebiadaban tentara yang dinarasikan dari pertama kali oleh Rusminah diberi judul “Akhirnya Pemerkosa Itu Jendral Pensun” secara singkat, ketika suaminya yang bernama Sutarto menghilang tanggal 25 September, Rusminah diseret dua orang tentara setelah mengobrak-abrik dan membakar rumah pada tanggal 1 Oktober. Setiap malam Rusminah harus melayani napsu seks pada siapa saja yang saat itu menjalankan tugas, termasuk seorang Perwira Angkatan Darat bernama Sujari. Perwira tersebut menikmati tubuh Rusminah dan menjadikannya sebagai tahanan rumahnya sekaligus merangkap gundik plus yang tidak digaji. Setelah melahirkan dua anak perempuan dan laki-laki ternyata setatusnya tidak juga kembali, yang terjadi adalah salah satu anaknya dibawa pergi. Kisah yang hampir serupa dialami Sus “Membuang Jati Diri Demi Harkat dan Martabat” melalui kekuasaan yang dimiliki Letnan Sutrisno menjadikan tubuh Sus sebagai objek yang digunakan sebagai pemuas napsu seks. Sutrisno membawa Sus ke Palangkaraya Kalimantan. Sus dijadikan sebagai tahanan dan gundik yang hampir setiap malam tubuhnya digunakan sebagai pemuas napsu. Sus akhirnya beranak dua dan ditinggalkan. Munculnya gundik atau munci karena perempuan kalah total, tidak memiliki power untuk melawan kekuasaan karena kehilangan identitas, dan lingkungan tidak lagi menerimanya.
Kisah Partini dengan judul “Perempuan Eks-Tapol Sampah Segala Sampah”. Ketika sedang menyusui anaknya berumur satu minggu, Ia bingung kenapa diseret lima orang tentara. Peristiwa G30S jutru sama sekali tidak diketahui. Diceritakan darah pasca melahirkan masih mengucur, ia diperkosa tanpa ampun sampai berkali-kali pingsan. Kemudian pada tulisan “Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan” dari kisah Yanti yang ditangkap ketika berusia 14 tahun duduk di bangku SMP. Diawali seorang teman yang mengajak mengikuti pelatihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya. Singkatnya, tentara-tentara datang pada pagi buta, mereka terus memukul dan menelanjangi selama dua hari dua malam dan di jemur di lapangan. Tentara yang berkuasa mengusap-usap payudara dengan bebas, menusuk ujung laras ke kemaluan, bahkan memerkosanya di lapangan terbuka. Kisah Yanti ini dekat sekali dengan apa yang dimunculkan pada mural Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya yang divisualkan yaitu Jendral yang dikelilingi sosok perempuan seksi, digambarkan bersikap kurang ajar, perempuan menari, dan salah seorang membawa bunga yang dikenal dengan istilah “Tarian Gugur Bunga”. Penuturan Yanti pada buku tersebut karena ia didesak untuk mengaku di depan wartawan dan juru foto. Yanti dijadikan salah satu alat untuk membuka mata masyarakat atas kekejaman PKI dengan mengatakan “Iya”. Mengiyakan bahwa mereka telah melakukan penyiksaan terhadap para jendral, menyayat-nyayat dengan mengunakan silet, memotong kemaluan, dan menari “Harum Bunga” sambil telanjang. Melalui tulisan ini, Yanti memiliki keinginan untuk memberi tahu setidaknya kepada keluarga Jendral bahwa hal tersebut tidak pernah mereka lakukan. Menurut Jhon Roosa (2008:xx) Visum et Repertum yang dilakukan dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terhadap jasad perwira tidak diumumkan oleh pemerintah Soeharto. Salinan laporan visum tersembunyi hingga 1980-an, ketika dokumen tersebut ditemukan oleh ilmuan dari Cornell University. Perwira tersebut dibunuh oleh tembakan-tembakan dan luka tertusuk bayonet, mereka tidak diiris ribuan kali, tidak dicungkil matanya, dan tidak pula dimutilasi.
Enam kisah yang lain tidak terlepas dari malam-malam panjang yang diciptakan tentara-tentara pencari “Bon Malam”. Tawanan tidak dapat mengelak praktik-praktik kekejaman yang beraneka macam bentuknya seperti, penelanjangan, pemerkosaan beramai-ramai, menylomoti payudara dengan api-rokok, kekerasan mental, dipendam, dikencingi di tengah hutan, perkosa bergilir di depan suami, dicambuk, penyetruman dengan logam yang berbentuk cincin disambungkan dengan generator kemudian dimasukan ke organ vital dan diletakan di puting payudara sampai ada yang mengalami kelumpuhan (perusakan organ seksual dengan banda apa saja). Kekejaman yang dilakukan para tentara membuat wanita ekstapol pada titik tertentu muncul perasaan menyesal karena memiliki bagian tubuh yang menjadikan dirinya sebagai objek. Diri yang menjadi objek ini karena memiliki vagina dan payudara. Perasaan untuk menghilangkan trauma tersebut yaitu keinginanya menghilangkan kelemahan, sehingga terbebas dari cengkraman laki-laki yang hendak menguasai dirinya atau pada khususnya bagian tubuh tertentu yang dapat memicu sebuah ingatan pahit. Setelah pada tahun kebebasan, ternyata mereka tidak benar-benar bebas. Kehilangan identitas membuat mereka berjuang dari bawah. Perempuan menjadi objek dan terkadang-kadang sekaligus menjadi subjek dari proses pembentukan maskulinitas seorang kekuasaan laki-laki.

Nb: Itta F. Nadia lahir di Yogyakarta 13 November 1985. Alumnus Jurasan Sejarah Fakultas seni dan Budaya UGM . Aktif di Kalyanamitra, pusat dokumentasi dan informasi untuk perempuan, Yayasan Pondok rakyat, serta pernah menadi anggota Komnas Perempuan (1998-2006)

Daftar Pustaka
Weringa, Saskia E. 2007. “Suara Perempuan Korban Tragedi 65”. Yogyakarta: Galang Press.
Roosa, John. 2008. “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”. Jakarta: Hasta Mitra.
Bourdieu, Pierre. 2010. “Dominasi Maskulin”. Yogyakarta: Jalasutra.
Upstone, Sara. 2009. “Spatial Politics in the Postcolonial Novel”. London and Burlington VT: Ashgate Publishing, Ltd.
Yulianto, Vissia Ita. 2007. “Pesona ‘Barat’Analisis Kritis Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia”.Jalasutra: Yogyakarta.  



[1] Setelah revolusi 45 pada tahun 46 di Yogya Soekarno memberikan kuliah Informal pada perempuan. Pada tahun 50, Gerakan wanita Sedar (Gerwani)  didirikan kembali setelah organisasi yang sebelumnya bernama istri sedar yang dibubarkan Jepang. Anggota Gerwis mereka yang hampir semua berpendidikan dan melek politik. (Vissia Ita, hlm. 93)

[2] Pierre-Féllix Bourdieu adalah seorang filsuf terkemuka Prancis. Lahir di desa Denguin, di Distrik Pyrénées-Atlantiques, barat daya Prancis pada tanggal 1 Agustus 1930, dan meninggal pada tanggal 23 Januari 2002. Dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog, dan (pada masa akhir hidupnya) dikenal sebagai jawara pergerakan antiglobalisasi. Karyanya memiliki cakupan bahasa yang luas, mulai dari etnografi, seni, sastra, pendidikan, selera kultural, dan televisi.

Share:

Senin, 25 September 2017

Tentang Jejak Imaji

Salah satu faktor lahirnya komunitas menulis adalah kegelisahan. Seorang penulis membutuhkan media dan wadah untuk berkarya. Karenanya, dilahirkanlah komunitas yang diberi nama Jejak Imaji.



Jejak Imaji merupakan kelompok belajar sastra yang lahir karena terbatasnya ruang-ruang diskusi dan ekspresi di lingkungan kampus –paling  tidak di tempat Jejak Imaji lahir. Dari awal, Jejak Imaji diniatkan untuk siapa pun yang ingin belajar sastra, tetapi kenyataannya tidak hanya pada sastra secara sempit. Lantaran keinginan menambah sekaligus mengembangkan ruang-ruang diskusi tersebutlah, secara resmi Jejak Imaji dibentuk dan dilahirkan pada 1 April 2014 di Kotagede, Yogyakarta. Belum berusia lama memang bagi sebuah kelompok belajar, apalagi bila melihat begitu banyak kantong-kantong sastra di Yogyakarta.
Awalnya, kelompok belajar ini bernama Diskusi Lawang Abang yang digiatkan oleh beberapa orang saja seperti Iqbal H. Saputra, Aditya Dwi Yoga, Angga T. Sanjaya, dkk. Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tergerak untuk bergabung dalam Diskusi Lawang Abang. Sejak saat itu, atmosfer diskusi menjadi lebih bergairah.
Banyaknya kegelisahan yang muncul di benak mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD membuat anggota Jejak Imaji semakin bertambah. Komunitas yang bergerak di bidang kepenulisan ini tidak membatasi diri sebagai wadah untuk mahasiswa UAD saja, melainkan terbuka bagi siapa pun –mahasiswa dari UIN, UGM, UNY, ISI, Janabadra, dan beberapa kampus di Jogja juga tergabung sebagai anggota di dalamya, bahkan ada juga yang telah bekerja.
Salah satu indikasi banyaknya anggota dari luar karena sedikitnya komunitas penulisan di Jogja yang tidak bergerak di bawah naungan akademis/kampus. Muaranya adalah pergulatan di media massa, baik lokal maupun nasional. Mereka berlomba agar bisa dimuat di media massa dengan tidak bermaksud menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur kualitas. Maka, sebagian tetap mengikuti berbagai kegiatan perlombaan kepenulisan, dan dokumentasi-dokumentasi karya di lingkup akademis atau di luar. Pada akhirnya, tidak sedikit pula yang mendapat penghargaan dari wilayah tersebut.
Jejak Imaji mempunyai struktur sebagaimana lembaga atau institusi yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan humas, tetapi tidak terikat dan kaku. Karena sudah disusun sedemikian rupa, maka kegiatan diskusi juga disusun secara rutin. Diskusi umum dilaksanakan setiap Senin mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan selesai. Aturan main menggunakan model arisan, yakni terdapat undian satu orang untuk karya (puisi, cerpen, esai, novel dan lain-lain) yang dibahas, dan dua orang sebagai pembahas melalui esai kritis. Setiap anggota akan mendapat giliran sebagai penyetor karya dan pembahas. Tujuannya, menumbuhkan sekaligus meningkatkan minat membaca dan berkarya. Lebih dari itu, sebagai wujud pertanggungjawaban intelektual masing-masing untuk berpikir kritis berdasarkan teori dan empiris.
Kegiatan tersebut dilakukan secara berkesinambungan, meski pada saat-saat tertentu ada selingan diskusi yang berbeda. Misalnya, resensi kritis terhadap suatu buku seperti novel terjemahan, catatan sejarah, atau teori mutakhir. Selain acara rutin tersebut, Jejak Imaji juga memiliki agenda bersilaturahmi ke praktisi akademis, sastrawan, dan budayawan. Untuk membangun sebuah hubungan keluar, Jejak Imaji juga berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain. Para anggota mengumpulkan informasi dari luar dan menghampiri.
Wacana-wacana terbaru lalu dibawa kembali ke dalam lingkaran. Pada intinya Jejak Imaji membuka jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar. Selain kegiatan kepenulisan, Jejak Imaji juga aktif menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan puisi, dan monolog di panggung-panggung sastra Yogyakarta. Jejak Imaji sering diberi kepercayaan sebagai pembicara dalam diskusi komunitas dan forum-forum akademis. Beberapa anggota pernah mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) dan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), sekaligus membawa pulang trofi juara, tidak terkecuali di beberapa lomba lainnya.
Mayoritas anggota menyukai karya jenis puisi, maka mereka tidak hanya memahami puisi dari teks saja, melainkan mengapresiasi sekaligus memahami puisi di panggung juga, baik pembacaan maupun musikalisasi. Sampai dengan tahun 2017, meskipun baru menginjak usia yang relatif muda, Jejak Imaji tercatat telah beberapa kali memenangkan penghargaan di bidang musikalisasi puisi.

Jejak Imaji dan Musikalisasi Puisi
 Musikalisasi puisi merupakan cara untuk mengekspresikan sebuah karya, dalam hal ini puisi. Dalam dekade ini, puisi hanya dinikmati oleh pecinta puisi saja, sedangkan yang mampu memahami puisi tergolong sedikit. Karena itu, Jejak Imaji mencoba untuk memudahkan pemahaman khalayak tentang puisi melalui musikalisasi puisi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sule Subaweh selaku “penasihat” di Jejak Imaji, musikalisasi puisi akan banyak membantu pemahaman dan menambah kecintaan terhadap puisi, sebab melalui media musik, orang-orang tidak perlu membaca, cukup mendengarkan saja.
Bagi Jejak Imaji, musikalisasi puisi bukan berarti semata-mata puisi akan tunduk pada musik, justru sebaliknya, puisi harus lebih diutamakan daripada musik. Jika dianalogikan, puisi adalah raja, dan musik hanya jajaran patih yang hanya mendukung raja. Musik harus mengikuti puisi. Tidak boleh puisi mengikuti musik. Puisi sudah punya musik sendiri. Jika dilihat dari unsur intrinsik dalam puisi, akan ditemukan unsur nada, rima, irama, dan lain sebagainya.
Jejak Imaji senantiasa berusaha menjaga kestabilan agar tidak terlelap dalam panggung, sebab tujuan utama komunitas ini adalah menulis. Musikalisasi puisi hanya wadah untuk berekspresi saja, dan menjaga debar untuk terus berkarya.
Bagi Jejak Imaji, dengan bermain musikalisasi puisi khalayak secara tidak langsung akan memahami puisi. Bahkan lebih dari memahami, melainkan juga dituntut untuk melihat sudut pandang berbeda dalam menciptakannya.Untuk menciptakan hal dasar, yang harus dilakukan adalah memahami puisinya terlebih dahulu, baru mulai menciptakan.
Sejauh ini sudah memusikalisasi tujuh puisi, di antaranya Surat Buat Emak dan Uterus (Kedung Darma Romansha), Juga Waktu (Subagyo Sastrowardoyo), Kangen (WS Rendra), Obituari Ingatan (Faisal Oddang), puisi tanpa judul Yuliani Kumudaswari yang diambil dari antologi 100 puisi pilihannya, dan Menjelang Tahajud (Raedu Basha).

Badan Usaha Jejak Imaji
            Menjelang akhir tahun 2017, Jejak Imaji tercatat sudah memiliki tiga badan usaha yang dikelola secara kolektif. Di antaranya ada Warung Edukasi Jejak Kopi (resmi berdiri 10 September 2017) yang bergerak di bidang bisnis sebagai salah satu upaya untuk menyeimbangkan neraca keuangan Jejak Imaji sebagai suatu kelompok dan menambah pendapatan para pengelolanya. Warung edukasi ini dikelola oleh 5 orang (Aditya Dwi Yoga, Ari Prastyo Nugroho, Lalu Bintang Wahyu Putra, Enggar Jiwanto, dan Hendrik Efriyadi sebagai manajer). Badan usaha kedua adalah Jejak Pustaka yang bergerak di bidang penerbitan buku. Dikelola oleh Ardy Priyantoko, Kurniaji Satoto, Bisri Musthofa, Devi Santi Ariani, Ilham Rabbani, dan Sule Subaweh sebagai penasihat. Terakhir, Bukubuku Inspirasi yang menjual buku-buku bekas berkualitas di media daring maupun keliling dari bazar ke bazar. Dikelola oleh Ari Prastyo Nugroho dan Ardy Priyantoko.
Share:

Senin, 21 Agustus 2017

Puisi-puisi Ardy Priyantoko



Gimbal

Sebab menanam pasti menuai.
Di-Hyang melahirkan bocah
dari stupa Kolodete.

Sikak Gimbal!
***
Akulah sebab itu.
Langkah yang mengayun
pada tanah gemah ripah.
Bukankah ini ladang surga?

Perhatikan angin
yang mengelus cemara.
Setiap tetes air
tak henti mengalir
menyemai dahaga bunga.
Sedang cahaya mampu
Memanah setiap celah.

Kutitipkan kayangan ini
Pada ruh-ruh yang mampu
menetaskan surga di antara
rekah remah tanah.
Sampai waktu gunung
Meluluhlantakkan
segala yang ada.

Ruwat titisanku
hingga segala yang dipinta
menjadi berkah bagi semesta.
Dan candi-candi bersaksi
ketika mahkota larung dari telaga,
mengalir menuju samudra
tiada.

Jejak Imaji, Mei 2014 





Sungai

Sungai mana yang mengalir
dari dalam jiwaku
saat pagi telah menjamu.
Jangan katakan bahwa
ia terbelenggu.
Aku baru tersadar
dari mimpi tengah waktu.
Bawalah aku!
Mengarungi setiap jengkal
dari arus yang tertuju
pada ketiadaanmu.

Jejak Imaji, Mei 2014


Muara Air Mata

/1/
Bagaimana bisa kuterjemahkan tangis
bila derainya mampu memecah permukaaan sunyi
Haruskah kugali ceruk-ceruk sungai
Untuk mengalirkan air mata yang begitu derasnya

/2/
Aku kembali terpanggil oleh isak tangis.
Kuterjemahkan:
Isyaratnya menuntun jejakku berziarah
Menuju muara yang telah lama kutinggalkan
Di sana kutemukan lagi air mata telah menyatu
Dengan batu-batu

Jejak Imaji, Mei 2017


Pertemuan

Aku menemukanmu
ketika gerimis memanjang
sampai di ujung
bayang-bayang.
Seluruh badanmu gigil,
matamu nanar!
Inikah wajah sunyi
yang kau simpan
selama ini?

Jejak Imaji, Juni 2014 (SUARA MERDEKA, 7 SEPTEMBER 2014)



Jejak Candi

Tangis candi-candi
ngaliri batu-batu, kekekalan
lumut-lumut sepanjang telaga
hijaunya sampai ke kedalaman
sukma

Kita
berlari menjejak
bersetia maknai kerak waktu
terus bergerak
mengarak dingin
kealpaan, kabut
yang melulu gagal luput
dalam benak anak
anak zaman

Tangis candi-candi
kikis rindu-rindu, kelalaian
kerut-kerut kening petapa
coklatnya berai seraki lantai
lantai pergulatan

Jejak Imaji, September 2014


Perempuan Pramusaji

sudah sekian malam kunikmati
senyum di bibirmu paling masai
setiap perjamuanmu mengisyaratkan
pada kekeringan sepanjang
kerongkongan hingga lambung
untuk segera diselesaikan

di tempat ini
lampu tidak banyak
menyimpan cahaya
kursi dan meja sesekali berderit
langkah yang cemas dan bergegas
jadi perhatian tersendiri
seperti gema suara terpental
pada dinding kalender
yang tidak akan berhenti
sampai jam dinding
benar-benar berkeloneng

di tempat ini
kita terbiasa berbincang dengan waktu
memperdebatkan setiap laki-laki
yang datang memesan
senyum dan kedipan matamu

Jejak Imaji, November 2014


Bingkai Jalanan

kutemukan wajahmu
saat cahaya lampu
jatuh di bingkai jalanan
keterasingan sesaat ini
melupakan bahwa langit
begitu lusuh
digerayangi aliran doa-doa
yang tak kunjung padam

sorot matamu bagai cermin
menampakkan setumpuk luka
sepanjang malam
aroma bangkai nasi
tak pernah luput
dari setiap teguk napas
yang menyayat kerongkongan
begitu pula gemuruh
perjalanan waktu
selalu memecah kesunyian
di rongga-rongga telinga

bila nanti senyumanmu
gugur oleh kesepian
pastikan akar-akarnya
tetap tertancap
pada tanah yang mampu
menumbuhkan tunas
bagi senyum yang baru

Jejak Imaji, September 2014 (INDOPOS, 3 JANUARI 2015)





Majestic

Hujan turun sederas rindu dan kesepian kita,
pelukan mungkin akan terjadi,
namun kenangan akan tetap demikian,
kekal dan setia.

Apabila ada sesuatu yang layak untuk kita ingat,
itu adalah kepergian. Kepergian serupa ingatan,
menuntut segalanya untuk kembali.

Kekasih, apabila ada yang harus kupungut lagi
selain dingin kabut, aroma hujan, gerlap lampu kota
sesaat setelah senja, bisikan-bisikan di telinga,
dan pelukan paling hangat,

itu adalah kenangan yang kau tinggalkan
setelah sekian waktu kurawat
dengan kemegahan duka cinta.

Jejak Imaji, 2017


Kau Adalah Puisi Musim Hujan
: Majestic

Kau adalah puisi musim hujan
yang selalu bersiap tabah,
saat butir air jatuh di tanah basah.

Sebelum angin benar-benar menghempas,
izinkan aku mencipta pusaran
agar nanti kau tahu bagaimana cara
menghadapi ketidakpastian.

Kau adalah puisi musim hujan,
dan aku adalah kemarau yang cemburu
pada angin yang mencipta jarak.

Aku bergerak: menujumu
dan kau terlalu cepat
meninggalkan kesepianku.

Jejak Imaji, 2017





Pertemuan

Saat kita bertemu, aku tidak langsung
mengulur tangan: memelukmu,
tapi kubiarkan rindu berkejaran dulu
di antara dengung kembang api
dan remang lampion.

Aku tidak segera merapatkan bibir
pada keningmu, kupersilahkan dulu
sisa-sisa ingatan menata ruang sunyi
yang lama tidak dihuni.

Kemudian diam-diam aku memandangmu,
sebagaimana kau lekat memandangku.

Jejak Imaji, 2016


Perempuan Botol

Perempuan itu berumah di lereng bukit,
di tepi ladang ubi tidak jauh dari mata air
yang mengalir melintasi bayang-bayang
kurus pohonan menuju anak-anak sungai.

Di bulan basah.

Ia sambangi arus yang sendu
untuk mengisi botol bertutup rindu.
Adakalanya bibirnya yang masai itu
mampu memecah hening batu-batu.

Demikian setiap hari, ia berjalan
menurut nada gemericik air,
menenteng botol dengan tangan kelu.
Satu persatu anak yang lahir
dari rahim bumi ia sirami.

Ada kalanya isi botol itu
digunakan untuk membasahi
anak dari rahimnya sendiri.

Di bulan kering.

Setiap hari ia mengisi botol
dengan peluh dan air mata.

Ia berjalan
menurut nada gemericik air,
menenteng botol-botol itu
sampai matahari sepenggalah
dan akan kembali lagi
ketika langit memerah.

Jejak Imaji, 2016. (MEDIA INDONESIA, 29 JANUARI 2017



Jantung Rumahmu

Jika boleh kukatakan, aku ingin pulang, Mak
kembali menuju haribaan yang kau namai rindu.

Sekali lagi, aku ingin mengemasi sisa-sisa ingatan
menghitung rambutan setengah matang di halaman kakek
atau menyemai biji padi di sawah garapan kita.

Tetapi jarak masih asing terhadap kepulangan
impian yang memanjang tetap tidak mengizinkan.

Keduanya selalu muncul dari balik jendela kamarku,
terkadang mengetuk pintu saat aku tengah bermimpi,
atau sesekali menggaruk gatal di punggungku.

Aku benar-benar ingin pulang, Mak
menyusuri tepi kali serayu, memetiki mundu dan jambu
menyiang rumput-rumput yang terlihat lesu.

Tetapi, lagi-lagi dalam keheningan aku bertanya
di manakah kiranya tanda jantung rumahmu
yang tidak pernah kusua di saban dada perempuan.

Yang sebenarnya tidak pernah ada selain milikmu
yang misteri, dan memenuhi masa silamku.

Jejak Imaji, 2017


Hujan Bulan Januari

Aku mencintaimu tepat
saat hujan pertama jatuh di bulan januari.

Namamu yang melulu kueja dalam kesiap doa
akan kembali, sebagaimana rotasi jarum jam
yang terus berputar bersama degup di dada.

Aku melepasmu tepat
saat hujan terakhir jatuh di bulan januari.

Sedetak kemudian aku akan menjadi jarum yang patah
sebelum menuntaskan putaran yang akan menghapus
ingatan tentang pertemuan dan senja yang memerah.

Jejak Imaji, 2017


Apabila Aku Mengenangmu, Na

Pada gerai rambutmu yang dipermainkan angin
kembang-kembang mekar, membujuk segala giris
kembali menuju desis gerimis.

Biarkan aku tenggelam dalam basahmu,
menyemai hasrat yang tergiring ke batas waktu.

Pada tengkukmu yang dipenuhi bulu roma,
kecupan demi kecupan jatuh
seperti kelopak berlepasan.

Dan aku sungguh tersesat,
segugup burung di malam yang lesat.

Kemudian kita beranjak dari pertemuan
ke pusat hening masing-masing
menyuruk diri ke sudut paling asing.

Na, apabila aku harus mengenangmu,
hanya rindu yang tak kunjung tiris
pada kening, mata, pipi, dan bibir masaimu.

Jejak Imaji, 2017 (SUARA MERDEKA, 5 FEBRUARI 2017)




Anak Tembakau

Sesaat matahari sepenggalah, kupandangi gigir ibu
dan para petani yang begitu tenang memetik kesedihan
di antara lembar-lembar tembakau yang tidak pernah cukup
untuk membesarkan anak-anaknya. Tumbuh menguncup,
mekar, berbunga di ladang nasib dan hari yang bermuka dua.

Kemudian aku menepi, duduk terdiam memangku harapan
dan buku pelajaran setelah letih menanam benih impian
di lubang-lubang bangku sekolah yang sunyi dan berdebu.

Kali ini, musim masih terbidik mata angin.

Selepas bulan kering, sebagaimana setelah menerima buku rapor
aku termangu seperti ibuku, memandangi awan, gunung
dan sulfatra tipis yang bergerak mengikuti arah angin,
telentang dengan punggung lebam dan raut muka kelewat pasi.

Remah-tanah yang kami pijak juga terus menggumpalkan kecemasan
tentang spp yang belum tebayar dan tebusan beras harian,
kesemuanya berderak-bergerak dari bakul ke cangkul,
dari mulut ke lumut, dari satu kelangkang ke kelangkang lain.

Musim tetap terbidik mata angin.

Aku ingin mengabarkan pada malam, ketika angin lembah
dalam tubuhku meyeret ketakutan ke ladang tembakau yang memutih,
debar akan terus selimuti tubuhku ketika tajam batu dan undakan
adalah kenyataan yang harus segera dituntaskan.

Saat bulan basah tiba dan membuka tirainya, aku harus memahami
bahwa yang tersisa hanya batang-batang dan ranting kecoklatan
serta tanah garapan tempat duka dan impian kekal bersemayam.

Jejak Imaji, 2016


Antologi Surabaya Memory (2015)

Membaca Peta Ibu Pertiwi
/1/
Kerap kita baca peta tanpa arah mata angin
arungi rotasi matahari, lawan aralnya.
Menembus pusaran tersembunyi,
yang di dalamnya tumbuh
tanah dan batu-batu, petuah ibu pertiwi.
Pelayaran kita mengeja nama-nama,
memaksa kemudi berputar arah
hingga tak didapati lagi
di mana simpang dan ujungnya.

/2/
Berapa waktu dibutuhkan kesangsian
untuk meruntuhkan lambung kita
yang senantiasa terjaga dari dahaga
dan lapar sepanjang malam?
Barangkali musim dalam hitungan jemari
tak cukup untuk mencatat kebulatan
di setiap sudut bibir,
yang sengaja kita kunci rapat-rapat.

/3/
Perjalanan kita baru separuh dari seluruh,
tak akan pernah berhenti sampai bola mata
benar-benar dibutakan terik kehidupan
di lorong perbatasan yang redup redam.

/4/
Membaca peta.
Kita sempatkan singgah di ceruk-ceruk mimpi
masuki harapan yang sesak bayang-bayang.
Dan dalam genggaman getar sajak-sajak,
kedua tangan kita menyeruak
mengupas perbedaan sampai ke keraknya.
Hingga benar terlihat tujuan kita membaca peta
: menandai dengan arah mata angin
yang sesuai dengan nurani!

Jejak Imaji, 2015 (Antologi Requiem Tiada Henti (2017)





Analogi

/1/
Usai mengucap doa dan menulis puisi
ibu menyambangi hutan jati.
Di dahan terendah dan terkuat ia ikatkan tali,
melingkarkan jerat ke leher yang pasi.
Seperti memakai sekalung emas yang tak mampu ia beli.

Aku tak paham dengan perbuatannya,
yang kutahu saat itu langit pucat telah digulung merah fajar,
di tepi bibir ibu setetes senyum menitik,
memadatkan debu dan waktu.

/2/
Malam telah melepas bidai di tubuh fajar.
Ibu tergelapar, sepasang sayap menyeruak
dari punggungnya. Lalu, ia terbang begitu tinggi,
seperti harapan yang kupanjatkan dalam kesedihan ini.

Tepat di balkon langit ibu berhenti, mengerling mata
berharap aku atau kamu menyusul ke kerajaan tuhan,
yang kesempurnaannya melebihi mimpi.

Lama ia melayang, menerawang, tubuhnya merah menyala
seperti warna darah yang keluar dari kakinya,
saat tajam batu-batu adalah kenyataan pertama
yang mesti dituntaskannya.

Bias kemerahan fajar membuat gelombang awan samar
bintang semakin pudar, separuh bulan samar
seluruh rangkaian tali malam terbakar
tapi kehidupan pagi masih rapat tertutup layar.

Di cermin mataku segalanya merah, semuanya darah.

/3/
Nak, mengapa kau memelukku?
Jangan takut pada darah, jangan pernah.

Sebab bila aku pergi,
kau masih harus terus berdiri,
mengalirkan darah di tubuhmu.

Nak, rebahlah di sampingku,
namun jangan genggam tanganku.

/4/
Tubuh fajar perlahan lumer, memenuhi langit
darah hari sesaat lagi kering oleh matahari.

Kali ini senyum kerap menitik di sudut bibirku
melihat darah dari tubuh perempuan
yang tiap malam dihantam kesakitan.

Lalu, andai senyum yang menitik itu mengering,
aku ingat, selalu ada senyum lain dalam tubuhku.

Jauh di atas kepala bagai kelopak padma mekar,
matahari berpijar. Di sekeliling kakiku,
debu dan waktu masih terus memburu.


Yogyakarta, 25 Shafar 1437 H (Juara III Rising Orange UAD 2015)




*Ardy Priyantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Sedikit karyanya termaktub dalam antologi bersama dan tersiar di sedikit media. Saat ini aktif berkegiatan di Jejak Imaji (Yogyakarta) dan Komunitas Sastra Bimalukar (Wonosobo). Pernah menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Pos-el: ardypriyantoko@gmail.com. No. Gawai 08562572254.
Share: