Mari
Kita Bicara Sampai
Kabut
Catatan Ngebut Iqbal H. Saputra atas Puisi SuleSubaweh
Monggo, Mlebet.
Setidaknya,
puisi adalah bagian dari seorang yang menuliskannya. Kapan-pun dan tentang apa-pun
yang dtuliskan, minimal, adalah apa yang ia rekam, ia rasakan, kemudian muncrat
dalam puisi yang dituliskan! Apa yang tertulis, beberapa sampai pada pembaca. Sisanya,
hanya ia dan tuhan yang tahu. Itu pun kalau tuhan tahu, karena susah juga
mengonfirmasinya. Karena memang bahasa puisi itu intim, dan tak sedikit yang hibuk-masyuk
dengan keintimannya. Seolah pembaca adalah makhluk lain, dan ia adalah segala-galanya! Tapi banyak juga pembaca yang ngawur menyikapinya, berdalih pada keruwetan puisi! Untuk kasus semacam ini kita perlu curiga, jangan-jangan pembaca cetek pengetahuannya. Nauzubillah! Jika dengan ilmu, puisi bisa dikuliti dari berbagai sudut, sesuai kehendak dan kapasitas masing-masing.
dengan keintimannya. Seolah pembaca adalah makhluk lain, dan ia adalah segala-galanya! Tapi banyak juga pembaca yang ngawur menyikapinya, berdalih pada keruwetan puisi! Untuk kasus semacam ini kita perlu curiga, jangan-jangan pembaca cetek pengetahuannya. Nauzubillah! Jika dengan ilmu, puisi bisa dikuliti dari berbagai sudut, sesuai kehendak dan kapasitas masing-masing.
Membaca
tiga puisi karya Sule Subaweh; Kabut,
Sampai, dan Mari Kita Bicara (pengurutan sesuai naskah yang dikirim), yang perlu
saya cermati dan beri catatan terlebih dahulu adalah perihal waktu. Mengapa?
Dimensi waktu adalah salah satu hal terpenting yang tertera dalam karya
konkrit, meminjam istilah Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature, (1948). Waktu akan membantu kita (pembaca)
dalam mengeksekusi karya seorang penulis. Waktu adalah gerbang atas kegelisahan
apa yang ingin disampaikan oleh si empunya karya. Benarkah? Mari kita telusuri.
Pinarak, Mirengke.
Membaca puisi Kabut, saya mengalami keterpengaruhan “tak wujud” yang sering
dinamai dengan sebutan sugesti. Mengapa sugesti? Sugesti adalah pengaruh dsb yg dapat menggerakkan hati orang dsb;
dorongan, (KBBI). Judul puisi ini
menjelma dalam pikiran saya ketika membaca baris-baris puisinya. Seakan semua
bait disesaki kabut dalam arti yang sebenarnya. Karena kabut, maka terganggulah
pandang mata-batin saya.
Untuk menghindari peristiwa yang sudah saya ungkap
di paragraf awal, saya pun bersabar membacanya untuk jumlah yang berkali-kali.
Perlahan saya coba beranikan diri telusuri dan telanjangi satu-satu. Begini
kira-kira.
KABUT
Kabut
siapa yang turun
dia yang merebut dari
orang-orang di sudut seperti badut
tertawa tanpa
sebab
menari, tanganya mengepak berharap ke awan
Tidak, itu kabut.
Kabut
siapa yang naik
dia yang merebut dari
saut menyaut
kabar jatuh tepat ke
dinding hati yang kabut
yang carut, yang dangdut, yang lembut,
sampai
pada cahayamu yang hubbu hamba.
Sampangan 30 April 2014
Secara harfiah, kabut bermakna; 1) kelam;
suram; tidak nyata; 2) n awan lembap yg melayang di dekat permukaan
tanah; 3) n Geo uap air sbg hasil kondensasi yg masih dekat dng tanah yg
terjadi krn peristiwa pemanasan atau pendinginan udara, biasanya menyebabkan
jarak pandang di permukaan bumi berkurang. [1]
Jika merujuk pada definisi ini,
tentulah di kepala kita (pembaca) berhak mendefinisikannya sesuai kapasitas
ilmu masing-masing. Definisi lain adalah aktifitas yang grusa-grusu, cepat.
Peristiwa yang saya dapatkan ketika membaca puisi
kabut ini dalam kali kesekian, tetap saja definisi harfiah judulnya gentayang
dalam pikiran saya; kelam, suram, dan grusa-grusu!
Saya tidak tahu ke mana arah juntrungannya. Sule
gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya
tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya. Seakan, Sule hanya
menuliskan mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu maknanya.
Persis seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan. Apa yang terjadi
selanjutnya! Lagi-lagi, untuk menghindari ke-ngaco-’an dan kerancuan menafsirkan, saya pun
berusaha kembali. Dalam keadaan beginilah, dimensi waktu cukup membantu,
minimal jadi kompas dalam usaha mencapai makna.
Lihat tanggal, bulan, dan tahun yang tera; 30
April 2014. Apakah benar yang saya tafsirkan atas judul puisi? Kabut; grusa-grusu. Berpijak pada pada dimensi
ini, saya mencurigai; 1) adakah keterpengaruhan diskusi sebelumnya dalam karya
ini? 2) apakah karya ini dicipta hanya untuk menghindari kewajiban yang
menimpanya! Semoga saja saya keliru. Tapi penafsiran saya ini bukan tanpa
sebab-tanpa landasan. Karena setelah berkali membacanya, dengan ngaco saya pun menyimpulkan kalau puisi
ini memang dibuat dengan kerangka ngaco itu
tadi!
Kemudian saya meredam diri, mencoba lebih teliti.
Jika disimak dengan sungguh, apa ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat umum
yang kemudian Sule rumuskan dalam puisinya tersebut? Apa puisi tersebut merekam
jejak aktifitas empirik duniawi sekitaran tahun 2014 ini? Entahlah. Tapi semula
saya mencoba untuk mengimajinasikan peristiwa ini dengan keadaan politik yang sedang
dalam masa transisi. Ada yang turun, ada yang naik. Sule menjelaskan; siapa yang turun /
dia yang merebut dari / orang-orang di sudut
seperti badut / tertawa tanpa sebab / menari, tanganya mengepak berharap ke awan. Kemudian bait berikutnya ia menyebut lagi; Kabut / siapa yang naik / dia yang merebut dari / saut menyaut / kabar jatuh tepat ke
dinding hati yang kabut / yang carut, yang
dangdut, yang lembut, sampai / pada cahayamu yang
hubbu hamba.
Dari kedua bait yang berbeda ini, ada hal yang
menarik. Ia membedakan, tapi ia juga menggeneralisasikan pandangan. Bahwa siapa
pun yang naik dan yang turun, semua sama-sama kabut. Suram, remang-remang.
Kesimpulan ini didasari atas satu baris pemisah antara paragraf yang ada,
yaitu; Tidak, itu
kabut. Jelas
sekali, baris ini menepis anggapan, dan mengekalkan anggapan lainnya. Simaklah
kembali, bagaimana antara siapa yang naik dan turun tetap sama, yaitu kabut!
Begitu kira-kira. Selebihnya, entahlah, maknanya selalu luput dari pemahaman
saya.
Kemudian saya mencoba menelaah dari wilayah luarnya.
Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menarik dari puisi pertama ini; tampak
dan sangat terasa jika disimak mata telanjang. Rima-irama. Perhatikan saja contoh
puisi yang sudah saya tandai dengan tinta merah. Ada rasa nyaman saat
membacanya. Bak permainan rudat, saya
ikut dalam langgam rentak rebana. Sungguh membahana. Sule memilih memainkan
huruf mati dan memainkannya dengan teliti. T (et). Lafadkan saja puisi Kabut dengan teratur menyesuaikan tipografi
yang dikehendaki sang empunya puisi, resapi, rasakan perbedaannya. Menurut
saya, keberhasilan puisi Kabut terletak pada permainan bahasa, tepatnya
pemanfaatan rima-irama. Perihal makna, saya masih terjebak dalam hipotesa saya
pada paragraf-paragraf sebelumnya.
Masalah
rima-irama, saya membaginya menjadi dua bagian; pertama, yang dimanfaatkan
sebagai akhiran, kedua, yang dimanfaatkan di awal, dan beberapa di tengah. Dari
tiga belas (13) baris (judul dan keterangan waktu sengaja tidak saya hitung),
hanya dua baris saja yang tidak menggunakan huruf T (et). Menarik. Dalam hal
ini, Sule betul-betul menggiring pembaca pada kekuatan bunyi. Seperti yang
sudah saya sebutkan di paragraf-paragraf awal, puisi ini mirip mantra. Baca
saja kumpulan puisi Tardji, si Kucing liar dari Riau itu, makna akan muncul
ketika kita mampu masuk ke dalam rima-irama puisi-puisinya. Apakah hal ini
terjadi pada puisi Sule, saya rasa kita punya jawaban masing-masing yang
berbeda. Sesuai pengalaman empiriknya, sesuai kapasitas penerimaannya! Silahkan
simak kata yang sudah saya beri tanda merah nyala, dan merah tua. Kemudian
cermati pelan-pelan. Di akhir baris, ada ledakan kecil yang membuat kening
mengkerut. Puisi ini ditutup dengan baris yang sama sekali tidak ada akhiran
mati. Semua ditutup dengan kata berakhiran vokal (kecuali konjungsi); pada cahayamu yang hubbu
hamba.
Untuk
puisi Kabut, saya optimis, jika Sule
mau menginfakkan waktunya, dan menerapkan apa yang digunakan oleh Chairil dalam
karya-karyanya, puisi ini memiliki arti lebih. Gugurlah hipotesa dan tafsiran
saya di muka. Semoga.
***
Kemudian,
mari kita masuki puisi kedua. Sampai. Puisi
sampai ini sudah tak berkabut. Paling tidak, pembaca bisa masuk ke dalam makna
pertama puisi. Jika menafsirkan kata sampai, tentu kita akan membayangkan
sebuah perjalanan. Ada gerakan dari satu tempat ke tempat laiinya, dan atau
kembali lagi ke tempat semula. Sule mengajak kita sebagai pembaca untuk
merasakan prosesi perjalanan, pergerakan. Dalam suatu aktifitas
gerak-perjalanan, tentu mata kita akan bekerja sebagai kamera. Menangkap segala
peristiwa. Ada yang tampak, terekam otak, dan tak jarang yang lesap lebih
banyak dari yang tertangkap. Simak puisi sampai berikut.
SAMPAI
Datanglah dalam kenangan
dalam senang, dalam tenang hingga tergenang
di air mengalir ke mataku
Datanglah dalam kenangan
dalam takut yang menumpuk
dalam kelam yang karam
dalam angkuh yang gunung
menjulang sampai
pada rahmat rahimu
Sampangan 30 April 2014
Nada yang bisa kita tangkap,
dan luapan yang bisa kita rasakan adalah kegelisahan. Ada semacam harapan
menggunung dalam ruang pikir penyair. Seakan ada yang tak mampu ditangkap,
tetapi sangat ingin dimiliki. Jika kita simak dengan serius, tentu gelisah
adalah makna pertamanya. Sule gelisah atas apa yang dirasakannya. Kegelisahan
itu diluapkan dalam kalimat menghamba atas sebuah kedatangan; Datanglah
dalam kenangan / dalam senang, dalam tenang hingga tergenang / di air mengalir ke mataku. Pertanyaanya,
pada siapa keluh kesah itu disampaikan?
Saya menduga-duga, mungkinkah itu pada
subjek, pada objek, atau malah pada subjek-objek dalam waktu bersamaan? Secara
wajar, baris demi baris dapat kita maknakan sebagai sesuatu yang memang
ditujukan pada seseorang. Makhluk kah? Mungkin saja! Karena tidak mungkin jika
harapan ini ditujukan kepada yang bukan makhluk. Karena jelas Sule menyatakan harapan
atas kehadiran objek (mungkin subjek) dalam kenangan. Kenangan berarti sesuatu
yang pernah dilakukan, minimal beberapa hal yang pernah dilalui bersama. Atas
dasar inilah, jika saya beranggapan bahwa yang dimaksud Sule adalah Gusti, mana
mungkin sule pernah bersinggungan dengan sang Khawiyah itu!
Namun ketika saya baca ulang dengan
perlahan, saya malah menentang argumen saya yang pertama. Mungkin saja itu
terjadi. Toh, ini masalah empirik, pengalaman yang sangat personal. Artinya, maqom sang hamba (baca: Sule) sudah mencapai
titik makrifat. Kesimpulan ini berlandaskan ingatan saya tentang cerita Syeh
Siti Jenar. Demikian kah adanya, wallahuallam.
Tapi simak saja bait kedua; Datanglah dalam kenangan / dalam takut yang menumpuk / dalam kelam yang karam / dalam angkuh yang gunung / menjulang sampai / pada rahmat rahimu.
Bukankah jelas, akhir puisi ini
disuguhkan pada kepasrahan seorang hamba-Sule pada Sang Pemilik Jagad. Sebagai rahim
yang memberi rahmat. Kemudian saya meragui pernyataan saya lagi. Kalau
seandainya rahmat rahimu itu adalah
ibu, bagaimana? Saya redam saja kegelisahan saya dengan anggapan, toh, bukankah ibu itu adalah wakil sang
Khawiyah di atas buana? Coba ingat-ingat makna kalimat ini; bahwa perintah ibumu adalah perintahku. Dan
jangan sesekali kau mengabaikannya! Memang agak sukar untuk berdamai dengan
segala hal yang tak tampak dan tak dsirasakan oleh kita, tapi tampak dan
dirasakan oleh orang lain. Analogikan saja
serial tivi; [Masih] Dunia Lain. Menyebalkan!
Kemudian, bagaimana dengan hal yang
lain dari itu?
Masih sama dengan puisi pertama, dalam
puisi Sampai, Sule masih bermain
dengan rima-irama untuk mencapai maksud yang ditujunya. Kekuatan rima-irama
sangat diperhatikan benar olehnya. Dari sini saya berkesimpulan, masalah
bacaan, Sule tak usah diragukan. Karena tak mungkin seorang pembaca yang malas
mampu menuliskan satu buah ide/gagasan/pikirannya dengan pencapaian rima-irama
yang memesona. Tapi perihal pencapaian “makna” dan “rasa” atas puisnya, Sule
harus lebih giat lagi!
***
Bagaimana dengan puisi ketiga, mari
kita bicarakan Mari Kita Bicara –nya
Sule!
MARI KITA BICARA
Ayo kita bicara
tentang kaki
Yang terlampau
jauh melangkah
Melangkah-langkahi
Kenapa puisi ini harus
dimulai dengan pembicaraan tentang kaki? Sedangkan pikiran dan hati diletakkan
pada bait kedua dan ketiga secara runut. Dari dimensi ini saya menyimpulkan pola
berpikir si empu puisi memang selalu mobile,tak
henti aktifitas. Kemudian segala gerak-laku Sule selalu diredam dengan pikir
dan hati. Lalu, bagaimana makna seutuhnya? Simak dan cermati saja puisi ini; Ayo kita bicara tentang
kaki / Yang terlampau jauh melangkah / Melangkah-langkahi. Ada solusi yang ditawarkan Sule sebagai
seorang manusia yang berhasil merekam resah. Tawaran untuk menyelesaikan
masalah tentulah perlu, tidak hanya sebatas melempar masalah, kemudian memberi
salah!
Dari bait ini, Sule
merasakan adanya yang perlu diselesaikan atas sikap manusia umum dalam
berkehidupan. Karena memang begitulah adanya jika kita mengikuti perkembangan
kehidupan manusia zaman ini. Prosesi perjalanan seseorang dalam menggapai
sesuatu dalam hidup, terkadang mengganggu, merusak, bahkan melenyapkan orang
lain. Langkah yang seharusnya membawa perubahan, realitanya harus merelakan adanya
aktifitas langkah-melangkahi. Langkah-melangkahi yang seperti apa? Tentu yang
negatif efeknya! Nah, hal ini yang saya temukan dan saya rasakan dalam bait
pertama puisi Mari Kita Bicara milik
Sule. Bagaimana dengan bait kedua?
Ayo kita bicara
tentang pikiran
Yang berputar di
langit
Memutar-mutar
hati ke ujung kaki
Kemudian bait kedua ini
Sule mengajak kita untuk merefleksi apa yang sebenarnya dirasakannya. Ia merasa
ada yang mengganjal dalam kehidupan manusia sekarang, paling tidak yang pernah
ia rekam lalu tuliskan pada tahun 2011. Ganjalan yang semacam apa? Tentu ini
masalah empirik, yang kemudian ia rasakan kembali di tahun 2014, 2 tahun 8
bulan pasca puisi ini ditulis. Kegelishan yang cukup lama terjadi, terpendam,
kemudian ia rasakan kembali. Ia merasa ada yang mengganggu dan perlu untuk
diungkapkan, sebagai sambung rasa.
Kesibukan manusia masa
kini dalam menggapai mimpi, tunjukkan jati diri, kemudian memakai cara yang tak
patut. Pikiran yang menjadi sarana untuk melakukan aktifitas, sebagai motorik
penggerak, meski sudah memakai hati akhirnya kandas di ujung kaki. Namun bait kedua
ini juga bisa bermkna ajakan, kalau segala yang dipikiran-dirasakan tak kan ada
guna jika tak digerakkan, dijalankan. Gerak dengan jalan tentu membutuhkan
kaki. Tapi, mana yang sebenarnya dikehendaki Sule dalam puisi ini? Silahkan
memilih!
Lalu di bait terakhir,
Sule menyimpulkan segala yang ia tangkap-rekam-rasakan itu dalam bait
pamungkasnya ini. Simaklah dengan teliti!
Mari kita bicara
hati
Yang tak
hati-hati
Mengatur isi
bumi di atas kaki
Membujuk kita
pada kedalaman
Lubang tanah
yang dikeruk sendiri
Agustus 2011
Tentu beginilah jadinya!
Jika kita, dalam hal ini Sule dan pembaca, tak
pandai menyikapi segala laku dengan hati-hati, menggunakan pikiran dengan
hati-hati, dan merasakan-menyikapi dengan hati-hati, padahal segala aktifitas
itu dilakukan di atas bumi, maka sama saja kita sedang berusaha menggali lubang
sendiri. Jika kita sangkut pautkan dengan mitologi Yunani dengan aktifitas yang
pernah dilakukan oleh Odeypus, maka sama saja kita sekarang sedang
berusaha-berlomba dalam menggiring sebongkah batu besar ke atas puncak gunung,
kemudian sesampai di puncak batu itu kita gelindingkan kembali ke bawah. Tentu
sesuatu yang musti kita hindari.
Sedari itu, ada baiknya kita infakkan dengan
ikhlas dan mencermati puisi terakhir ini dengan kesungguhan hati. Karena jika
melakukan aktifitas dengan laku Yang tak hati-hati, terlebih
aktifitas itu berkaitan dengan segala kegiatan untuk Mengatur
isi bumi di atas kaki, maka
perlu rasanya kita waras agar tak terhasut oleh siapa saja yang Membujuk kita pada kedalaman dan akhirnya terjerembab
dalam Lubang tanah yang dikeruk sendiri. Begitu kira-kira. Tabik.
***
Demi mempertanggung-jawabkan celoteh
saya ini, saya akan menerapkan etika Chairil dalam merevisi puisi ini. Semoga
berkenan!
KABUT
Kabut
siapa yang turun
yang merebut
dari
orang-orang sudut
seperti badut
tertawa tanpa
sebab
menari, tangannya mengepak
berharap ke awan.
Siapa yang naik
yang merebut
saut menyaut
kabar jatuh
tepat
di dinding hati kabut
yang carut
yang dangdut
yang lembut
sampai pada cahaya
hubbu hamba.
Siapa!
Sampangan, 30 April 2014
SAMPAI
Datanglah
dalam kenangan
dalam senang,
dalam tenang hingga tergenang
dalam air
ngalir ke mataku.
Datanglah
dalam kenangan
dalam takut menumpuk
dalam kelam karam
dalam angkuh gunung
yang julang
sampai
rahmat rahimu.
Sampangan, 30 April 2014
MARI KITA BICARA
Mari kita bicara tentang kaki
yang terlampau jauh melangkah, langkah-melangkahi.
Mari kita bicara tentang pikiran
yang berputar di langit
memutar-mutar
hati ke ujung
kaki.
Mari kita bicara hati
yang tak
hati-hati
ngatur isi bumi
atas kaki
bujuk kita pada
kedalaman
lubang tanah
yang dikeruk
sendiri
Mari!
Agustus, 2011
Kota Gede, Jejak Imaji
2-3 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar