Sabtu, 31 Mei 2014

ESAI "MEMBACA PUISI LIRIS FOKUS ANALISIS SAJAK KABUT"



MEMBACA PUISI SULE SUBAWEH
(TANGGAPAN TERHADAP CATATAN IQBAL H. SAPUTRA)

            Membaca catatan Iqbal H Saputra (selanjutnya: Iqbal) terhadap puisi Sule Subaweh (selanjutnya: SS) (khusus sajak “Kabut”), saya merasakan ketegangan, kecemasan, dan kekhawatiran secara bersamaan-bahkan berulang-ulang. Mengapa tidak, ada tarik menarik dalam hati terhadap analisa Iqbal pada puisi SS. Saya katakan tegang juga cemas, karena apa yang dikatakan Iqbal—dalam hati saya—cenderung sekedar meng-iyakan, namun sekaligus juga ada keinginan untuk melawannya. Menurut saya, di beberapa bagian analisa Iqbal nampak kuat, tapi di lain bagian analisanya masih begitu samar
. Adakah keberanian untuk melawannya? Saya yakinkan, ada! Karena akhirnya muncul-lah kekhawatiran dalam hati saya, timbul sejalan dengan anggapan saya bahwa Iqbal—berkemungkinan—telah terjebak dalam pemaknaan yang cenderung “sempitdan mengesampingkan kemungkinan yang lain. Bagaimana tidak, berikut ini saya kutipkan klaim Iqbal terhadap puisi “Kabut”, Sule gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya.
Seakan, Sule hanya menuliskan mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu maknanya. Persis seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan. Lalu, Menurut saya, keberhasilan puisi Kabut terletak pada permainan bahasa, tepatnya pemanfaatan rima-irama. Perihal makna, saya masih terjebak dalam hipotesa saya pada paragraf-paragraf sebelumnya. Apakah keberhasilan puisi SS hanya sampai pada kulit, dan tak mencapai isi seperti perkataan Iqbal? Ataukah karena memang SS sengaja membungkusnya dengan rapi.
Lantas, apa kemungkinan yang lain itu? Bagaimana bila saya katakan bahwa puisi “Kabut” adalah puisi lirisme? Maka, adakah kemungkinan itu, Iqbal? Saya rasa Iqbal telah menjamahnya meski enggan untuk menarik dan menampilkannya. Jikalau demikian, tentu Iqbal telah melupakan sesuatu yang penting dalam puisi liris. Mari kita buktikan.
***
Berangkat dari Puisi Lirisme
            Semula, ada keraguan untuk memunculkan tema “puisi liris” dalam analisis terhadap sajak “Kabut” milik SS ini. Bukan saja pemahaman yang cetek terhadap pengertian puisi liris itu sendiri, tetapi juga kesulitan saya dalam mencari referensi untuk menjelaskan puisi liris itu. Sekaligus nantinya membuktikan ucapan saya dari sekedar omong kosong menjadi ada sekaligus nyata. Begitulah. Namun akhirnya setelah bertemu Membaca Sapardi dan sumber yang lain, maka terbukalah sedikit demi sedikit kabut—meminjam kata SS—yang mengurapi pandangan saya terhadap puisi liris. Lalu apa puisi liris itu?
            Secara hakikat pengertian puisi liris masih lemah. Dari beberapa sumber yang saya jumpai, tidak ada yang membahas puisi liris secara detail—mungkin saja saya yang tak menemukan. Tetapi yang pasti dari pendapat dan pernyataan beberapa pakar yang saya kutip agaknya dapat membukakan mata kita terhadap apa yang bernama puisi liris itu.
Menurut Sapardi Djoko Damono, bahwa puisi liris sejalan dengan tradisi lisan. Ketika bicara soal puisi, sebenarnya yang dibicarakan adalah soal bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama. Rima yang terdapat dalam puisi liris, kata Sapardi, juga memudahkan orang melakukan pemenggalan terhadap penulisan dan pembacaannya (Kirbat Sastra, Tempo Interaktif).
Masih dari Sapardi, menurutnya dua elemen penting dalam sajak lirik adalah menyatakan perasaan yang samar-samar dan dengan cara yang sederhana menyatukannya dengan alam sekitar. Kesamar-samaran itu unik, dan dia akan menjadi tidak unik lagi, dan berhenti sebagai puisi - kalau ia digamblangkan. Penyair harus sadar bahwa sebenarnya perasaan yang samar-samar itu tidak komunikatif, dan penyair harus mengkomunikasikannya, dengan bahasa, alat komunikasi. Ujian bagi penyair lirik: ia mungkin tergelincir ke dalam sajak-sajak gelap, sajak-sajak yang sama sekali kehilangan kontak dengan pembaca atau ia menghasilkan sajak yang habis sekali baca bahkan tidak jarang sudah habis sebelum dibaca sampai terakhir. Penyair harus meletakkan sajak liriknya tepat pada garis yang memisahkan kedua kemungkinan tersebut di atas. Itulah garis yang harus dicari, ditemukan dan dicapai oleh penyair lirik yang baik (Disarikan dari buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999).
Selain pendapat di atas, Nirwan Dewanto dalam Membaca Sapardi, (2010), menyatakan bahwa puisi lirik berusaha mengucap seringkas mungkin untuk mencapai kebulatan emosi, namun dalam kebulatan emosi inilah kita justru tak mampu menyarikan isi sajak. Dalam abstraksi, seakan pelbagai citra tak lagi buat dilihat, tapi diraba. Dan kebulatan puisi seringkali berpusat pada imaji tertentu; adapun imaji-imaji lain hanya seolah-olah saja bergerak sendiri-sendiri namun justru memperkuat imaji inti itu. Atau mungkin yang kita dapat dalam asyik masyuk membaca puisi lirik hanya semakin tajamnya kata tertentu.
Dari uraian beberapa pandangan terhadap puisi liris di atas, kiranya dapat menjadi bekal untuk masuk ke dalam puisi “Kabut” milik SS dengan mempertimbangkan aspek bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama serta imaji di dalamnya. Maka mari kita masuki puisi “Kabut” sebagai puisi liris.

Sampai pada Puisi “Kabut”: Akhirnya, Mari Kita Bicara, Iqbal.
            Karena saya berangkat dari catatan Iqbal, maka saya akan menyinggung permasalahan yang saya permasalahkan pada analisa Iqbal dalam sajak “Kabut”.
            Dari catatan Iqbal, disadari atau tidak, Iqbal telah menunjukan bahwa kekuatan utama SS terletak pada penggunaan bahasanya, namun saya tambahkan bahwa keistimewaan sajak “Kabut” juga terdapat dalam kemampuaannya untuk menghadirkan imajinasi dalam puisinya. Berikut ini saya tampilkan ungkapan Iqbal, Kemudian saya mencoba menelaah dari wilayah luarnya. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menarik dari puisi pertama ini; tampak dan sangat terasa jika disimak mata telanjang. Rima-irama. Perhatikan saja contoh puisi yang sudah saya tandai dengan tinta merah. Ada rasa nyaman saat membacanya. Bak permainan rudat, saya ikut dalam langgam rentak rebana. Sungguh membahana. Sule memilih memainkan huruf mati dan memainkannya dengan teliti. T (et). Lafadkan saja puisi Kabutdengan teratur menyesuaikan tipografi yang dikehendaki sang empunya puisi, resapi, rasakan perbedaannya. Menurut saya, keberhasilan puisi Kabut terletak pada permainan bahasa, tepatnya pemanfaatan rima-irama. Perihal makna, saya masih terjebak dalam hipotesa saya pada paragraf-paragraf sebelumnya.Nampak dalam pernyataannya, Iqbal memiliki pandangan yang serupa dengan saya dalam satu wilayah, yakni bahasa. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah, meskipun Iqbal memahami penggunaan bahasa oleh SS dalam sajak tersebut, Iqbal sepertinya tidak sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan puisi liris. Hal itu saya katakan bukan tanpa alasan, karena Iqbal dalam catatannya sekedar menuliskan kekagumannya terhadap penggunaan bahasa SS tanpa memperhatikan adanya imaji yang dibangun dari bahasa-bahasa itu secara diam-diam. Terlebih lagi dengan gegabah Iqbal menyimpulkan atau juga menawarkan kesamaan gaya terhadap puisi SS sebagai puisi mantra. Tentu pernyataan itu perlu dikaji ulang. Balll. Bukan saja pernyataan itu sembrono, Iqbal sama sekali tidak menunjukan bukti yang jelas bahwa puisi SS masyuk dalam puisi mantra, meskipun pernyataannya masih dalam taraf kecurigaan. Mengapa ini harus dilakukan. Karena bagi saya ini penting jika tidak ingin terjebak dalam lubang yang sama. Sebab dengan mengerti jenis puisi, paling tidak kita akan tahu dengan kacamata apa kita akan masuk, membaca dan pada akhirnya meraba-rabanya.
            Lalu, benarkah sajak “Kabut” adalah puisi liris?
            Meneruskan dari pandangan Sapardi Djoko Damono, bahwa puisi liris sejalan dengan tradisi lisan. Ketika bicara soal puisi, sebenarnya yang dibicarakan adalah soal bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama. Kemudian oleh Nirwan Dewanto dalam Membaca Sapardi, (2010), di-nyatakan bahwa puisi lirik berusaha mengucap seringkas mungkin untuk mencapai kebulatan emosi, namun dalam kebulatan emosi inilah kita justru tak mampu menyarikan isi sajak. Dalam abstraksi, seakan pelbagai citra tak lagi buat dilihat, tapi diraba. Dan kebulatan puisi seringkali berpusat pada imaji tertentu; adapun imaji-imaji lain hanya seolah-olah saja bergerak sendiri-sendiri namun justru memperkuat imaji inti itu.
            Dari pengulangan kutipan di atas, nampaknya tidak salah jika saya beranggapan bahwa yang paling utama dalam memahami makna puisi liris cenderung melalui bunyi sajak dan imaji yang dibangunnya. Dua hal itu saling berkaitan, karena dari bunyi bahasa tentu tak akan mengesampingkan mengenai pemenggalan bahasanya, dan dari memahami pemenggalan yang tepatlah imajinasi dalam puisi liris dapat secara lengkap tertangkap. Coba kita simak:
            KABUT

Kabut
siapa yang turun
dia yang merebut dari
orang-orang di sudut seperti badut
tertawa tanpa sebab
menari, tanganya mengepak berharap ke awan

Tidak, itu kabut.

Kabut
siapa yang naik
dia yang merebut dari
saut menyaut
kabar jatuh tepat ke dinding hati yang kabut
yang carut, yang dangdut, yang lembut, sampai
pada cahayamu yang hubbu hamba.

Sampangan 30 April 2014
            Dalam puisi “Kabut” di atas, secara berturut-turut kata kabut muncul dalam setiap bait. Bagi saya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan penulis melalui kata kabut, sehingga penyair merasa perlu untuk sering-sering melafalkannya. Atau barangkali kata kabut sengaja digunakan oleh penyair untuk mengaburkan/ menyamarkan kata kabut, karena menurut saya ada beberapa pemaknaan terhadap kata kabut. Namun, yang paling pokok dalam sajak di atas adalah bagaimana pemahaman kita terhadap kabut sebagai matrix sekaligus sebagai imaji inti.
Dalam puisi di atas, SS seolah ingin menciptakan dirinya sebagai narrator yang menghidupkan percakapan di dalam sajaknya. Ketika membacanya berulang-ulang, seolah ada yang terus bercakap, sekaligus ada yang sedang berseteru, berebut, untuk mengungkapkan “apa itu kabut” yang berkali muncul itu. Ketika diucapkan dengan rima dan irama, terasa sekali kata kabut seolah menjadi semacam penyapaan atau panggilan oleh seseorang di dalam sajak kepada sesuatu yang sifatnya gaib dan tidak nyata yang merujuk pada kabut (di awal sajak) sebagai sesuatu yang kasat mata ketika pagi hari. Ketika suasana begitu kelam dan suram, ketika semua jendela udara masih tertutup rapat oleh gelap, tetapi telah ada yang berbicara risik-risik, entah dengan dirinya sendiri, entah pula dengan “Yang Maha Kabut”. Suara risik-risik, pula percakapan gaib itu seperti tampak dalam baris berikut ini,
Kabut/ siapa yang turun/ dia yang merebut dari/ orang-orang di sudut seperti badut/ tertawa tanpa sebab/ menari, tanganya mengepak berharap ke awan// Tidak, itu kabut. Seseorang di dalam sajak itu seolah bercerita kepada “Kabut”, kemudian berkata bahwa ada “dia” yang “turun” menemui lantas “merebut” hati “orang-orang di sudut”, di pinggiran itu dengan celotehan-celotehan mirip “badut” supaya orang-orang tertarik padanya dan melihat dirinya dengan kegembiraan juga penuh harapan. Tapi akhirnya seolah ada yang berbicara lagi (sebagai suara narrator yang lain), menyangkal dan menerka, bahwa itu kabut: yang kelam dan suram itu, bahwa yang “menari, tanganya mengepak berharap ke awan itu bukan badut, tapi “…itu kabut sesuatu yang suram dan sesaat.
Dilanjutkan dalam bait ketiga, Kabut/ siapa yang naik/ dia yang merebut dari/ saut menyaut/ kabar jatuh tepat ke dinding hati yang kabut/ yang carut, yang dangdut, yang lembut, sampai/ pada cahayamu yang hubbu hamba. Ada penyapaan lagi terhadap “Kabut” secara gaib, sejalan dengan itu, seseorang di dalam sajak memulai bercerita lagi bahwa “dia” yang berhasil “merebut dari/ saut menyaut”-lah yang akan menang dan “naik” menuju singgahsana yang didambanya. Seketika itulah yang terlihat sebagai “kabar” telah sampai dan “jatuh tepat ke dinding hati yang kabut”, ke dalam perasaan yang serba carut, riuh, bahkan pasrah. Sebab seperti keberadaan “kabut” di pagi buta tentu segera akan muncul suatu pagi dengan sinar cahayanya, berupa harapan dari cinta-kasih atas kemurahan-Mu, “…, sampai/ pada cahayamu yang hubbu hamba
***
 Dari penjabaran di atas dapat saya katakan bahwa secara kesatuan puisi, makna “kabut” dapat berupa sapaan kepada Tuhan “Yang Maha Kabut”, yang doa. Juga “kabut” sebagai artian yang lain, yakni yang suram, sementara/ sesaat, serta “kabut” dalam artian perasaan yang kelam, atau tidak jelas.
Selain itu, saya katakan bahwa puisi SS berjudul “Kabut” merupakan puisi liris. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya permainan bunyi yang dimiliki SS, juga penciptaan imaji dalam puisinya yang begitu kental. Oleh karena pemaknaannya pun tak terlepas melewati dari kedua hal itu.
Dalam satu bagian, saya setuju dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa puisi “Kabut” jika dilihat dari situasi pembuatannya (melalui tanggalnya) dan pemaknaan yang sudah dilakukan mengacu pada situasi politik dan pemerintahan yang sedang terjadi.
Tetapi dalam bagian yang lain saya menolak pendapat Iqbal jika “Sule gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya. Seakan, Sule hanya menuliskan mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu maknanya. Persis seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan. Apa yang terjadi selanjutnya!”. Bagi saya, Iqbal kurang teliti dalam menghadapi sajak ini.
Akhirnya, selesai analisa saya. Satu hal, bahwa segala yang masih “kabut” tentu seluruhnya menjadi begitu “kabut”, bahkan dalam hati dan perasaan. Maka pada-Nya lah kita berserah, pada Yang Paling Kabut, Si pemberi cahaya setelah “kabut”!
Salam.

Senin, 5 Mei 2014
Share:

0 komentar:

Posting Komentar