Salah satu faktor lahirnya komunitas menulis adalah kegelisahan. Seorang penulis membutuhkan media dan wadah untuk berkarya. Karenanya, dilahirkanlah komunitas yang diberi nama Jejak Imaji.
Jejak Imaji
merupakan kelompok belajar sastra yang lahir karena terbatasnya ruang-ruang
diskusi dan ekspresi di lingkungan kampus –paling tidak di tempat Jejak Imaji lahir. Dari awal,
Jejak Imaji diniatkan untuk siapa pun yang ingin belajar sastra, tetapi
kenyataannya tidak hanya pada sastra secara sempit. Lantaran keinginan menambah
sekaligus mengembangkan ruang-ruang diskusi tersebutlah, secara resmi Jejak
Imaji dibentuk dan dilahirkan pada 1 April 2014 di Kotagede, Yogyakarta. Belum
berusia lama memang bagi sebuah kelompok belajar, apalagi bila melihat begitu
banyak kantong-kantong sastra di Yogyakarta.
Awalnya,
kelompok belajar ini bernama Diskusi Lawang Abang yang digiatkan oleh beberapa
orang saja seperti Iqbal H. Saputra, Aditya Dwi Yoga, Angga T. Sanjaya, dkk.
Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan
(UAD) yang tergerak untuk bergabung dalam Diskusi Lawang Abang. Sejak saat itu,
atmosfer diskusi menjadi lebih bergairah.
Banyaknya
kegelisahan yang muncul di benak mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI) UAD membuat anggota Jejak Imaji semakin bertambah. Komunitas yang
bergerak di bidang kepenulisan ini tidak membatasi diri sebagai wadah untuk
mahasiswa UAD saja, melainkan terbuka bagi siapa pun –mahasiswa dari UIN, UGM,
UNY, ISI, Janabadra, dan beberapa kampus di Jogja juga tergabung sebagai
anggota di dalamya, bahkan ada juga yang telah bekerja.
Salah satu
indikasi banyaknya anggota dari luar karena sedikitnya komunitas penulisan di
Jogja yang tidak bergerak di bawah naungan akademis/kampus. Muaranya adalah
pergulatan di media massa, baik lokal maupun nasional. Mereka berlomba agar
bisa dimuat di media massa dengan tidak bermaksud menjadikannya sebagai
satu-satunya tolok ukur kualitas. Maka, sebagian tetap mengikuti berbagai
kegiatan perlombaan kepenulisan, dan dokumentasi-dokumentasi karya di lingkup
akademis atau di luar. Pada akhirnya, tidak sedikit pula yang mendapat
penghargaan dari wilayah tersebut.
Jejak Imaji
mempunyai struktur sebagaimana lembaga atau institusi yang terdiri dari ketua,
sekretaris, bendahara, dan humas, tetapi tidak terikat dan kaku. Karena sudah
disusun sedemikian rupa, maka kegiatan diskusi juga disusun secara rutin.
Diskusi umum dilaksanakan setiap Senin mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan
selesai. Aturan main menggunakan model arisan, yakni terdapat undian satu orang
untuk karya (puisi, cerpen, esai, novel dan lain-lain) yang dibahas, dan dua
orang sebagai pembahas melalui esai kritis. Setiap anggota akan mendapat
giliran sebagai penyetor karya dan pembahas. Tujuannya, menumbuhkan sekaligus
meningkatkan minat membaca dan berkarya. Lebih dari itu, sebagai wujud
pertanggungjawaban intelektual masing-masing untuk berpikir kritis berdasarkan
teori dan empiris.
Kegiatan
tersebut dilakukan secara berkesinambungan, meski pada saat-saat tertentu ada
selingan diskusi yang berbeda. Misalnya, resensi kritis terhadap suatu buku
seperti novel terjemahan, catatan sejarah, atau teori mutakhir. Selain acara
rutin tersebut, Jejak Imaji juga memiliki agenda bersilaturahmi ke praktisi akademis,
sastrawan, dan budayawan. Untuk membangun sebuah hubungan keluar, Jejak Imaji
juga berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain. Para anggota mengumpulkan
informasi dari luar dan menghampiri.
Wacana-wacana
terbaru lalu dibawa kembali ke dalam lingkaran. Pada intinya Jejak Imaji
membuka jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar. Selain kegiatan
kepenulisan, Jejak Imaji juga aktif menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan
puisi, dan monolog di panggung-panggung sastra Yogyakarta. Jejak Imaji sering
diberi kepercayaan sebagai pembicara dalam diskusi komunitas dan forum-forum
akademis. Beberapa anggota pernah mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Daerah
(Peksimida) dan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), sekaligus membawa
pulang trofi juara, tidak terkecuali di beberapa lomba lainnya.
Mayoritas
anggota menyukai karya jenis puisi, maka mereka tidak hanya memahami puisi dari
teks saja, melainkan mengapresiasi sekaligus memahami puisi di panggung juga,
baik pembacaan maupun musikalisasi. Sampai dengan tahun 2017, meskipun baru
menginjak usia yang relatif muda, Jejak Imaji tercatat telah beberapa kali
memenangkan penghargaan di bidang musikalisasi puisi.
Jejak
Imaji dan Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi merupakan cara untuk
mengekspresikan sebuah karya, dalam hal ini puisi. Dalam dekade ini, puisi
hanya dinikmati oleh pecinta puisi saja, sedangkan yang mampu memahami puisi
tergolong sedikit. Karena itu, Jejak Imaji mencoba untuk memudahkan pemahaman
khalayak tentang puisi melalui musikalisasi puisi.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Sule Subaweh selaku “penasihat” di Jejak Imaji, musikalisasi
puisi akan banyak membantu pemahaman dan menambah kecintaan terhadap puisi,
sebab melalui media musik, orang-orang tidak perlu membaca, cukup mendengarkan
saja.
Bagi Jejak
Imaji, musikalisasi puisi bukan berarti semata-mata puisi akan tunduk pada
musik, justru sebaliknya, puisi harus lebih diutamakan daripada musik. Jika
dianalogikan, puisi adalah raja, dan musik hanya jajaran patih yang hanya
mendukung raja. Musik harus mengikuti puisi. Tidak boleh puisi mengikuti musik.
Puisi sudah punya musik sendiri. Jika dilihat dari unsur intrinsik dalam puisi,
akan ditemukan unsur nada, rima, irama, dan lain sebagainya.
Jejak Imaji senantiasa
berusaha menjaga kestabilan agar tidak terlelap dalam panggung, sebab tujuan utama
komunitas ini adalah menulis. Musikalisasi puisi hanya wadah untuk berekspresi
saja, dan menjaga debar untuk terus berkarya.
Bagi Jejak
Imaji, dengan bermain musikalisasi puisi khalayak secara tidak langsung akan
memahami puisi. Bahkan lebih dari memahami, melainkan juga dituntut untuk
melihat sudut pandang berbeda dalam menciptakannya.Untuk menciptakan hal dasar,
yang harus dilakukan adalah memahami puisinya terlebih dahulu, baru mulai
menciptakan.
Sejauh ini sudah
memusikalisasi tujuh puisi, di antaranya Surat
Buat Emak dan Uterus (Kedung
Darma Romansha), Juga Waktu (Subagyo
Sastrowardoyo), Kangen (WS Rendra), Obituari Ingatan (Faisal Oddang), puisi
tanpa judul Yuliani Kumudaswari yang diambil dari antologi 100 puisi
pilihannya, dan Menjelang Tahajud
(Raedu Basha).
Badan
Usaha Jejak Imaji
Menjelang akhir tahun 2017, Jejak Imaji tercatat
sudah memiliki tiga badan usaha yang dikelola secara kolektif. Di antaranya ada
Warung Edukasi Jejak Kopi (resmi berdiri 10 September 2017) yang bergerak di
bidang bisnis sebagai salah satu upaya untuk menyeimbangkan neraca keuangan
Jejak Imaji sebagai suatu kelompok dan menambah pendapatan para pengelolanya.
Warung edukasi ini dikelola oleh 5 orang (Aditya Dwi Yoga, Ari Prastyo Nugroho,
Lalu Bintang Wahyu Putra, Enggar Jiwanto, dan Hendrik Efriyadi sebagai
manajer). Badan usaha kedua adalah Jejak Pustaka yang bergerak di bidang
penerbitan buku. Dikelola oleh Ardy Priyantoko, Kurniaji Satoto, Bisri
Musthofa, Devi Santi Ariani, Ilham Rabbani, dan Sule Subaweh sebagai penasihat.
Terakhir, Bukubuku Inspirasi yang menjual buku-buku bekas berkualitas di media
daring maupun keliling dari bazar ke bazar. Dikelola oleh Ari Prastyo Nugroho
dan Ardy Priyantoko.
0 komentar:
Posting Komentar