Sabtu, 31 Mei 2014

ESAI "PUISI YANG SULIT DITERJEMAHKAN"



MEMBAHAS PUISI CAHAYA TUBUH KARYA WIDI PRASETYO

Puisi adalah seni berbahasa. Tetapi belakangan ini yang muncul adalah bukan lagi tentang (hanya) seni memainkan bahasa, melainkan bagaimana puisi sampai kepada pembaca tetapi tetap membawa pesan di dalamnya melalui bahasa yang tidak rumit dan enak untuk dibaca. Apakah puisi yang rumit tidak bisa menyampaikan makna? Bisa saja, tetapi pembaca-pembaca awam yang belum mengerti puisi bisa saja kebingungan dan sulit menerjemahkan puisi
ini akan menyampaikan dan ditujukan untuk siapa pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk apa memainkan bahasa, kaya akan imaji tetapi puisi yang dilahirkan hampa pesan? Puisi yang sulit untuk diterjemahkan ada dua yaitu pertama puisinya memang sulit untuk diterjemahkan dan yang kedua puisi itu amburadul sehingga tidak bisa diterjemahkan.
Di sini apakah puisi-puisi dari Widi Prasetyo (selaanjutnya Widi) masuk dalam krieria pertama atau ke dua mari kita telisik lebih jauh!


Cahaya Tubuh
Di tempat tak sebarapa itu,
 ladang cahaya bermukim.
Di tempat tak sebarapa itu,
berterbangan doa-doa suci menuju pusat keabadian.
Di tempat tak sebarapa itu,
 umbu bersemayang.
Duduk bersila menjadi etika bertamu
Dan sunyi yang membawa hati takut
akan tak kuat menerima cahaya itu masuk
Tapi…
Keiklasan dan ketenangan dapat kurangkul cahaya itu
Mata terpejam cahaya berkeliaran bebas,
tapi berat ditarik
Nafas terjaga dan kosentrasi
Kenikmatan tersendiri
Lembut, tentram, damai
Menyatulah  cahaya maha cahaya manugaling Gusti

Tegal gendu, 16 September 2013


Puisi yang dibuat di tahun 2013 itu apakah bisa dikatakan mempunyai makna?
Di tempat tak sebarapa itu
ladang cahaya bermukim.
Di tempat tak sebarapa itu,
berterbangan doa-doa suci menuju pusat keabadian.
            Pada penggalan bait ini Widi mencoba menyampaikan bahwa di tempat yang tidak seberapa ladang cahaya bermukim serta doa yang suci berterbangan menuju yang khalik sang maha abadi. Tetapi dalam bait ini seberapa pentingkah kata ‘di tempat tak seberapa itu’sampai diulang-diulang kembali toh sudah sangat jelas dan gamblang, pada bait ini.
Kemudian pada bait ini  : Di tempat tak sebarapa itu/  umbu bersemayang// Duduk bersila menjadi etika bertamu/ dan sunyi yang membawa hati takut / akan tak kuat menerima cahaya itu masuk// pada bait ini saya merasa sukar menelaahnya karena kalimat yang dibangun meloncat dari bait yang pertama, dan loncatan yang Widi buat tidak berhasil. Pada baris yang pertama muncul kata ‘umbu’ atau dalam KBBI berarti um·bu [1] n leluhur; nenek moyang, dan um·bu [2] n gelar bangsawan Sumba. Di sini apakah Widi menggunakan kata ‘umbu’ yang memiliki arti pertama atau umbu yang dimaksudkan adalah untuk menunjuk seorang bangsawan dari Sumba? Apakah justru kata ‘umbu’ itu sebuah nama orang yang digambarkan oleh Widi berada di tempat yang tidak seberapa, tempat yang tak mewah, semacam tempat peribadatan di mana doa-doa suci dipanjatakan kepada Tuhan yang maha kekal. Kemudian setelah itu muncul kata Duduk bersila menjadi etika bertamu/ ini yang saya katakan Widi gagal membangun kolerasi dari baris pertama sampai baris yang terahir saya cantumkan. Kereligiusan dari puisi ini kurang sampai kepada greget makna, malah puisi ini terkesan membingungkan dan apa yang Widi tawarkan dalam puisinya tidak jelas. Dan sunyi yang membawa hati takut/ akan tak kuat menerima cahaya itu masuk// pada baris ini juga masih belum jelas apa yang ia maksudkan, bisa kita lihat baris ini kegagalan Widi membangun imaji sangatlah nampak jelas. Widi berusaha memunculkan ketakutan di sini, tetapi ketakutan yang seperti apa? Sehingga membuat cahaya yang dianalogikan Widi sebagai zat yang suci seperti doa tidak bisa masuk pada diri yang ditakuti oleh sunyi. Menurut saya Widi kurang memepertimbangkan diksi, juga puisi Widi ini tidak melalui tahap revisi yang ketat padahal puisi ini dibuat sekitar delapan bulan yang lalu. Di sini nampak kalau Widi jarang membaca dan menulis sehingga kata-kata yang ia gunakan itu-itu saja. Widi berusaha memunculkan nilai-nilai keagamaan dalam puisinya, tetapi susunan puisi yang ia bentuk menggagalkan keseluruhan makna yang akan disampaikannya. Kesalahan-kesalahan serupa juga masih banyak yang nampak pada puisi-puisi Widi ini bukan hanya pada pemaknaan yang tidak sampai, tetapi ada pada penulisannya, banyak EYD yang salah, ada beberapa kata yang kurang lengkap ini kemungkinan diakibatkan proses revisi yang kurang.
Tapi…/Keiklasan dan ketenangan dapat kurangkul cahaya itu/ Mata terpejam cahaya berkeliaran bebas/ tapi berat ditarik/ Nafas terjaga dan kosentrasi /Kenikmatan tersendiri/ Lembut, tentram, damai /Menyatulah  cahaya maha cahaya manugaling Gusti// dalam bait ini juga ada kata yang kurang lengkap, serta pemilihan diksi yang kurang tepat, di sini bait ini kemungkinan sebuah ritual keagamaan dengan hati yang tenang tetapi cara penulisannya layaknya instruksi senam ibu-ibu hamil. Dan manugaling gusti adalah Manunggaling kawula gusti syeh siti jenar? Apakah Widi paham apa itu manunggaling kawula gusti itu? Karena baris-baris sebelumnya seperti merujuk pada manunggaling kawula gusti. Dan sunyi yang membawa hati takut/ akan tak kuat menerima cahaya itu masuk// cahaya di sini adalah doa-doa atau bisa juga di sebut Tuhan karena orang yang ketakutan karena sunyi tidak kuat menerima Tuhan masuk, dan oang itu harus mempunyai sifat ikhlas dan ketenangan sehingga cahaya (Tuhan) bisa sampai masuk kedalamnya sehingga orang itu bisa moksa atau menyatu dengan Tuhan. Tetapi makna yang sampaikan ini saya paksakan karena mungkin karena salah tulis yang seharusnya Manunggaling Kawula Gusti menjadi Manugaling gusti yang bisa saja diartikan berbeda.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar