Gimbal
Sebab
menanam pasti menuai.
Di-Hyang
melahirkan bocah
dari
stupa Kolodete.
Sikak
Gimbal!
***
Akulah
sebab itu.
Langkah
yang mengayun
pada
tanah gemah ripah.
Bukankah
ini ladang surga?
Perhatikan
angin
yang
mengelus cemara.
Setiap
tetes air
tak
henti mengalir
menyemai
dahaga bunga.
Sedang
cahaya mampu
Memanah
setiap celah.
Kutitipkan
kayangan ini
Pada
ruh-ruh yang mampu
menetaskan
surga di antara
rekah
remah tanah.
Sampai
waktu gunung
Meluluhlantakkan
segala
yang ada.
Ruwat
titisanku
hingga
segala yang dipinta
menjadi
berkah bagi semesta.
Dan
candi-candi bersaksi
ketika
mahkota larung dari telaga,
mengalir
menuju samudra
tiada.
Jejak
Imaji, Mei 2014
Sungai
Sungai
mana yang mengalir
dari
dalam jiwaku
saat
pagi telah menjamu.
Jangan
katakan bahwa
ia
terbelenggu.
Aku
baru tersadar
dari
mimpi tengah waktu.
Bawalah
aku!
Mengarungi
setiap jengkal
dari
arus yang tertuju
pada
ketiadaanmu.
Jejak
Imaji, Mei 2014
Muara Air Mata
/1/
Bagaimana
bisa kuterjemahkan tangis
bila
derainya mampu memecah permukaaan sunyi
Haruskah
kugali ceruk-ceruk sungai
Untuk
mengalirkan air mata yang begitu derasnya
/2/
Aku
kembali terpanggil oleh isak tangis.
Kuterjemahkan:
Isyaratnya
menuntun jejakku berziarah
Menuju
muara yang telah lama kutinggalkan
Di
sana kutemukan lagi air mata telah menyatu
Dengan
batu-batu
Jejak
Imaji, Mei 2017
Pertemuan
Aku
menemukanmu
ketika
gerimis memanjang
sampai
di ujung
bayang-bayang.
Seluruh
badanmu gigil,
matamu
nanar!
Inikah
wajah sunyi
yang
kau simpan
selama
ini?
Jejak
Imaji, Juni 2014 (SUARA MERDEKA, 7 SEPTEMBER 2014)
Jejak Candi
Tangis
candi-candi
ngaliri
batu-batu, kekekalan
lumut-lumut
sepanjang telaga
hijaunya
sampai ke kedalaman
sukma
Kita
berlari
menjejak
bersetia
maknai kerak waktu
terus
bergerak
mengarak
dingin
kealpaan,
kabut
yang
melulu gagal luput
dalam
benak anak
anak
zaman
Tangis
candi-candi
kikis
rindu-rindu, kelalaian
kerut-kerut
kening petapa
coklatnya
berai seraki lantai
lantai
pergulatan
Jejak
Imaji, September 2014
Perempuan
Pramusaji
sudah
sekian malam kunikmati
senyum
di bibirmu paling masai
setiap
perjamuanmu mengisyaratkan
pada
kekeringan sepanjang
kerongkongan
hingga lambung
untuk
segera diselesaikan
di
tempat ini
lampu
tidak banyak
menyimpan
cahaya
kursi
dan meja sesekali berderit
langkah
yang cemas dan bergegas
jadi
perhatian tersendiri
seperti
gema suara terpental
pada
dinding kalender
yang
tidak akan berhenti
sampai
jam dinding
benar-benar
berkeloneng
di
tempat ini
kita
terbiasa berbincang dengan waktu
memperdebatkan
setiap laki-laki
yang
datang memesan
senyum
dan kedipan matamu
Jejak
Imaji, November 2014
Bingkai Jalanan
kutemukan
wajahmu
saat
cahaya lampu
jatuh
di bingkai jalanan
keterasingan
sesaat ini
melupakan
bahwa langit
begitu
lusuh
digerayangi
aliran doa-doa
yang
tak kunjung padam
sorot
matamu bagai cermin
menampakkan
setumpuk luka
sepanjang
malam
aroma
bangkai nasi
tak
pernah luput
dari
setiap teguk napas
yang
menyayat kerongkongan
begitu
pula gemuruh
perjalanan
waktu
selalu
memecah kesunyian
di
rongga-rongga telinga
bila
nanti senyumanmu
gugur
oleh kesepian
pastikan
akar-akarnya
tetap
tertancap
pada
tanah yang mampu
menumbuhkan
tunas
bagi
senyum yang baru
Jejak
Imaji, September 2014 ( INDOPOS, 3 JANUARI 2015)
Majestic
Hujan
turun sederas rindu dan kesepian kita,
pelukan
mungkin akan terjadi,
namun
kenangan akan tetap demikian,
kekal
dan setia.
Apabila
ada sesuatu yang layak untuk kita ingat,
itu
adalah kepergian. Kepergian serupa ingatan,
menuntut
segalanya untuk kembali.
Kekasih,
apabila ada yang harus kupungut lagi
selain
dingin kabut, aroma hujan, gerlap lampu kota
sesaat
setelah senja, bisikan-bisikan di telinga,
dan
pelukan paling hangat,
itu
adalah kenangan yang kau tinggalkan
setelah
sekian waktu kurawat
dengan
kemegahan duka cinta.
Jejak
Imaji, 2017
Kau Adalah Puisi
Musim Hujan
:
Majestic
Kau
adalah puisi musim hujan
yang
selalu bersiap tabah,
saat
butir air jatuh di tanah basah.
Sebelum
angin benar-benar menghempas,
izinkan
aku mencipta pusaran
agar
nanti kau tahu bagaimana cara
menghadapi
ketidakpastian.
Kau
adalah puisi musim hujan,
dan
aku adalah kemarau yang cemburu
pada
angin yang mencipta jarak.
Aku
bergerak: menujumu
dan
kau terlalu cepat
meninggalkan
kesepianku.
Jejak
Imaji, 2017
Pertemuan
Saat
kita bertemu, aku tidak langsung
mengulur
tangan: memelukmu,
tapi
kubiarkan rindu berkejaran dulu
di
antara dengung kembang api
dan
remang lampion.
Aku
tidak segera merapatkan bibir
pada
keningmu, kupersilahkan dulu
sisa-sisa
ingatan menata ruang sunyi
yang
lama tidak dihuni.
Kemudian
diam-diam aku memandangmu,
sebagaimana
kau lekat memandangku.
Jejak
Imaji, 2016
Perempuan Botol
Perempuan
itu berumah di lereng bukit,
di
tepi ladang ubi tidak jauh dari mata air
yang
mengalir melintasi bayang-bayang
kurus
pohonan menuju anak-anak sungai.
Di
bulan basah.
Ia
sambangi arus yang sendu
untuk
mengisi botol bertutup rindu.
Adakalanya
bibirnya yang masai itu
mampu
memecah hening batu-batu.
Demikian
setiap hari, ia berjalan
menurut
nada gemericik air,
menenteng
botol dengan tangan kelu.
Satu
persatu anak yang lahir
dari
rahim bumi ia sirami.
Ada
kalanya isi botol itu
digunakan
untuk membasahi
anak
dari rahimnya sendiri.
Di
bulan kering.
Setiap
hari ia mengisi botol
dengan
peluh dan air mata.
Ia
berjalan
menurut
nada gemericik air,
menenteng
botol-botol itu
sampai
matahari sepenggalah
dan
akan kembali lagi
ketika
langit memerah.
Jejak
Imaji, 2016. ( MEDIA INDONESIA, 29 JANUARI 2017
Jantung Rumahmu
Jika
boleh kukatakan, aku ingin pulang, Mak
kembali
menuju haribaan yang kau namai rindu.
Sekali
lagi, aku ingin mengemasi sisa-sisa ingatan
menghitung
rambutan setengah matang di halaman kakek
atau
menyemai biji padi di sawah garapan kita.
Tetapi
jarak masih asing terhadap kepulangan
impian
yang memanjang tetap tidak mengizinkan.
Keduanya
selalu muncul dari balik jendela kamarku,
terkadang
mengetuk pintu saat aku tengah bermimpi,
atau
sesekali menggaruk gatal di punggungku.
Aku
benar-benar ingin pulang, Mak
menyusuri
tepi kali serayu, memetiki mundu dan jambu
menyiang
rumput-rumput yang terlihat lesu.
Tetapi,
lagi-lagi dalam keheningan aku bertanya
di
manakah kiranya tanda jantung rumahmu
yang
tidak pernah kusua di saban dada perempuan.
Yang
sebenarnya tidak pernah ada selain milikmu
yang
misteri, dan memenuhi masa silamku.
Jejak
Imaji, 2017
Hujan Bulan Januari
Aku
mencintaimu tepat
saat
hujan pertama jatuh di bulan januari.
Namamu
yang melulu kueja dalam kesiap doa
akan
kembali, sebagaimana rotasi jarum jam
yang
terus berputar bersama degup di dada.
Aku
melepasmu tepat
saat
hujan terakhir jatuh di bulan januari.
Sedetak
kemudian aku akan menjadi jarum yang patah
sebelum
menuntaskan putaran yang akan menghapus
ingatan
tentang pertemuan dan senja yang memerah.
Jejak
Imaji, 2017
Apabila Aku Mengenangmu, Na
Pada
gerai rambutmu yang dipermainkan angin
kembang-kembang
mekar, membujuk segala giris
kembali
menuju desis gerimis.
Biarkan
aku tenggelam dalam basahmu,
menyemai
hasrat yang tergiring ke batas waktu.
Pada
tengkukmu yang dipenuhi bulu roma,
kecupan
demi kecupan jatuh
seperti
kelopak berlepasan.
Dan
aku sungguh tersesat,
segugup
burung di malam yang lesat.
Kemudian
kita beranjak dari pertemuan
ke
pusat hening masing-masing
menyuruk
diri ke sudut paling asing.
Na,
apabila aku harus mengenangmu,
hanya
rindu yang tak kunjung tiris
pada
kening, mata, pipi, dan bibir masaimu.
Jejak
Imaji, 2017 ( SUARA MERDEKA, 5 FEBRUARI 2017)
Anak Tembakau
Sesaat
matahari sepenggalah, kupandangi gigir ibu
dan
para petani yang begitu tenang memetik kesedihan
di
antara lembar-lembar tembakau yang tidak pernah cukup
untuk
membesarkan anak-anaknya. Tumbuh menguncup,
mekar,
berbunga di ladang nasib dan hari yang bermuka dua.
Kemudian
aku menepi, duduk terdiam memangku harapan
dan
buku pelajaran setelah letih menanam benih impian
di
lubang-lubang bangku sekolah yang sunyi dan berdebu.
Kali
ini, musim masih terbidik mata angin.
Selepas
bulan kering, sebagaimana setelah menerima buku rapor
aku
termangu seperti ibuku, memandangi awan, gunung
dan
sulfatra tipis yang bergerak mengikuti arah angin,
telentang
dengan punggung lebam dan raut muka kelewat pasi.
Remah-tanah
yang kami pijak juga terus menggumpalkan kecemasan
tentang
spp yang belum tebayar dan tebusan
beras harian,
kesemuanya
berderak-bergerak dari bakul ke cangkul,
dari
mulut ke lumut, dari satu kelangkang ke kelangkang lain.
Musim
tetap terbidik mata angin.
Aku
ingin mengabarkan pada malam, ketika angin lembah
dalam
tubuhku meyeret ketakutan ke ladang tembakau yang memutih,
debar
akan terus selimuti tubuhku ketika tajam batu dan undakan
adalah
kenyataan yang harus segera dituntaskan.
Saat
bulan basah tiba dan membuka tirainya, aku harus memahami
bahwa
yang tersisa hanya batang-batang dan ranting kecoklatan
serta
tanah garapan tempat duka dan impian kekal bersemayam.
Jejak
Imaji, 2016
Antologi
Surabaya Memory (2015)
Membaca
Peta Ibu Pertiwi
/1/
Kerap
kita baca peta tanpa arah mata angin
arungi
rotasi matahari, lawan aralnya.
Menembus
pusaran tersembunyi,
yang
di dalamnya tumbuh
tanah
dan batu-batu, petuah ibu pertiwi.
Pelayaran
kita mengeja nama-nama,
memaksa
kemudi berputar arah
hingga
tak didapati lagi
di
mana simpang dan ujungnya.
/2/
Berapa
waktu dibutuhkan kesangsian
untuk
meruntuhkan lambung kita
yang
senantiasa terjaga dari dahaga
dan
lapar sepanjang malam?
Barangkali
musim dalam hitungan jemari
tak
cukup untuk mencatat kebulatan
di
setiap sudut bibir,
yang
sengaja kita kunci rapat-rapat.
/3/
Perjalanan
kita baru separuh dari seluruh,
tak
akan pernah berhenti sampai bola mata
benar-benar
dibutakan terik kehidupan
di
lorong perbatasan yang redup redam.
/4/
Membaca
peta.
Kita
sempatkan singgah di ceruk-ceruk mimpi
masuki
harapan yang sesak bayang-bayang.
Dan
dalam genggaman getar sajak-sajak,
kedua
tangan kita menyeruak
mengupas
perbedaan sampai ke keraknya.
Hingga
benar terlihat tujuan kita membaca peta
: menandai dengan arah mata angin
yang sesuai dengan nurani!
Jejak Imaji, 2015 ( Antologi Requiem Tiada Henti (2017)
Analogi
/1/
Usai
mengucap doa dan menulis puisi
ibu
menyambangi hutan jati.
Di
dahan terendah dan terkuat ia ikatkan tali,
melingkarkan
jerat ke leher yang pasi.
Seperti
memakai sekalung emas yang tak mampu ia beli.
Aku
tak paham dengan perbuatannya,
yang
kutahu saat itu langit pucat telah digulung merah fajar,
di
tepi bibir ibu setetes senyum menitik,
memadatkan
debu dan waktu.
/2/
Malam
telah melepas bidai di tubuh fajar.
Ibu
tergelapar, sepasang sayap menyeruak
dari
punggungnya. Lalu, ia terbang begitu tinggi,
seperti
harapan yang kupanjatkan dalam kesedihan ini.
Tepat
di balkon langit ibu berhenti, mengerling mata
berharap
aku atau kamu menyusul ke kerajaan tuhan,
yang
kesempurnaannya melebihi mimpi.
Lama
ia melayang, menerawang, tubuhnya merah menyala
seperti
warna darah yang keluar dari kakinya,
saat
tajam batu-batu adalah kenyataan pertama
yang
mesti dituntaskannya.
Bias
kemerahan fajar membuat gelombang awan samar
bintang
semakin pudar, separuh bulan samar
seluruh
rangkaian tali malam terbakar
tapi
kehidupan pagi masih rapat tertutup layar.
Di
cermin mataku segalanya merah, semuanya darah.
/3/
Nak,
mengapa kau memelukku?
Jangan
takut pada darah, jangan pernah.
Sebab
bila aku pergi,
kau
masih harus terus berdiri,
mengalirkan
darah di tubuhmu.
Nak,
rebahlah di sampingku,
namun
jangan genggam tanganku.
/4/
Tubuh
fajar perlahan lumer, memenuhi langit
darah
hari sesaat lagi kering oleh matahari.
Kali
ini senyum kerap menitik di sudut bibirku
melihat
darah dari tubuh perempuan
yang
tiap malam dihantam kesakitan.
Lalu,
andai senyum yang menitik itu mengering,
aku
ingat, selalu ada senyum lain dalam tubuhku.
Jauh
di atas kepala bagai kelopak padma mekar,
matahari
berpijar. Di sekeliling kakiku,
debu
dan waktu masih terus memburu.
Yogyakarta,
25 Shafar 1437 H ( Juara III Rising Orange UAD 2015)
*Ardy Priyantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Sedikit karyanya termaktub dalam antologi bersama dan tersiar di sedikit media. Saat ini aktif berkegiatan di Jejak Imaji (Yogyakarta) dan Komunitas Sastra Bimalukar (Wonosobo). Pernah menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Pos-el: ardypriyantoko@gmail.com. No. Gawai 08562572254.
0 komentar:
Posting Komentar