Sabtu, 31 Mei 2014

ESAI "DONGENG PENGANTAR TIDUR"



(Sajak “Igatan”)


Membaca puisi Angga Trio Sanjaya (selanjutnya: Angga) saya seperti seorang anak yang sedang dininabobokan.Puisi angga seperti story telling, hanya bercerita tentang suatu peristiwa atau kejadian yang pernah dialami oleh “aku lirik”, atau mungkin juga dialami oleh penulis sendiri. Kita sebagai pembaca tidak tahu apakah itu merupakan suatu pengalaman pribadi yang diungkapkan dalam bentuk puisi atau sekedar unek-unek yang dituliskan, hanya Tuhan dan penulis yang tahu.
Secara umum, puisi
dikatakan baik jika dilihat dalam pengertian bahwa puisi adalah sebuah karya yang merupakan ekspresi penyair terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Akan tetapi puisi Angga cenderung berbentuk curahan hati penyair yang berisi luapan emosional. Gagasan yang dituangkan penyair dalam puisinya hanya berupa luapan ekspresional perasaan(kesendirian, kesepian, kerinduan). Seolah-olah diciptakan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga rasa “kepemilikan” pembaca kurang begitu kuat.

Mari kita operasi sajak “Ingatan”.

INGATAN
Angga Trio Sanjaya

(1)   kita melewati lorong ini masuki ceruk-ceruk sepi
seketika tercium pesing dari cucuran letih waktu
meraba lekuk kota dengan tangan-tangan birahi
dalam jari-jarinya detik-detik gemetar
bagai ciuman lembut menyikap pekat pada selangkangan gelap.
kudengar malam lalu mengerang, siapa beradu dengan rintih kuda
sewaktu pasar  kembang senantiasa terjaga dalam dada,
di sini kesepian sempurna menjelma tangan
menikam tubuh sendiri. kita terperangah, sorot kota
meratap tajam dengan sebilah air mata di hari buta yang anyir itu
inilah kesepian yang tak selesai ditaklukkan, katamu,
di antara ketakutan yang duduk sendirian
dalam igauan pertemuan dan perjamuan

Bait pertama, kesepianàdeskripsi keadaanàpenegasan sepi.
Bait pertama “aku lirik” bercerita tentang /kita melewati lorong ini masuki ceruk-ceruk sepi/, sedangkan baris kedua sampai ketujuh hanya mendeskripsikan tentang keadaan sepi pada baris pertama. Dari baris ke delapan muncul lagi kesepian /di sini kesepian sempurna menjelma tangan/, yang keadaannya ditegaskan oleh baris kesembilan dan kesepuluh. Selanjutnya baris kesebelas sesampainya akhir bait lebih memperjelas lagi bagaimana keadaan sepi dari baris-baris sebelumnya /inilah kesepian yang tak selesai ditaklukkan, katamu,/, /di antara ketakutan yang duduk sendirian/, /dalam igauan pertemuan dan perjamuan/.

(2)   kita melewati lorong ini meratapi kota kita
ketika nama-nama dan sederet peristiwa berlepasan
seperti lembar pakaian yang berhamburan di sepanjang jalan
maka nampak dekap hari-hari busuk menggumpal
dalam gairah mimpi dan hempasan waktu
kita menikmati semuanya layaknya peziarah tak usai melepas
jiwanya sebagai lampu-lampu jalan yang dilucuti muram
mendadak kita rasakan perih, kata-kata mengeluarkan bau bacin
memenuhi seluruh ruang mata dan bibir
mendapati amis farfum di ketiak hotel dan kecut keringat malam hari
berhamburan bersama bangkai burung-burung gereja yang terkapar
dalam baris puisi. lalu kudengar keloneng sunyi hati kita
menyisir trotoar terhimpit ceriwis kaki lima dan makian di jalanan
kota ini, katamu, kota yang dibangun dari kecemasan
dan kehilangan menderu sepanjang jalan

Bait kedua, penegasan kenangan yang menyakitkan (rasa perih).
Melanjutkan pada bait kedua, keadaannya masih sama “aku lirik” bercerita tentang peristiwa atau kejadian yang pernah dialami dengan seseorang.Baris kedua sesampainya penutup bait masih berkutat pada deskripsi keadaan dan penegasannya, akan tetapi diselipi sedikit rasa perih yang dialami “aku lirik”.

(3)   kita melewati lorong ini menapaki taun-taun sepanjang rel
kereta datang kereta pergi membawa berlaju kenangan
ketika kepedihan bagai teriakan peluit dan bunyi sirine pemberhentian
berebut masuk pada luka telinga.
di sini tak nampak seperti makam, katamu
tempat pejalan singgah mencatat peristiwa dan kejadian
di antara waktu yang berlari bersama suara parau lokomotif
hari yang bergegas pergi memasuki esok tanpa ingatan
bayang bayang kita, wajah yang senantiasa melupakan dan dilupakan

Bait ketiga, penegasan banyak kenangan.
Sampai pada bait ketiga “aku lirik” masih bercerita, kali ini tentang banyaknya kenangan yang telah dialaminya dalam waktu yang tidak singkat /kita melewati lorong ini menapaki taun-taun sepanjang rel/. Dari baris kedua sampai kedelapan terlihat jelas bagaimana penegasan kenangan-kenangan dan peristiwa yang kemudian berakhir dengan perpisahan /senantiasa melupakan dan dilupakan/.

(4)   aku melewati lorong sebuah kota bersamamu,
membaca jejak-jejak kusut yang tertanggal di persimpangan
seusai bus yang berganti warna membawa penyair pulang ke seberang
ketika lembar kertas tak lagi mampu menampung sajak sedu mereka
dan berpuntung rindu yang ditinggalkan bersisa hisapan mulut
bertebaran dan lekas padam dalam dada kita,
kau menunjuk asap-asap itu, sambil membau perih manusia kita
yang pergi melucuti kesepiannya.
sesaat berbicara kita tentang waktu, jalan setapak di depan
dan kubur-kubur yang tak harus selalu kita ziarah setiap kali
sewaktu terkenang laju dalam matamu, tak henti menyapa
kita akan tiba di mana, dalam perjalanan yang tua

Bait keempat, mengingat (Ingatan) kembali kenangan, akankah “aku lirik” bertemu lagi dengan seseorang yang dirindukannya, dalam kesepian dan rasa perih?dimana mereka akan bertemu dan kapan?waktu tua kah?
Pada bait yang terakhir ini bagaimana penghabisan “aku lirik” dalam menceritakan pengalamannya atau mungkin juga “ingatannya” (berkaitan dengan judul). Kejadiannya pada “lorong” dan “kota”, seperti yang dituliskan dalam setiap awal bait. Apakah bait terakhir ini merupakan klimaks dari bait-bait sebelumnya. “Aku lirik” terlihat pasrah dengan keadaan yang ada, ia hanya bisa mengenang peristiwa yang telah terjadi.
Seperti cuplikan lirik lagu dangdut:
kini tinggal aku sendiri
hanya berteman dengan sepi
menanti dirimu kembali
wouwoooww
            Inikah akhir dari sajak “ingatan”? yang hanya bercerita tentang suatu peristiwa yang dialami oleh “aku lirik”. Lantas apa yang ingin ditawarkan?hiburan kah?cerita atau dongeng?

Sebagai penikmat maupun penulis sastra, untuk mendalami sebuah karya kita harus mengetahui fungsi sastra sebagai dulce et utileseperti yang dikemukakan oleh Horace (dalam Wellek dan Warren, 2014: 292) yang dapat diterjemahkan sebagai “hiburan” dan “ajaran”, atau “main” dan “kerja”, atau “nilai terminal” dan ”nilai instrumental”, atau “seni” dan “propaganda”.
Pertama, berkaitan dengan dulce.
Kehadiran sastra dikatakan menghibur karena sastra menjawab kebutuhan emosional manusia (pembaca) entah tentang kebahagiaan, kesepian, kerinduan maupun tentang air mata dan kesakitan. Berhadapan (membaca) dengan karya sastra kita tidak hanya diantar masuk untuk  turut berperan dalam menghidupkan kata, tetapi juga memberi jarak sejenak kepada kita untuk mengagumi keindahan dan keelokan pelukisannya.Karena sifatnya yang hanya menghibur, kehadiran karya sastra kurang memberi kedekatan yang intim dengan penikmatnya. Seperti dijelaskan di atas, bait demi bait sajak “ingatan” yang ditulis oleh Angga hanya bercerita, menggambarkan atau mendeskripsikan suatu keadaan (kesepian).

Kedua, berkaitan dengan utile.
Selain menghibur karya sastra harus mempunyai pesan atau amanat. Intimitas antara karya sastra dengan penikmatnya akan menuju level lebih dalam jika (pembaca) mampu menangkap sesuatu yang “terselubung”. Sesuatu yang “terselubung” itu bisa berupa nilai-nilai sosial, moral, pendidikan, budaya, religius dan yang lainnya. Di dalam sajak “ingatan” saya sebagai pembaca belum menemukan pesan “terselubung” itu.
Sejatinya, tidak menjadi persoalan ketika penyair menulis puisi yang mencerminkan curahan hatinya. Namum alangkah lebih baik jika curahan itu melewati proses kontemplasi yang dalam, sehingga muncul nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pembaca. Pengaruh itu bisa berupa perubahan pola pikir, maupun suatu tindakan. Jangan hanya meninabobokan pembaca dengan keindahan-keindahan.
Meminjam kata-kata Suwardi Endraswara dalam buku “Teori Kritik Sastra (prinsip, falsafah, dan penerapan)” (2013: 5), bahwa kritik sastra selain seperti peluru, juga ibarat jarum suntik seorang dokter. Kritik sastra suatu ketika juga menjadi obat pasien (pengarang) yang karyanya mungkin terkena penyakit.
Semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat bagi teman-teman, apabila ada kekurangan dan kesalahan harap dimaafkan. Teruntuk pengarang (Angga) semoga menjadi masukan untuk berkarya lebih baik.
Salam uhui.

Yogyakarta, 25 Mei 2014.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar