Senin, 25 September 2017

Tentang Jejak Imaji

Salah satu faktor lahirnya komunitas menulis adalah kegelisahan. Seorang penulis membutuhkan media dan wadah untuk berkarya. Karenanya, dilahirkanlah komunitas yang diberi nama Jejak Imaji.



Jejak Imaji merupakan kelompok belajar sastra yang lahir karena terbatasnya ruang-ruang diskusi dan ekspresi di lingkungan kampus –paling  tidak di tempat Jejak Imaji lahir. Dari awal, Jejak Imaji diniatkan untuk siapa pun yang ingin belajar sastra, tetapi kenyataannya tidak hanya pada sastra secara sempit. Lantaran keinginan menambah sekaligus mengembangkan ruang-ruang diskusi tersebutlah, secara resmi Jejak Imaji dibentuk dan dilahirkan pada 1 April 2014 di Kotagede, Yogyakarta. Belum berusia lama memang bagi sebuah kelompok belajar, apalagi bila melihat begitu banyak kantong-kantong sastra di Yogyakarta.
Awalnya, kelompok belajar ini bernama Diskusi Lawang Abang yang digiatkan oleh beberapa orang saja seperti Iqbal H. Saputra, Aditya Dwi Yoga, Angga T. Sanjaya, dkk. Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tergerak untuk bergabung dalam Diskusi Lawang Abang. Sejak saat itu, atmosfer diskusi menjadi lebih bergairah.
Banyaknya kegelisahan yang muncul di benak mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD membuat anggota Jejak Imaji semakin bertambah. Komunitas yang bergerak di bidang kepenulisan ini tidak membatasi diri sebagai wadah untuk mahasiswa UAD saja, melainkan terbuka bagi siapa pun –mahasiswa dari UIN, UGM, UNY, ISI, Janabadra, dan beberapa kampus di Jogja juga tergabung sebagai anggota di dalamya, bahkan ada juga yang telah bekerja.
Salah satu indikasi banyaknya anggota dari luar karena sedikitnya komunitas penulisan di Jogja yang tidak bergerak di bawah naungan akademis/kampus. Muaranya adalah pergulatan di media massa, baik lokal maupun nasional. Mereka berlomba agar bisa dimuat di media massa dengan tidak bermaksud menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur kualitas. Maka, sebagian tetap mengikuti berbagai kegiatan perlombaan kepenulisan, dan dokumentasi-dokumentasi karya di lingkup akademis atau di luar. Pada akhirnya, tidak sedikit pula yang mendapat penghargaan dari wilayah tersebut.
Jejak Imaji mempunyai struktur sebagaimana lembaga atau institusi yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan humas, tetapi tidak terikat dan kaku. Karena sudah disusun sedemikian rupa, maka kegiatan diskusi juga disusun secara rutin. Diskusi umum dilaksanakan setiap Senin mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan selesai. Aturan main menggunakan model arisan, yakni terdapat undian satu orang untuk karya (puisi, cerpen, esai, novel dan lain-lain) yang dibahas, dan dua orang sebagai pembahas melalui esai kritis. Setiap anggota akan mendapat giliran sebagai penyetor karya dan pembahas. Tujuannya, menumbuhkan sekaligus meningkatkan minat membaca dan berkarya. Lebih dari itu, sebagai wujud pertanggungjawaban intelektual masing-masing untuk berpikir kritis berdasarkan teori dan empiris.
Kegiatan tersebut dilakukan secara berkesinambungan, meski pada saat-saat tertentu ada selingan diskusi yang berbeda. Misalnya, resensi kritis terhadap suatu buku seperti novel terjemahan, catatan sejarah, atau teori mutakhir. Selain acara rutin tersebut, Jejak Imaji juga memiliki agenda bersilaturahmi ke praktisi akademis, sastrawan, dan budayawan. Untuk membangun sebuah hubungan keluar, Jejak Imaji juga berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain. Para anggota mengumpulkan informasi dari luar dan menghampiri.
Wacana-wacana terbaru lalu dibawa kembali ke dalam lingkaran. Pada intinya Jejak Imaji membuka jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar. Selain kegiatan kepenulisan, Jejak Imaji juga aktif menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan puisi, dan monolog di panggung-panggung sastra Yogyakarta. Jejak Imaji sering diberi kepercayaan sebagai pembicara dalam diskusi komunitas dan forum-forum akademis. Beberapa anggota pernah mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) dan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), sekaligus membawa pulang trofi juara, tidak terkecuali di beberapa lomba lainnya.
Mayoritas anggota menyukai karya jenis puisi, maka mereka tidak hanya memahami puisi dari teks saja, melainkan mengapresiasi sekaligus memahami puisi di panggung juga, baik pembacaan maupun musikalisasi. Sampai dengan tahun 2017, meskipun baru menginjak usia yang relatif muda, Jejak Imaji tercatat telah beberapa kali memenangkan penghargaan di bidang musikalisasi puisi.

Jejak Imaji dan Musikalisasi Puisi
 Musikalisasi puisi merupakan cara untuk mengekspresikan sebuah karya, dalam hal ini puisi. Dalam dekade ini, puisi hanya dinikmati oleh pecinta puisi saja, sedangkan yang mampu memahami puisi tergolong sedikit. Karena itu, Jejak Imaji mencoba untuk memudahkan pemahaman khalayak tentang puisi melalui musikalisasi puisi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sule Subaweh selaku “penasihat” di Jejak Imaji, musikalisasi puisi akan banyak membantu pemahaman dan menambah kecintaan terhadap puisi, sebab melalui media musik, orang-orang tidak perlu membaca, cukup mendengarkan saja.
Bagi Jejak Imaji, musikalisasi puisi bukan berarti semata-mata puisi akan tunduk pada musik, justru sebaliknya, puisi harus lebih diutamakan daripada musik. Jika dianalogikan, puisi adalah raja, dan musik hanya jajaran patih yang hanya mendukung raja. Musik harus mengikuti puisi. Tidak boleh puisi mengikuti musik. Puisi sudah punya musik sendiri. Jika dilihat dari unsur intrinsik dalam puisi, akan ditemukan unsur nada, rima, irama, dan lain sebagainya.
Jejak Imaji senantiasa berusaha menjaga kestabilan agar tidak terlelap dalam panggung, sebab tujuan utama komunitas ini adalah menulis. Musikalisasi puisi hanya wadah untuk berekspresi saja, dan menjaga debar untuk terus berkarya.
Bagi Jejak Imaji, dengan bermain musikalisasi puisi khalayak secara tidak langsung akan memahami puisi. Bahkan lebih dari memahami, melainkan juga dituntut untuk melihat sudut pandang berbeda dalam menciptakannya.Untuk menciptakan hal dasar, yang harus dilakukan adalah memahami puisinya terlebih dahulu, baru mulai menciptakan.
Sejauh ini sudah memusikalisasi tujuh puisi, di antaranya Surat Buat Emak dan Uterus (Kedung Darma Romansha), Juga Waktu (Subagyo Sastrowardoyo), Kangen (WS Rendra), Obituari Ingatan (Faisal Oddang), puisi tanpa judul Yuliani Kumudaswari yang diambil dari antologi 100 puisi pilihannya, dan Menjelang Tahajud (Raedu Basha).

Badan Usaha Jejak Imaji
            Menjelang akhir tahun 2017, Jejak Imaji tercatat sudah memiliki tiga badan usaha yang dikelola secara kolektif. Di antaranya ada Warung Edukasi Jejak Kopi (resmi berdiri 10 September 2017) yang bergerak di bidang bisnis sebagai salah satu upaya untuk menyeimbangkan neraca keuangan Jejak Imaji sebagai suatu kelompok dan menambah pendapatan para pengelolanya. Warung edukasi ini dikelola oleh 5 orang (Aditya Dwi Yoga, Ari Prastyo Nugroho, Lalu Bintang Wahyu Putra, Enggar Jiwanto, dan Hendrik Efriyadi sebagai manajer). Badan usaha kedua adalah Jejak Pustaka yang bergerak di bidang penerbitan buku. Dikelola oleh Ardy Priyantoko, Kurniaji Satoto, Bisri Musthofa, Devi Santi Ariani, Ilham Rabbani, dan Sule Subaweh sebagai penasihat. Terakhir, Bukubuku Inspirasi yang menjual buku-buku bekas berkualitas di media daring maupun keliling dari bazar ke bazar. Dikelola oleh Ari Prastyo Nugroho dan Ardy Priyantoko.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar