Dalam
sajak mari kita bicara karya Sule
Subaweh saya lebih tertarik membahas simbol kaki
yang digunakan penyair. Dilihat dari sudut pandang perspektif saya, sajak tersebut
memang menarik untuk dikaji. Mungkin karena keterbatasan saya dalam meneroka
dan mencoba menafsirkan yang dalam perjalanannya mengalami kendala yang
berarti, saya juga tidak berusaha menutup mata dan telinga yang muaranya berkorelasi
dengan kapabilitas
saya yang kurang mumpuni. Inilah proses, tentu sebuah ekspektasi yang tinggi jika kedepan bisa lebih waras dan mencapai titik kulminasi. Bagi saya memang cukup njlimeti. Akan tetapi saya berusaha mengupas dan menguliti hal-hal yang tersirat/ transendental (abstrak) dalam sajak tersebut, tentu sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.
saya yang kurang mumpuni. Inilah proses, tentu sebuah ekspektasi yang tinggi jika kedepan bisa lebih waras dan mencapai titik kulminasi. Bagi saya memang cukup njlimeti. Akan tetapi saya berusaha mengupas dan menguliti hal-hal yang tersirat/ transendental (abstrak) dalam sajak tersebut, tentu sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.
Bahasa
dalam karya sastra utamanya karya puisi memiliki kedudukan dan peranan yang
amat penting. Teew (1988: 1) mengemukakan bahwa pada hakikatnya penyair dalam
ekspresi pengenalan jiwanya harus dapat menggunakan bahasa utamanya kosakata. Dengan
menguasai bahasa seorang penyair tidak saja mampu mengungkapkan suatu gagasan
dengan gaya bahasa yang elegan, tapi ia juga mampu menunjukan idealismenya
dengan ungkapan kata-kata yang indah. Menurut hemat saya, cipta sastra
bertalian erat dengan kecenderungan masing-masing penyair dalam berekspresi. Tersebab
setiap penyair dalam membuat puisi pastilah akan memperlihatkan ciri-ciri
tersendiri yang membedakan penyair
tersebut dengan penyair lainnya.
Kemudian
bicara mengenai simbol. Asal kata simbol (symbol) berasal dari bahasa yunani,
yaitu symballein yang berarti melontar bersama (Hadi W.M, 2001: 89). Sedengan
Paul Riceour menilai bahwa simbol mengandung pemikiran. Riceour (2002: 125)
mengatakan bahwa simbol ditengarai secara memadai melalui “bahasa imajiner”
sehingga memungkinkan adanya suatu corak yang secara seksama dicangkup para
pemikir konseptual. Pemakaian simbol di dalam puisi terjadi karena adanya
bahasa kiasan (bentuk analogi,-pen) seperti metonimi, metafora ataupun personifikasi
(Wachid B. S., 2002: 105). Simbol lebih dekat kepada konstelasi kehidupan,
perasaan dan alam yang bertahan lama sehingga simbol tidaklah mati, hanya
ditransformasikan ke dalam bahasa yang lebih sempit, sedangkan metafora diambil
dan diterima oleh komunikasi linguistik yang memungkinkannya untuk mati
(Riceour, 2002: 139).
Dalam
sajak yang berjudul mari kita bicara
karya Sule Subaweh, pada baris pertama “Ayo kita bicara tentang kaki “. Kaki pada hakikatnya merupakan salah satu anggota tubuh hewan
atau manusia yang digunakan untuk berjalan. Kaki sendiri terdiri dari beberapa
bagian, termasuk telapak kaki, sendi yang bekerja dalam suatu kesatuan terpadu
sehingga memungkinkan bagi inang untuk berjalan. Dalam hal ini kaki merupakan sebuah perasaan,
keangkuhan dan ketamakan manusia. Disini perasaan lah yang digunakan untuk
menopang segala sifat, sikap dan tindakan manusia, seperti kaki yang menopang
tubuh manusia. Pada baris pertama, Ayo
kita bicara tentang kaki, yang terlalu jauh melangkah, melangkah-langkahi.
Dalam baris tersebut penyair mencoba mengajak manusia untuk mawas diri, yang telah
bertindak semaunya. Pada baris kedua, Ayo
kita bicara tentang pikiran, Yang berputar di langit, Memutar-mutar hati ke
ujung kaki. Disini penyair mengajak manusia untuk berfikir, merenungkan,
segala sesuatu yang telah dilakukannya. Pada baris ketiga, Mari kita bicara hati, Yang tak hati-hati, Mengatur isi bumi di atas
kaki, Membujuk kita pada kedalaman, Lubang tanah yang dikeruk sendiri. Pada
baris ini penyair mengajak untuk saling menjaga keselarasan hidup antar umat
manusia.
Demikian
pemaknaan yang dapat saya berikan. Terus berkarya untuk Indonesia!
Salam
satu jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar