MEMBAHAS
PUISI CAHAYA TUBUH KARYA WIDI
PRASETYO
Puisi adalah
seni berbahasa. Tetapi belakangan ini yang muncul adalah bukan lagi tentang
(hanya) seni memainkan bahasa, melainkan bagaimana puisi sampai kepada pembaca
tetapi tetap membawa pesan di dalamnya melalui bahasa yang tidak rumit dan enak
untuk dibaca. Apakah puisi yang rumit tidak bisa menyampaikan makna? Bisa saja,
tetapi pembaca-pembaca awam yang belum mengerti puisi bisa saja kebingungan dan
sulit menerjemahkan puisi
ini akan menyampaikan dan ditujukan untuk siapa pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk apa memainkan bahasa, kaya akan imaji tetapi puisi yang dilahirkan hampa pesan? Puisi yang sulit untuk diterjemahkan ada dua yaitu pertama puisinya memang sulit untuk diterjemahkan dan yang kedua puisi itu amburadul sehingga tidak bisa diterjemahkan.
ini akan menyampaikan dan ditujukan untuk siapa pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk apa memainkan bahasa, kaya akan imaji tetapi puisi yang dilahirkan hampa pesan? Puisi yang sulit untuk diterjemahkan ada dua yaitu pertama puisinya memang sulit untuk diterjemahkan dan yang kedua puisi itu amburadul sehingga tidak bisa diterjemahkan.
Di sini apakah
puisi-puisi dari Widi Prasetyo (selaanjutnya Widi) masuk dalam krieria pertama
atau ke dua mari kita telisik lebih jauh!
Cahaya Tubuh
Di
tempat tak sebarapa itu,
ladang cahaya bermukim.
Di
tempat tak sebarapa itu,
berterbangan
doa-doa suci menuju pusat keabadian.
Di
tempat tak sebarapa itu,
umbu bersemayang.
Duduk
bersila menjadi etika bertamu
Dan
sunyi yang membawa hati takut
akan
tak kuat menerima cahaya itu masuk
Tapi…
Keiklasan
dan ketenangan dapat kurangkul cahaya itu
Mata
terpejam cahaya berkeliaran bebas,
tapi
berat ditarik
Nafas
terjaga dan kosentrasi
Kenikmatan
tersendiri
Lembut,
tentram, damai
Menyatulah cahaya maha cahaya manugaling Gusti
Tegal
gendu, 16 September 2013
Puisi yang dibuat di tahun 2013 itu apakah bisa
dikatakan mempunyai makna?
Di
tempat tak sebarapa itu
ladang
cahaya bermukim.
Di
tempat tak sebarapa itu,
berterbangan
doa-doa suci menuju pusat keabadian.
Pada penggalan bait ini Widi mencoba
menyampaikan bahwa di tempat yang tidak seberapa ladang cahaya bermukim serta
doa yang suci berterbangan menuju yang khalik sang maha abadi. Tetapi dalam
bait ini seberapa pentingkah kata ‘di tempat tak seberapa itu’sampai diulang-diulang
kembali toh sudah sangat jelas dan gamblang, pada bait ini.
Kemudian
pada bait ini : Di tempat tak sebarapa
itu/ umbu bersemayang// Duduk bersila
menjadi etika bertamu/ dan sunyi yang membawa hati takut / akan tak kuat
menerima cahaya itu masuk// pada bait ini saya merasa sukar menelaahnya karena
kalimat yang dibangun meloncat dari bait yang pertama, dan loncatan yang Widi
buat tidak berhasil. Pada baris yang pertama muncul kata ‘umbu’ atau dalam KBBI
berarti um·bu
[1] n leluhur; nenek moyang, dan um·bu [2] n gelar bangsawan Sumba. Di sini apakah Widi
menggunakan kata ‘umbu’ yang memiliki arti pertama atau umbu yang dimaksudkan
adalah untuk menunjuk seorang bangsawan dari Sumba? Apakah justru kata ‘umbu’
itu sebuah nama orang yang digambarkan oleh Widi berada di tempat yang tidak
seberapa, tempat yang tak mewah, semacam tempat peribadatan di mana doa-doa
suci dipanjatakan kepada Tuhan yang maha kekal. Kemudian setelah itu muncul
kata Duduk bersila menjadi etika bertamu/ ini yang saya katakan Widi gagal
membangun kolerasi dari baris pertama sampai baris yang terahir saya cantumkan.
Kereligiusan dari puisi ini kurang sampai kepada greget makna, malah puisi ini
terkesan membingungkan dan apa yang Widi tawarkan dalam puisinya tidak jelas. Dan
sunyi yang membawa hati takut/ akan tak kuat menerima cahaya itu masuk// pada
baris ini juga masih belum jelas apa yang ia maksudkan, bisa kita lihat baris
ini kegagalan Widi membangun imaji sangatlah nampak jelas. Widi berusaha
memunculkan ketakutan di sini, tetapi ketakutan yang seperti apa? Sehingga
membuat cahaya yang dianalogikan Widi sebagai zat yang suci seperti doa tidak
bisa masuk pada diri yang ditakuti oleh sunyi. Menurut saya Widi kurang
memepertimbangkan diksi, juga puisi Widi ini tidak melalui tahap revisi yang
ketat padahal puisi ini dibuat sekitar delapan bulan yang lalu. Di sini nampak
kalau Widi jarang membaca dan menulis sehingga kata-kata yang ia gunakan
itu-itu saja. Widi berusaha memunculkan nilai-nilai keagamaan dalam puisinya,
tetapi susunan puisi yang ia bentuk menggagalkan keseluruhan makna yang akan
disampaikannya. Kesalahan-kesalahan serupa juga masih banyak yang nampak pada
puisi-puisi Widi ini bukan hanya pada pemaknaan yang tidak sampai, tetapi ada
pada penulisannya, banyak EYD yang salah, ada beberapa kata yang kurang lengkap
ini kemungkinan diakibatkan proses revisi yang kurang.
Tapi…/Keiklasan
dan ketenangan dapat kurangkul cahaya itu/ Mata terpejam cahaya berkeliaran
bebas/ tapi berat ditarik/ Nafas terjaga dan kosentrasi /Kenikmatan tersendiri/
Lembut, tentram, damai /Menyatulah cahaya maha cahaya manugaling Gusti// dalam
bait ini juga ada kata yang kurang lengkap, serta pemilihan diksi yang kurang
tepat, di sini bait ini kemungkinan sebuah ritual keagamaan dengan hati yang
tenang tetapi cara penulisannya layaknya instruksi senam ibu-ibu hamil. Dan
manugaling gusti adalah Manunggaling kawula gusti syeh siti jenar? Apakah Widi
paham apa itu manunggaling kawula gusti itu? Karena baris-baris sebelumnya
seperti merujuk pada manunggaling kawula gusti. Dan sunyi yang membawa hati
takut/ akan tak kuat menerima cahaya itu masuk// cahaya di sini adalah doa-doa
atau bisa juga di sebut Tuhan karena orang yang ketakutan karena sunyi tidak
kuat menerima Tuhan masuk, dan oang itu harus mempunyai sifat ikhlas dan
ketenangan sehingga cahaya (Tuhan) bisa sampai masuk kedalamnya sehingga orang
itu bisa moksa atau menyatu dengan Tuhan. Tetapi makna yang sampaikan ini saya
paksakan karena mungkin karena salah tulis yang seharusnya Manunggaling Kawula
Gusti menjadi Manugaling gusti yang bisa saja diartikan berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar