Senin, 21 Agustus 2017

Puisi-puisi Ardy Priyantoko



Gimbal

Sebab menanam pasti menuai.
Di-Hyang melahirkan bocah
dari stupa Kolodete.

Sikak Gimbal!
***
Akulah sebab itu.
Langkah yang mengayun
pada tanah gemah ripah.
Bukankah ini ladang surga?

Perhatikan angin
yang mengelus cemara.
Setiap tetes air
tak henti mengalir
menyemai dahaga bunga.
Sedang cahaya mampu
Memanah setiap celah.

Kutitipkan kayangan ini
Pada ruh-ruh yang mampu
menetaskan surga di antara
rekah remah tanah.
Sampai waktu gunung
Meluluhlantakkan
segala yang ada.

Ruwat titisanku
hingga segala yang dipinta
menjadi berkah bagi semesta.
Dan candi-candi bersaksi
ketika mahkota larung dari telaga,
mengalir menuju samudra
tiada.

Jejak Imaji, Mei 2014 





Sungai

Sungai mana yang mengalir
dari dalam jiwaku
saat pagi telah menjamu.
Jangan katakan bahwa
ia terbelenggu.
Aku baru tersadar
dari mimpi tengah waktu.
Bawalah aku!
Mengarungi setiap jengkal
dari arus yang tertuju
pada ketiadaanmu.

Jejak Imaji, Mei 2014


Muara Air Mata

/1/
Bagaimana bisa kuterjemahkan tangis
bila derainya mampu memecah permukaaan sunyi
Haruskah kugali ceruk-ceruk sungai
Untuk mengalirkan air mata yang begitu derasnya

/2/
Aku kembali terpanggil oleh isak tangis.
Kuterjemahkan:
Isyaratnya menuntun jejakku berziarah
Menuju muara yang telah lama kutinggalkan
Di sana kutemukan lagi air mata telah menyatu
Dengan batu-batu

Jejak Imaji, Mei 2017


Pertemuan

Aku menemukanmu
ketika gerimis memanjang
sampai di ujung
bayang-bayang.
Seluruh badanmu gigil,
matamu nanar!
Inikah wajah sunyi
yang kau simpan
selama ini?

Jejak Imaji, Juni 2014 (SUARA MERDEKA, 7 SEPTEMBER 2014)



Jejak Candi

Tangis candi-candi
ngaliri batu-batu, kekekalan
lumut-lumut sepanjang telaga
hijaunya sampai ke kedalaman
sukma

Kita
berlari menjejak
bersetia maknai kerak waktu
terus bergerak
mengarak dingin
kealpaan, kabut
yang melulu gagal luput
dalam benak anak
anak zaman

Tangis candi-candi
kikis rindu-rindu, kelalaian
kerut-kerut kening petapa
coklatnya berai seraki lantai
lantai pergulatan

Jejak Imaji, September 2014


Perempuan Pramusaji

sudah sekian malam kunikmati
senyum di bibirmu paling masai
setiap perjamuanmu mengisyaratkan
pada kekeringan sepanjang
kerongkongan hingga lambung
untuk segera diselesaikan

di tempat ini
lampu tidak banyak
menyimpan cahaya
kursi dan meja sesekali berderit
langkah yang cemas dan bergegas
jadi perhatian tersendiri
seperti gema suara terpental
pada dinding kalender
yang tidak akan berhenti
sampai jam dinding
benar-benar berkeloneng

di tempat ini
kita terbiasa berbincang dengan waktu
memperdebatkan setiap laki-laki
yang datang memesan
senyum dan kedipan matamu

Jejak Imaji, November 2014


Bingkai Jalanan

kutemukan wajahmu
saat cahaya lampu
jatuh di bingkai jalanan
keterasingan sesaat ini
melupakan bahwa langit
begitu lusuh
digerayangi aliran doa-doa
yang tak kunjung padam

sorot matamu bagai cermin
menampakkan setumpuk luka
sepanjang malam
aroma bangkai nasi
tak pernah luput
dari setiap teguk napas
yang menyayat kerongkongan
begitu pula gemuruh
perjalanan waktu
selalu memecah kesunyian
di rongga-rongga telinga

bila nanti senyumanmu
gugur oleh kesepian
pastikan akar-akarnya
tetap tertancap
pada tanah yang mampu
menumbuhkan tunas
bagi senyum yang baru

Jejak Imaji, September 2014 (INDOPOS, 3 JANUARI 2015)





Majestic

Hujan turun sederas rindu dan kesepian kita,
pelukan mungkin akan terjadi,
namun kenangan akan tetap demikian,
kekal dan setia.

Apabila ada sesuatu yang layak untuk kita ingat,
itu adalah kepergian. Kepergian serupa ingatan,
menuntut segalanya untuk kembali.

Kekasih, apabila ada yang harus kupungut lagi
selain dingin kabut, aroma hujan, gerlap lampu kota
sesaat setelah senja, bisikan-bisikan di telinga,
dan pelukan paling hangat,

itu adalah kenangan yang kau tinggalkan
setelah sekian waktu kurawat
dengan kemegahan duka cinta.

Jejak Imaji, 2017


Kau Adalah Puisi Musim Hujan
: Majestic

Kau adalah puisi musim hujan
yang selalu bersiap tabah,
saat butir air jatuh di tanah basah.

Sebelum angin benar-benar menghempas,
izinkan aku mencipta pusaran
agar nanti kau tahu bagaimana cara
menghadapi ketidakpastian.

Kau adalah puisi musim hujan,
dan aku adalah kemarau yang cemburu
pada angin yang mencipta jarak.

Aku bergerak: menujumu
dan kau terlalu cepat
meninggalkan kesepianku.

Jejak Imaji, 2017





Pertemuan

Saat kita bertemu, aku tidak langsung
mengulur tangan: memelukmu,
tapi kubiarkan rindu berkejaran dulu
di antara dengung kembang api
dan remang lampion.

Aku tidak segera merapatkan bibir
pada keningmu, kupersilahkan dulu
sisa-sisa ingatan menata ruang sunyi
yang lama tidak dihuni.

Kemudian diam-diam aku memandangmu,
sebagaimana kau lekat memandangku.

Jejak Imaji, 2016


Perempuan Botol

Perempuan itu berumah di lereng bukit,
di tepi ladang ubi tidak jauh dari mata air
yang mengalir melintasi bayang-bayang
kurus pohonan menuju anak-anak sungai.

Di bulan basah.

Ia sambangi arus yang sendu
untuk mengisi botol bertutup rindu.
Adakalanya bibirnya yang masai itu
mampu memecah hening batu-batu.

Demikian setiap hari, ia berjalan
menurut nada gemericik air,
menenteng botol dengan tangan kelu.
Satu persatu anak yang lahir
dari rahim bumi ia sirami.

Ada kalanya isi botol itu
digunakan untuk membasahi
anak dari rahimnya sendiri.

Di bulan kering.

Setiap hari ia mengisi botol
dengan peluh dan air mata.

Ia berjalan
menurut nada gemericik air,
menenteng botol-botol itu
sampai matahari sepenggalah
dan akan kembali lagi
ketika langit memerah.

Jejak Imaji, 2016. (MEDIA INDONESIA, 29 JANUARI 2017



Jantung Rumahmu

Jika boleh kukatakan, aku ingin pulang, Mak
kembali menuju haribaan yang kau namai rindu.

Sekali lagi, aku ingin mengemasi sisa-sisa ingatan
menghitung rambutan setengah matang di halaman kakek
atau menyemai biji padi di sawah garapan kita.

Tetapi jarak masih asing terhadap kepulangan
impian yang memanjang tetap tidak mengizinkan.

Keduanya selalu muncul dari balik jendela kamarku,
terkadang mengetuk pintu saat aku tengah bermimpi,
atau sesekali menggaruk gatal di punggungku.

Aku benar-benar ingin pulang, Mak
menyusuri tepi kali serayu, memetiki mundu dan jambu
menyiang rumput-rumput yang terlihat lesu.

Tetapi, lagi-lagi dalam keheningan aku bertanya
di manakah kiranya tanda jantung rumahmu
yang tidak pernah kusua di saban dada perempuan.

Yang sebenarnya tidak pernah ada selain milikmu
yang misteri, dan memenuhi masa silamku.

Jejak Imaji, 2017


Hujan Bulan Januari

Aku mencintaimu tepat
saat hujan pertama jatuh di bulan januari.

Namamu yang melulu kueja dalam kesiap doa
akan kembali, sebagaimana rotasi jarum jam
yang terus berputar bersama degup di dada.

Aku melepasmu tepat
saat hujan terakhir jatuh di bulan januari.

Sedetak kemudian aku akan menjadi jarum yang patah
sebelum menuntaskan putaran yang akan menghapus
ingatan tentang pertemuan dan senja yang memerah.

Jejak Imaji, 2017


Apabila Aku Mengenangmu, Na

Pada gerai rambutmu yang dipermainkan angin
kembang-kembang mekar, membujuk segala giris
kembali menuju desis gerimis.

Biarkan aku tenggelam dalam basahmu,
menyemai hasrat yang tergiring ke batas waktu.

Pada tengkukmu yang dipenuhi bulu roma,
kecupan demi kecupan jatuh
seperti kelopak berlepasan.

Dan aku sungguh tersesat,
segugup burung di malam yang lesat.

Kemudian kita beranjak dari pertemuan
ke pusat hening masing-masing
menyuruk diri ke sudut paling asing.

Na, apabila aku harus mengenangmu,
hanya rindu yang tak kunjung tiris
pada kening, mata, pipi, dan bibir masaimu.

Jejak Imaji, 2017 (SUARA MERDEKA, 5 FEBRUARI 2017)




Anak Tembakau

Sesaat matahari sepenggalah, kupandangi gigir ibu
dan para petani yang begitu tenang memetik kesedihan
di antara lembar-lembar tembakau yang tidak pernah cukup
untuk membesarkan anak-anaknya. Tumbuh menguncup,
mekar, berbunga di ladang nasib dan hari yang bermuka dua.

Kemudian aku menepi, duduk terdiam memangku harapan
dan buku pelajaran setelah letih menanam benih impian
di lubang-lubang bangku sekolah yang sunyi dan berdebu.

Kali ini, musim masih terbidik mata angin.

Selepas bulan kering, sebagaimana setelah menerima buku rapor
aku termangu seperti ibuku, memandangi awan, gunung
dan sulfatra tipis yang bergerak mengikuti arah angin,
telentang dengan punggung lebam dan raut muka kelewat pasi.

Remah-tanah yang kami pijak juga terus menggumpalkan kecemasan
tentang spp yang belum tebayar dan tebusan beras harian,
kesemuanya berderak-bergerak dari bakul ke cangkul,
dari mulut ke lumut, dari satu kelangkang ke kelangkang lain.

Musim tetap terbidik mata angin.

Aku ingin mengabarkan pada malam, ketika angin lembah
dalam tubuhku meyeret ketakutan ke ladang tembakau yang memutih,
debar akan terus selimuti tubuhku ketika tajam batu dan undakan
adalah kenyataan yang harus segera dituntaskan.

Saat bulan basah tiba dan membuka tirainya, aku harus memahami
bahwa yang tersisa hanya batang-batang dan ranting kecoklatan
serta tanah garapan tempat duka dan impian kekal bersemayam.

Jejak Imaji, 2016


Antologi Surabaya Memory (2015)

Membaca Peta Ibu Pertiwi
/1/
Kerap kita baca peta tanpa arah mata angin
arungi rotasi matahari, lawan aralnya.
Menembus pusaran tersembunyi,
yang di dalamnya tumbuh
tanah dan batu-batu, petuah ibu pertiwi.
Pelayaran kita mengeja nama-nama,
memaksa kemudi berputar arah
hingga tak didapati lagi
di mana simpang dan ujungnya.

/2/
Berapa waktu dibutuhkan kesangsian
untuk meruntuhkan lambung kita
yang senantiasa terjaga dari dahaga
dan lapar sepanjang malam?
Barangkali musim dalam hitungan jemari
tak cukup untuk mencatat kebulatan
di setiap sudut bibir,
yang sengaja kita kunci rapat-rapat.

/3/
Perjalanan kita baru separuh dari seluruh,
tak akan pernah berhenti sampai bola mata
benar-benar dibutakan terik kehidupan
di lorong perbatasan yang redup redam.

/4/
Membaca peta.
Kita sempatkan singgah di ceruk-ceruk mimpi
masuki harapan yang sesak bayang-bayang.
Dan dalam genggaman getar sajak-sajak,
kedua tangan kita menyeruak
mengupas perbedaan sampai ke keraknya.
Hingga benar terlihat tujuan kita membaca peta
: menandai dengan arah mata angin
yang sesuai dengan nurani!

Jejak Imaji, 2015 (Antologi Requiem Tiada Henti (2017)





Analogi

/1/
Usai mengucap doa dan menulis puisi
ibu menyambangi hutan jati.
Di dahan terendah dan terkuat ia ikatkan tali,
melingkarkan jerat ke leher yang pasi.
Seperti memakai sekalung emas yang tak mampu ia beli.

Aku tak paham dengan perbuatannya,
yang kutahu saat itu langit pucat telah digulung merah fajar,
di tepi bibir ibu setetes senyum menitik,
memadatkan debu dan waktu.

/2/
Malam telah melepas bidai di tubuh fajar.
Ibu tergelapar, sepasang sayap menyeruak
dari punggungnya. Lalu, ia terbang begitu tinggi,
seperti harapan yang kupanjatkan dalam kesedihan ini.

Tepat di balkon langit ibu berhenti, mengerling mata
berharap aku atau kamu menyusul ke kerajaan tuhan,
yang kesempurnaannya melebihi mimpi.

Lama ia melayang, menerawang, tubuhnya merah menyala
seperti warna darah yang keluar dari kakinya,
saat tajam batu-batu adalah kenyataan pertama
yang mesti dituntaskannya.

Bias kemerahan fajar membuat gelombang awan samar
bintang semakin pudar, separuh bulan samar
seluruh rangkaian tali malam terbakar
tapi kehidupan pagi masih rapat tertutup layar.

Di cermin mataku segalanya merah, semuanya darah.

/3/
Nak, mengapa kau memelukku?
Jangan takut pada darah, jangan pernah.

Sebab bila aku pergi,
kau masih harus terus berdiri,
mengalirkan darah di tubuhmu.

Nak, rebahlah di sampingku,
namun jangan genggam tanganku.

/4/
Tubuh fajar perlahan lumer, memenuhi langit
darah hari sesaat lagi kering oleh matahari.

Kali ini senyum kerap menitik di sudut bibirku
melihat darah dari tubuh perempuan
yang tiap malam dihantam kesakitan.

Lalu, andai senyum yang menitik itu mengering,
aku ingat, selalu ada senyum lain dalam tubuhku.

Jauh di atas kepala bagai kelopak padma mekar,
matahari berpijar. Di sekeliling kakiku,
debu dan waktu masih terus memburu.


Yogyakarta, 25 Shafar 1437 H (Juara III Rising Orange UAD 2015)




*Ardy Priyantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Sedikit karyanya termaktub dalam antologi bersama dan tersiar di sedikit media. Saat ini aktif berkegiatan di Jejak Imaji (Yogyakarta) dan Komunitas Sastra Bimalukar (Wonosobo). Pernah menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Pos-el: ardypriyantoko@gmail.com. No. Gawai 08562572254.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar