MEMBACA
PUISI SULE SUBAWEH
(TANGGAPAN
TERHADAP CATATAN IQBAL H. SAPUTRA)
Oleh: Angga T Sanjaya
Membaca catatan Iqbal H Saputra
(selanjutnya: Iqbal) terhadap puisi Sule Subaweh (selanjutnya: SS) (khusus sajak “Kabut”),
saya merasakan ketegangan, kecemasan, dan kekhawatiran secara bersamaan-bahkan
berulang-ulang. Mengapa tidak, ada tarik menarik dalam hati terhadap analisa
Iqbal pada puisi SS.
Saya katakan tegang juga cemas, karena apa yang dikatakan Iqbal—dalam hati
saya—cenderung sekedar meng-iyakan, namun sekaligus juga ada
keinginan untuk melawannya. Menurut
saya, di beberapa bagian analisa Iqbal nampak kuat, tapi di lain bagian
analisanya masih begitu samar
. Adakah keberanian untuk melawannya? Saya yakinkan, ada! Karena akhirnya muncul-lah kekhawatiran dalam hati saya, timbul sejalan dengan anggapan saya bahwa Iqbal—berkemungkinan—telah terjebak dalam pemaknaan yang cenderung “sempit” dan mengesampingkan kemungkinan yang lain. Bagaimana tidak, berikut ini saya kutipkan klaim Iqbal terhadap puisi “Kabut”, “Sule gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya.
Seakan, Sule
hanya menuliskan mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu
maknanya. Persis seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan”. Lalu, “Menurut saya, keberhasilan puisi
Kabut terletak pada permainan bahasa, tepatnya pemanfaatan rima-irama. Perihal
makna, saya masih terjebak dalam hipotesa saya pada paragraf-paragraf
sebelumnya”. Apakah keberhasilan puisi SS hanya sampai pada kulit,
dan tak mencapai isi seperti perkataan Iqbal? Ataukah karena memang SS sengaja
membungkusnya dengan rapi. . Adakah keberanian untuk melawannya? Saya yakinkan, ada! Karena akhirnya muncul-lah kekhawatiran dalam hati saya, timbul sejalan dengan anggapan saya bahwa Iqbal—berkemungkinan—telah terjebak dalam pemaknaan yang cenderung “sempit” dan mengesampingkan kemungkinan yang lain. Bagaimana tidak, berikut ini saya kutipkan klaim Iqbal terhadap puisi “Kabut”, “Sule gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya.
Lantas,
apa kemungkinan yang lain itu? Bagaimana bila saya katakan bahwa puisi “Kabut”
adalah puisi lirisme? Maka, adakah kemungkinan itu, Iqbal? Saya rasa Iqbal
telah menjamahnya meski enggan untuk menarik dan menampilkannya. Jikalau
demikian, tentu Iqbal telah melupakan sesuatu yang penting dalam puisi liris. Mari
kita buktikan.
***
Berangkat dari Puisi Lirisme
Semula, ada keraguan untuk memunculkan tema “puisi liris”
dalam analisis terhadap sajak “Kabut” milik SS ini. Bukan saja pemahaman yang cetek terhadap pengertian puisi liris
itu sendiri, tetapi juga kesulitan saya dalam mencari referensi untuk
menjelaskan puisi liris itu. Sekaligus nantinya membuktikan ucapan saya dari
sekedar omong kosong menjadi ada sekaligus nyata. Begitulah. Namun akhirnya setelah
bertemu Membaca Sapardi dan sumber
yang lain, maka terbukalah sedikit demi sedikit kabut—meminjam kata SS—yang
mengurapi pandangan saya terhadap puisi liris. Lalu apa puisi liris itu?
Secara hakikat pengertian puisi liris masih lemah. Dari beberapa sumber
yang saya jumpai, tidak ada yang membahas puisi liris secara detail—mungkin
saja saya yang tak menemukan. Tetapi yang pasti dari pendapat dan pernyataan
beberapa pakar yang saya kutip agaknya dapat membukakan mata kita terhadap apa
yang bernama puisi liris itu.
Menurut Sapardi Djoko Damono, bahwa
puisi liris sejalan dengan tradisi lisan. Ketika bicara soal puisi,
sebenarnya yang dibicarakan adalah soal bunyi, yakni rima, tata kata, dan
irama. Rima yang terdapat dalam
puisi liris, kata Sapardi, juga memudahkan orang melakukan pemenggalan terhadap
penulisan dan pembacaannya (Kirbat Sastra, Tempo Interaktif).
Masih dari Sapardi, menurutnya dua elemen penting dalam sajak lirik adalah
menyatakan perasaan yang samar-samar dan dengan cara yang sederhana
menyatukannya dengan alam sekitar. Kesamar-samaran itu unik, dan dia akan menjadi tidak unik lagi, dan
berhenti sebagai puisi - kalau ia digamblangkan. Penyair harus sadar bahwa sebenarnya perasaan yang
samar-samar itu tidak komunikatif, dan penyair harus mengkomunikasikannya,
dengan bahasa, alat komunikasi. Ujian
bagi penyair lirik: ia mungkin tergelincir ke dalam sajak-sajak gelap,
sajak-sajak yang sama sekali kehilangan kontak dengan pembaca atau ia
menghasilkan sajak yang habis sekali baca bahkan tidak jarang sudah habis
sebelum dibaca sampai terakhir. Penyair
harus meletakkan sajak liriknya tepat pada garis yang memisahkan kedua
kemungkinan tersebut di atas. Itulah garis yang harus dicari, ditemukan dan
dicapai oleh penyair lirik yang baik (Disarikan dari
buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", terbitan Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1999).
Selain pendapat di atas, Nirwan Dewanto dalam Membaca Sapardi, (2010), menyatakan
bahwa puisi lirik berusaha mengucap seringkas mungkin untuk mencapai kebulatan
emosi, namun dalam kebulatan emosi inilah kita justru tak mampu menyarikan isi
sajak. Dalam abstraksi, seakan pelbagai citra tak lagi buat dilihat, tapi diraba.
Dan kebulatan puisi seringkali berpusat pada imaji tertentu; adapun imaji-imaji
lain hanya seolah-olah saja bergerak sendiri-sendiri namun justru memperkuat
imaji inti itu. Atau mungkin yang kita dapat dalam asyik masyuk membaca puisi
lirik hanya semakin tajamnya kata tertentu.
Dari
uraian beberapa pandangan terhadap puisi liris di atas, kiranya dapat menjadi
bekal untuk masuk ke dalam puisi “Kabut” milik SS dengan mempertimbangkan aspek
bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama serta imaji di dalamnya. Maka mari kita
masuki puisi “Kabut” sebagai puisi liris.
Sampai pada Puisi “Kabut”: Akhirnya, Mari Kita Bicara,
Iqbal.
Karena saya berangkat dari catatan Iqbal, maka saya akan
menyinggung permasalahan yang saya permasalahkan pada analisa Iqbal dalam sajak
“Kabut”.
Dari catatan Iqbal, disadari atau tidak, Iqbal telah
menunjukan bahwa kekuatan utama SS terletak pada penggunaan bahasanya, namun
saya tambahkan bahwa keistimewaan sajak “Kabut” juga terdapat dalam
kemampuaannya untuk menghadirkan imajinasi dalam puisinya. Berikut ini saya
tampilkan ungkapan Iqbal, “Kemudian saya mencoba menelaah dari
wilayah luarnya. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menarik dari puisi
pertama ini; tampak dan sangat terasa jika disimak mata telanjang. Rima-irama.
Perhatikan saja contoh puisi yang sudah saya tandai dengan tinta merah. Ada
rasa nyaman saat membacanya. Bak permainan rudat, saya ikut dalam langgam
rentak rebana. Sungguh membahana. Sule memilih memainkan huruf mati dan
memainkannya dengan teliti. T (et). Lafadkan saja puisi Kabutdengan teratur
menyesuaikan tipografi yang dikehendaki sang empunya puisi, resapi, rasakan
perbedaannya. Menurut saya, keberhasilan puisi Kabut terletak pada permainan
bahasa, tepatnya pemanfaatan rima-irama. Perihal makna, saya masih terjebak
dalam hipotesa saya pada paragraf-paragraf sebelumnya.”
Nampak dalam
pernyataannya, Iqbal memiliki pandangan yang serupa dengan saya dalam satu
wilayah, yakni bahasa. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah, meskipun
Iqbal memahami penggunaan bahasa oleh SS dalam sajak tersebut, Iqbal sepertinya
tidak sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan puisi liris. Hal itu saya katakan
bukan tanpa alasan, karena Iqbal dalam catatannya sekedar menuliskan kekagumannya
terhadap penggunaan bahasa SS tanpa memperhatikan adanya imaji yang dibangun
dari bahasa-bahasa itu secara diam-diam. Terlebih lagi dengan gegabah Iqbal
menyimpulkan atau juga menawarkan kesamaan gaya terhadap puisi SS sebagai puisi
mantra. Tentu pernyataan itu perlu dikaji ulang. Balll. Bukan saja pernyataan
itu sembrono, Iqbal sama sekali tidak menunjukan bukti yang jelas bahwa puisi
SS masyuk dalam puisi mantra, meskipun pernyataannya masih dalam taraf
kecurigaan. Mengapa ini harus dilakukan. Karena bagi saya ini penting jika
tidak ingin terjebak dalam lubang yang sama. Sebab dengan mengerti jenis puisi,
paling tidak kita akan tahu dengan kacamata apa kita akan masuk, membaca dan
pada akhirnya meraba-rabanya.
Lalu, benarkah sajak “Kabut” adalah puisi liris?
Meneruskan dari pandangan Sapardi Djoko Damono, bahwa puisi liris sejalan dengan
tradisi lisan. Ketika bicara soal puisi, sebenarnya yang dibicarakan
adalah soal bunyi, yakni rima, tata kata, dan irama. Kemudian oleh Nirwan Dewanto dalam Membaca Sapardi, (2010), di-nyatakan
bahwa puisi lirik berusaha mengucap seringkas mungkin untuk mencapai kebulatan
emosi, namun dalam kebulatan emosi inilah kita justru tak mampu menyarikan isi
sajak. Dalam abstraksi, seakan pelbagai citra tak lagi buat dilihat, tapi
diraba. Dan kebulatan puisi seringkali berpusat pada imaji tertentu; adapun
imaji-imaji lain hanya seolah-olah saja bergerak sendiri-sendiri namun justru
memperkuat imaji inti itu.
Dari pengulangan kutipan di atas, nampaknya tidak salah
jika saya beranggapan bahwa yang paling utama dalam memahami makna puisi liris
cenderung melalui bunyi sajak dan imaji yang dibangunnya. Dua hal itu saling
berkaitan, karena dari bunyi bahasa tentu tak akan mengesampingkan mengenai
pemenggalan bahasanya, dan dari memahami pemenggalan yang tepatlah imajinasi
dalam puisi liris dapat secara lengkap tertangkap. Coba kita simak:
KABUT
Kabut
siapa yang turun
dia yang merebut dari
orang-orang di sudut seperti badut
tertawa tanpa sebab
menari, tanganya mengepak berharap
ke awan
Tidak, itu kabut.
Kabut
siapa yang naik
dia yang merebut dari
saut menyaut
kabar jatuh tepat ke dinding hati
yang kabut
yang carut, yang dangdut, yang
lembut, sampai
pada cahayamu yang hubbu hamba.
Sampangan 30 April 2014
Dalam puisi “Kabut” di
atas, secara berturut-turut kata kabut
muncul dalam setiap bait. Bagi saya ada sesuatu yang penting yang ingin
disampaikan penulis melalui kata kabut, sehingga penyair merasa perlu untuk
sering-sering melafalkannya. Atau barangkali kata kabut sengaja digunakan oleh
penyair untuk mengaburkan/ menyamarkan kata kabut, karena menurut saya ada
beberapa pemaknaan terhadap kata kabut. Namun, yang paling pokok dalam sajak di
atas adalah bagaimana pemahaman kita terhadap kabut sebagai matrix sekaligus
sebagai imaji inti.
Dalam
puisi di atas, SS seolah ingin menciptakan dirinya sebagai narrator yang
menghidupkan percakapan di dalam sajaknya. Ketika membacanya berulang-ulang,
seolah ada yang terus bercakap, sekaligus ada yang sedang berseteru, berebut,
untuk mengungkapkan “apa itu kabut” yang berkali muncul itu. Ketika diucapkan
dengan rima dan irama, terasa sekali kata kabut seolah menjadi semacam
penyapaan atau panggilan oleh seseorang di dalam sajak kepada sesuatu yang
sifatnya gaib dan tidak nyata yang merujuk pada kabut (di awal sajak) sebagai
sesuatu yang kasat mata ketika pagi hari. Ketika suasana begitu kelam dan
suram, ketika semua jendela udara masih tertutup rapat oleh gelap, tetapi telah
ada yang berbicara risik-risik, entah dengan dirinya sendiri, entah pula dengan
“Yang Maha Kabut”. Suara risik-risik, pula percakapan gaib itu seperti tampak
dalam baris berikut ini,
“Kabut/ siapa yang turun/ dia yang merebut dari/ orang-orang di sudut seperti badut/ tertawa tanpa sebab/ menari, tanganya mengepak berharap ke awan// Tidak, itu kabut”. Seseorang di dalam
sajak itu seolah bercerita kepada “Kabut”, kemudian berkata bahwa ada “dia” yang “turun” menemui lantas “merebut”
hati “orang-orang di sudut”, di pinggiran itu
dengan celotehan-celotehan mirip “badut”
supaya orang-orang tertarik padanya dan melihat dirinya dengan kegembiraan juga
penuh harapan. Tapi akhirnya seolah ada yang berbicara lagi (sebagai suara
narrator yang lain), menyangkal dan menerka, bahwa itu kabut: yang kelam dan
suram itu, bahwa yang “menari, tanganya mengepak berharap ke awan” itu bukan badut, tapi “…itu
kabut” sesuatu yang suram
dan sesaat.
Dilanjutkan dalam bait ketiga, “Kabut/
siapa yang naik/ dia yang merebut dari/
saut menyaut/ kabar jatuh tepat ke dinding hati yang kabut/ yang
carut, yang dangdut, yang lembut, sampai/ pada
cahayamu yang hubbu hamba”. Ada penyapaan lagi terhadap
“Kabut” secara gaib, sejalan dengan itu, seseorang di dalam sajak memulai bercerita
lagi bahwa “dia” yang berhasil “merebut dari/ saut menyaut”-lah yang
akan menang dan “naik” menuju
singgahsana yang didambanya. Seketika itulah yang terlihat sebagai “kabar” telah sampai dan “jatuh tepat ke dinding hati yang kabut”, ke dalam perasaan yang serba
carut, riuh, bahkan pasrah. Sebab seperti keberadaan “kabut” di pagi buta tentu segera akan muncul suatu pagi dengan
sinar cahayanya, berupa harapan dari cinta-kasih atas kemurahan-Mu, “…, sampai/
pada cahayamu yang hubbu hamba”
***
Dari
penjabaran di atas dapat saya katakan bahwa secara kesatuan puisi, makna
“kabut” dapat berupa sapaan kepada Tuhan “Yang Maha Kabut”, yang doa. Juga
“kabut” sebagai artian yang lain, yakni yang suram, sementara/ sesaat, serta
“kabut” dalam artian perasaan yang kelam, atau tidak jelas.
Selain
itu, saya katakan bahwa puisi SS berjudul “Kabut” merupakan puisi liris. Hal
itu dapat diketahui dari banyaknya permainan bunyi yang dimiliki SS, juga
penciptaan imaji dalam puisinya yang begitu kental. Oleh karena pemaknaannya
pun tak terlepas melewati dari kedua hal itu.
Dalam
satu bagian, saya setuju dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa puisi
“Kabut” jika dilihat dari situasi pembuatannya (melalui tanggalnya) dan
pemaknaan yang sudah dilakukan mengacu pada situasi politik dan pemerintahan
yang sedang terjadi.
Tetapi
dalam bagian yang lain saya menolak pendapat Iqbal jika “Sule gagal menggiring pembaca
(minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring
olehnya untuk merasai apa yang dirasainya. Seakan, Sule hanya menuliskan
mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu maknanya. Persis
seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan. Apa yang terjadi
selanjutnya!”. Bagi
saya, Iqbal kurang teliti dalam menghadapi sajak ini.
Akhirnya,
selesai analisa saya. Satu hal, bahwa segala yang masih “kabut” tentu
seluruhnya menjadi begitu “kabut”, bahkan dalam hati dan perasaan. Maka
pada-Nya lah kita berserah, pada Yang Paling Kabut, Si pemberi cahaya setelah
“kabut”!
Salam.
Senin, 5 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar