Sabtu, 31 Mei 2014

ESAI "SIMBOL KAKI DALAM SAJAK MARI KITA BICARA KARYA SULE SUBAWEH"




Dalam sajak mari kita bicara karya Sule Subaweh saya lebih tertarik membahas simbol kaki yang digunakan penyair. Dilihat dari sudut pandang perspektif saya, sajak tersebut memang menarik untuk dikaji. Mungkin karena keterbatasan saya dalam meneroka dan mencoba menafsirkan yang dalam perjalanannya mengalami kendala yang berarti, saya juga tidak berusaha menutup mata dan telinga yang muaranya berkorelasi dengan kapabilitas
saya yang kurang mumpuni. Inilah proses, tentu sebuah ekspektasi yang tinggi jika kedepan bisa lebih waras dan mencapai titik kulminasi. Bagi saya memang cukup njlimeti. Akan tetapi saya berusaha mengupas dan menguliti hal-hal yang tersirat/ transendental (abstrak) dalam sajak tersebut, tentu sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. 

Bahasa dalam karya sastra utamanya karya puisi memiliki kedudukan dan peranan yang amat penting. Teew (1988: 1) mengemukakan bahwa pada hakikatnya penyair dalam ekspresi pengenalan jiwanya harus dapat menggunakan bahasa utamanya kosakata. Dengan menguasai bahasa seorang penyair tidak saja mampu mengungkapkan suatu gagasan dengan gaya bahasa yang elegan, tapi ia juga mampu menunjukan idealismenya dengan ungkapan kata-kata yang indah. Menurut hemat saya, cipta sastra bertalian erat dengan kecenderungan masing-masing penyair dalam berekspresi. Tersebab setiap penyair dalam membuat puisi pastilah akan memperlihatkan ciri-ciri tersendiri yang  membedakan penyair tersebut dengan penyair lainnya.
Kemudian bicara mengenai simbol. Asal kata simbol (symbol) berasal dari bahasa yunani, yaitu symballein yang berarti melontar bersama (Hadi W.M, 2001: 89). Sedengan Paul Riceour menilai bahwa simbol mengandung pemikiran. Riceour (2002: 125) mengatakan bahwa simbol ditengarai secara memadai melalui “bahasa imajiner” sehingga memungkinkan adanya suatu corak yang secara seksama dicangkup para pemikir konseptual. Pemakaian simbol di dalam puisi terjadi karena adanya bahasa kiasan (bentuk analogi,-pen) seperti metonimi, metafora ataupun personifikasi (Wachid B. S., 2002: 105). Simbol lebih dekat kepada konstelasi kehidupan, perasaan dan alam yang bertahan lama sehingga simbol tidaklah mati, hanya ditransformasikan ke dalam bahasa yang lebih sempit, sedangkan metafora diambil dan diterima oleh komunikasi linguistik yang memungkinkannya untuk mati (Riceour, 2002: 139).
Dalam sajak yang berjudul mari kita bicara karya Sule Subaweh, pada baris pertama “Ayo kita bicara tentang kaki . Kaki pada hakikatnya merupakan salah satu anggota tubuh hewan atau manusia yang digunakan untuk berjalan. Kaki sendiri terdiri dari beberapa bagian, termasuk telapak kaki, sendi yang bekerja dalam suatu kesatuan terpadu sehingga memungkinkan bagi inang untuk berjalan. Dalam hal ini kaki merupakan sebuah perasaan, keangkuhan dan ketamakan manusia. Disini perasaan lah yang digunakan untuk menopang segala sifat, sikap dan tindakan manusia, seperti kaki yang menopang tubuh manusia. Pada baris pertama, Ayo kita bicara tentang kaki, yang terlalu jauh melangkah, melangkah-langkahi. Dalam baris tersebut penyair mencoba mengajak manusia untuk mawas diri, yang telah bertindak semaunya. Pada baris kedua, Ayo kita bicara tentang pikiran, Yang berputar di langit, Memutar-mutar hati ke ujung kaki. Disini penyair mengajak manusia untuk berfikir, merenungkan, segala sesuatu yang telah dilakukannya. Pada baris ketiga, Mari kita bicara hati, Yang tak hati-hati, Mengatur isi bumi di atas kaki, Membujuk kita pada kedalaman, Lubang tanah yang dikeruk sendiri. Pada baris ini penyair mengajak untuk saling menjaga keselarasan hidup antar umat manusia.
Demikian pemaknaan yang dapat saya berikan. Terus berkarya untuk Indonesia!
Salam satu jiwa.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar