Sabtu, 31 Mei 2014

ESAI "MARI KITA BICARA SAMPAI KABUT"



Mari Kita Bicara Sampai Kabut
Catatan Ngebut Iqbal H. Saputra atas Puisi SuleSubaweh

            Monggo, Mlebet.
            Setidaknya, puisi adalah bagian dari seorang yang menuliskannya. Kapan-pun dan tentang apa-pun yang dtuliskan, minimal, adalah apa yang ia rekam, ia rasakan, kemudian muncrat dalam puisi yang dituliskan! Apa yang tertulis, beberapa sampai pada pembaca. Sisanya, hanya ia dan tuhan yang tahu. Itu pun kalau tuhan tahu, karena susah juga mengonfirmasinya. Karena memang bahasa puisi itu intim, dan tak sedikit yang hibuk-masyuk
dengan keintimannya. Seolah pembaca adalah makhluk lain, dan ia adalah segala-galanya! Tapi banyak juga pembaca yang ngawur menyikapinya, berdalih pada keruwetan puisi! Untuk kasus semacam ini kita perlu curiga, jangan-jangan pembaca cetek pengetahuannya. Nauzubillah! Jika dengan ilmu, puisi bisa dikuliti dari berbagai sudut, sesuai kehendak dan kapasitas masing-masing.

            Membaca tiga puisi karya Sule Subaweh; Kabut, Sampai, dan Mari Kita Bicara (pengurutan sesuai naskah yang dikirim), yang perlu saya cermati dan beri catatan terlebih dahulu adalah perihal waktu. Mengapa? Dimensi waktu adalah salah satu hal terpenting yang tertera dalam karya konkrit, meminjam istilah Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature, (1948). Waktu akan membantu kita (pembaca) dalam mengeksekusi karya seorang penulis. Waktu adalah gerbang atas kegelisahan apa yang ingin disampaikan oleh si empunya karya. Benarkah? Mari kita telusuri.

            Pinarak, Mirengke.
Membaca puisi Kabut, saya mengalami keterpengaruhan “tak wujud” yang sering dinamai dengan sebutan sugesti. Mengapa sugesti? Sugesti adalah pengaruh dsb yg dapat menggerakkan hati orang dsb; dorongan, (KBBI). Judul puisi ini menjelma dalam pikiran saya ketika membaca baris-baris puisinya. Seakan semua bait disesaki kabut dalam arti yang sebenarnya. Karena kabut, maka terganggulah pandang mata-batin saya.
Untuk menghindari peristiwa yang sudah saya ungkap di paragraf awal, saya pun bersabar membacanya untuk jumlah yang berkali-kali. Perlahan saya coba beranikan diri telusuri dan telanjangi satu-satu. Begini kira-kira.
KABUT

Kabut
siapa yang turun
dia yang merebut dari
orang-orang di sudut seperti badut
tertawa tanpa sebab
menari, tanganya mengepak berharap ke awan

Tidak, itu kabut.

Kabut
siapa yang naik
dia yang merebut dari
saut menyaut
kabar jatuh tepat ke dinding hati yang kabut
yang carut, yang dangdut, yang lembut, sampai
pada cahayamu yang hubbu hamba.

Sampangan 30 April 2014
Secara harfiah, kabut bermakna; 1) kelam; suram; tidak nyata; 2) n awan lembap yg melayang di dekat permukaan tanah; 3) n Geo uap air sbg hasil kondensasi yg masih dekat dng tanah yg terjadi krn peristiwa pemanasan atau pendinginan udara, biasanya menyebabkan jarak pandang di permukaan bumi berkurang. [1] Jika merujuk pada definisi ini, tentulah di kepala kita (pembaca) berhak mendefinisikannya sesuai kapasitas ilmu masing-masing. Definisi lain adalah aktifitas yang grusa-grusu, cepat.
Peristiwa yang saya dapatkan ketika membaca puisi kabut ini dalam kali kesekian, tetap saja definisi harfiah judulnya gentayang dalam pikiran saya; kelam, suram, dan grusa-grusu!
Saya tidak tahu ke mana arah juntrungannya. Sule gagal menggiring pembaca (minimal saya) untuk masuk ke dalam alam pikirannya. Saya tidak digiring olehnya untuk merasai apa yang dirasainya. Seakan, Sule hanya menuliskan mantra; yang ruwet, dan hanya dia dan tuhan saja yang tahu maknanya. Persis seorang dukun yang merapal ritual untuk kesembuhan. Apa yang terjadi selanjutnya! Lagi-lagi, untuk menghindari ke-ngaco-’an dan kerancuan menafsirkan, saya pun berusaha kembali. Dalam keadaan beginilah, dimensi waktu cukup membantu, minimal jadi kompas dalam usaha mencapai makna.
Lihat tanggal, bulan, dan tahun yang tera; 30 April 2014. Apakah benar yang saya tafsirkan atas judul puisi? Kabut; grusa-grusu. Berpijak pada pada dimensi ini, saya mencurigai; 1) adakah keterpengaruhan diskusi sebelumnya dalam karya ini? 2) apakah karya ini dicipta hanya untuk menghindari kewajiban yang menimpanya! Semoga saja saya keliru. Tapi penafsiran saya ini bukan tanpa sebab-tanpa landasan. Karena setelah berkali membacanya, dengan ngaco saya pun menyimpulkan kalau puisi ini memang dibuat dengan kerangka ngaco itu tadi!
Kemudian saya meredam diri, mencoba lebih teliti. Jika disimak dengan sungguh, apa ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat umum yang kemudian Sule rumuskan dalam puisinya tersebut? Apa puisi tersebut merekam jejak aktifitas empirik duniawi sekitaran tahun 2014 ini? Entahlah. Tapi semula saya mencoba untuk mengimajinasikan peristiwa ini dengan keadaan politik yang sedang dalam masa transisi. Ada yang turun, ada yang naik. Sule menjelaskan; siapa yang turun / dia yang merebut dari / orang-orang di sudut seperti badut / tertawa tanpa sebab / menari, tanganya mengepak berharap ke awan. Kemudian bait berikutnya ia menyebut lagi; Kabut / siapa yang naik / dia yang merebut dari / saut menyaut / kabar jatuh tepat ke dinding hati yang kabut / yang carut, yang dangdut, yang lembut, sampai / pada cahayamu yang hubbu hamba.
Dari kedua bait yang berbeda ini, ada hal yang menarik. Ia membedakan, tapi ia juga menggeneralisasikan pandangan. Bahwa siapa pun yang naik dan yang turun, semua sama-sama kabut. Suram, remang-remang. Kesimpulan ini didasari atas satu baris pemisah antara paragraf yang ada, yaitu; Tidak, itu kabut. Jelas sekali, baris ini menepis anggapan, dan mengekalkan anggapan lainnya. Simaklah kembali, bagaimana antara siapa yang naik dan turun tetap sama, yaitu kabut! Begitu kira-kira. Selebihnya, entahlah, maknanya selalu luput dari pemahaman saya.
Kemudian saya mencoba menelaah dari wilayah luarnya. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menarik dari puisi pertama ini; tampak dan sangat terasa jika disimak mata telanjang. Rima-irama. Perhatikan saja contoh puisi yang sudah saya tandai dengan tinta merah. Ada rasa nyaman saat membacanya. Bak permainan rudat, saya ikut dalam langgam rentak rebana. Sungguh membahana. Sule memilih memainkan huruf mati dan memainkannya dengan teliti. T (et). Lafadkan saja puisi Kabut dengan teratur menyesuaikan tipografi yang dikehendaki sang empunya puisi, resapi, rasakan perbedaannya. Menurut saya, keberhasilan puisi Kabut terletak pada permainan bahasa, tepatnya pemanfaatan rima-irama. Perihal makna, saya masih terjebak dalam hipotesa saya pada paragraf-paragraf sebelumnya.
            Masalah rima-irama, saya membaginya menjadi dua bagian; pertama, yang dimanfaatkan sebagai akhiran, kedua, yang dimanfaatkan di awal, dan beberapa di tengah. Dari tiga belas (13) baris (judul dan keterangan waktu sengaja tidak saya hitung), hanya dua baris saja yang tidak menggunakan huruf T (et). Menarik. Dalam hal ini, Sule betul-betul menggiring pembaca pada kekuatan bunyi. Seperti yang sudah saya sebutkan di paragraf-paragraf awal, puisi ini mirip mantra. Baca saja kumpulan puisi Tardji, si Kucing liar dari Riau itu, makna akan muncul ketika kita mampu masuk ke dalam rima-irama puisi-puisinya. Apakah hal ini terjadi pada puisi Sule, saya rasa kita punya jawaban masing-masing yang berbeda. Sesuai pengalaman empiriknya, sesuai kapasitas penerimaannya! Silahkan simak kata yang sudah saya beri tanda merah nyala, dan merah tua. Kemudian cermati pelan-pelan. Di akhir baris, ada ledakan kecil yang membuat kening mengkerut. Puisi ini ditutup dengan baris yang sama sekali tidak ada akhiran mati. Semua ditutup dengan kata berakhiran vokal (kecuali konjungsi); pada cahayamu yang hubbu hamba.
            Untuk puisi Kabut, saya optimis, jika Sule mau menginfakkan waktunya, dan menerapkan apa yang digunakan oleh Chairil dalam karya-karyanya, puisi ini memiliki arti lebih. Gugurlah hipotesa dan tafsiran saya di muka. Semoga.

***

            Kemudian, mari kita masuki puisi kedua. Sampai. Puisi sampai ini sudah tak berkabut. Paling tidak, pembaca bisa masuk ke dalam makna pertama puisi. Jika menafsirkan kata sampai, tentu kita akan membayangkan sebuah perjalanan. Ada gerakan dari satu tempat ke tempat laiinya, dan atau kembali lagi ke tempat semula. Sule mengajak kita sebagai pembaca untuk merasakan prosesi perjalanan, pergerakan. Dalam suatu aktifitas gerak-perjalanan, tentu mata kita akan bekerja sebagai kamera. Menangkap segala peristiwa. Ada yang tampak, terekam otak, dan tak jarang yang lesap lebih banyak dari yang tertangkap. Simak puisi sampai berikut.


SAMPAI

Datanglah dalam kenangan
dalam senang, dalam tenang hingga tergenang
di air mengalir ke mataku

Datanglah dalam kenangan
dalam takut yang menumpuk
dalam kelam yang karam
dalam angkuh yang gunung
menjulang sampai
pada rahmat rahimu

Sampangan 30 April 2014


Nada yang bisa kita tangkap, dan luapan yang bisa kita rasakan adalah kegelisahan. Ada semacam harapan menggunung dalam ruang pikir penyair. Seakan ada yang tak mampu ditangkap, tetapi sangat ingin dimiliki. Jika kita simak dengan serius, tentu gelisah adalah makna pertamanya. Sule gelisah atas apa yang dirasakannya. Kegelisahan itu diluapkan dalam kalimat menghamba atas sebuah kedatangan; Datanglah dalam kenangan / dalam senang, dalam tenang hingga tergenang / di air mengalir ke mataku. Pertanyaanya, pada siapa keluh kesah itu disampaikan?
Saya menduga-duga, mungkinkah itu pada subjek, pada objek, atau malah pada subjek-objek dalam waktu bersamaan? Secara wajar, baris demi baris dapat kita maknakan sebagai sesuatu yang memang ditujukan pada seseorang. Makhluk kah? Mungkin saja! Karena tidak mungkin jika harapan ini ditujukan kepada yang bukan makhluk. Karena jelas Sule menyatakan harapan atas kehadiran objek (mungkin subjek) dalam kenangan. Kenangan berarti sesuatu yang pernah dilakukan, minimal beberapa hal yang pernah dilalui bersama. Atas dasar inilah, jika saya beranggapan bahwa yang dimaksud Sule adalah Gusti, mana mungkin sule pernah bersinggungan dengan sang Khawiyah itu!
Namun ketika saya baca ulang dengan perlahan, saya malah menentang argumen saya yang pertama. Mungkin saja itu terjadi. Toh, ini masalah empirik, pengalaman yang sangat personal. Artinya, maqom sang hamba (baca: Sule) sudah mencapai titik makrifat. Kesimpulan ini berlandaskan ingatan saya tentang cerita Syeh Siti Jenar. Demikian kah adanya, wallahuallam. Tapi simak saja bait kedua; Datanglah dalam kenangan / dalam takut yang menumpuk / dalam kelam yang karam / dalam angkuh yang gunung / menjulang sampai / pada rahmat rahimu.
Bukankah jelas, akhir puisi ini disuguhkan pada kepasrahan seorang hamba-Sule pada Sang Pemilik Jagad. Sebagai rahim yang memberi rahmat. Kemudian saya meragui pernyataan saya lagi. Kalau seandainya rahmat rahimu itu adalah ibu, bagaimana? Saya redam saja kegelisahan saya dengan anggapan, toh, bukankah ibu itu adalah wakil sang Khawiyah di atas buana? Coba ingat-ingat makna kalimat ini; bahwa perintah ibumu adalah perintahku. Dan jangan sesekali kau mengabaikannya! Memang agak sukar untuk berdamai dengan segala hal yang tak tampak dan tak dsirasakan oleh kita, tapi tampak dan dirasakan oleh orang lain. Analogikan saja  serial tivi; [Masih] Dunia Lain. Menyebalkan!
Kemudian, bagaimana dengan hal yang lain dari itu?
Masih sama dengan puisi pertama, dalam puisi Sampai, Sule masih bermain dengan rima-irama untuk mencapai maksud yang ditujunya. Kekuatan rima-irama sangat diperhatikan benar olehnya. Dari sini saya berkesimpulan, masalah bacaan, Sule tak usah diragukan. Karena tak mungkin seorang pembaca yang malas mampu menuliskan satu buah ide/gagasan/pikirannya dengan pencapaian rima-irama yang memesona. Tapi perihal pencapaian “makna” dan “rasa” atas puisnya, Sule harus lebih giat lagi!

***

            Bagaimana dengan puisi ketiga, mari kita bicarakan Mari Kita Bicara –nya Sule!

MARI KITA BICARA

Ayo kita bicara tentang kaki
Yang terlampau jauh melangkah
Melangkah-langkahi

            Kenapa puisi ini harus dimulai dengan pembicaraan tentang kaki? Sedangkan pikiran dan hati diletakkan pada bait kedua dan ketiga secara runut. Dari dimensi ini saya menyimpulkan pola berpikir si empu puisi memang selalu mobile,tak henti aktifitas. Kemudian segala gerak-laku Sule selalu diredam dengan pikir dan hati. Lalu, bagaimana makna seutuhnya? Simak dan cermati saja puisi ini; Ayo kita bicara tentang kaki / Yang terlampau jauh melangkah / Melangkah-langkahi. Ada solusi yang ditawarkan Sule sebagai seorang manusia yang berhasil merekam resah. Tawaran untuk menyelesaikan masalah tentulah perlu, tidak hanya sebatas melempar masalah, kemudian memberi salah!
            Dari bait ini, Sule merasakan adanya yang perlu diselesaikan atas sikap manusia umum dalam berkehidupan. Karena memang begitulah adanya jika kita mengikuti perkembangan kehidupan manusia zaman ini. Prosesi perjalanan seseorang dalam menggapai sesuatu dalam hidup, terkadang mengganggu, merusak, bahkan melenyapkan orang lain. Langkah yang seharusnya membawa perubahan, realitanya harus merelakan adanya aktifitas langkah-melangkahi. Langkah-melangkahi yang seperti apa? Tentu yang negatif efeknya! Nah, hal ini yang saya temukan dan saya rasakan dalam bait pertama puisi Mari Kita Bicara milik Sule. Bagaimana dengan bait kedua?
           
Ayo kita bicara tentang pikiran
Yang berputar di langit
Memutar-mutar hati ke ujung kaki
           
            Kemudian bait kedua ini Sule mengajak kita untuk merefleksi apa yang sebenarnya dirasakannya. Ia merasa ada yang mengganjal dalam kehidupan manusia sekarang, paling tidak yang pernah ia rekam lalu tuliskan pada tahun 2011. Ganjalan yang semacam apa? Tentu ini masalah empirik, yang kemudian ia rasakan kembali di tahun 2014, 2 tahun 8 bulan pasca puisi ini ditulis. Kegelishan yang cukup lama terjadi, terpendam, kemudian ia rasakan kembali. Ia merasa ada yang mengganggu dan perlu untuk diungkapkan, sebagai sambung rasa.
            Kesibukan manusia masa kini dalam menggapai mimpi, tunjukkan jati diri, kemudian memakai cara yang tak patut. Pikiran yang menjadi sarana untuk melakukan aktifitas, sebagai motorik penggerak, meski sudah memakai hati akhirnya kandas di ujung kaki. Namun bait kedua ini juga bisa bermkna ajakan, kalau segala yang dipikiran-dirasakan tak kan ada guna jika tak digerakkan, dijalankan. Gerak dengan jalan tentu membutuhkan kaki. Tapi, mana yang sebenarnya dikehendaki Sule dalam puisi ini? Silahkan memilih!
            Lalu di bait terakhir, Sule menyimpulkan segala yang ia tangkap-rekam-rasakan itu dalam bait pamungkasnya ini. Simaklah dengan teliti!

Mari kita bicara hati
Yang tak hati-hati
Mengatur isi bumi di atas kaki
Membujuk kita pada kedalaman
Lubang tanah yang dikeruk sendiri

Agustus 2011

Tentu beginilah jadinya!
Jika kita, dalam hal ini Sule dan pembaca, tak pandai menyikapi segala laku dengan hati-hati, menggunakan pikiran dengan hati-hati, dan merasakan-menyikapi dengan hati-hati, padahal segala aktifitas itu dilakukan di atas bumi, maka sama saja kita sedang berusaha menggali lubang sendiri. Jika kita sangkut pautkan dengan mitologi Yunani dengan aktifitas yang pernah dilakukan oleh Odeypus, maka sama saja kita sekarang sedang berusaha-berlomba dalam menggiring sebongkah batu besar ke atas puncak gunung, kemudian sesampai di puncak batu itu kita gelindingkan kembali ke bawah. Tentu sesuatu yang musti kita hindari.
Sedari itu, ada baiknya kita infakkan dengan ikhlas dan mencermati puisi terakhir ini dengan kesungguhan hati. Karena jika melakukan aktifitas dengan laku Yang tak hati-hati, terlebih aktifitas itu berkaitan dengan segala kegiatan untuk Mengatur isi bumi di atas kaki, maka perlu rasanya kita waras agar tak terhasut oleh siapa saja yang Membujuk kita pada kedalaman dan akhirnya terjerembab dalam Lubang tanah yang dikeruk sendiri. Begitu kira-kira. Tabik.

***
Demi mempertanggung-jawabkan celoteh saya ini, saya akan menerapkan etika Chairil dalam merevisi puisi ini. Semoga berkenan!


            KABUT

Kabut
siapa yang turun
yang merebut dari
orang-orang sudut
seperti badut
tertawa tanpa sebab
menari, tangannya mengepak
berharap ke awan.

Siapa yang naik
yang merebut
saut menyaut
kabar jatuh tepat
di dinding hati kabut
yang carut
yang dangdut
yang lembut
sampai pada cahaya
hubbu hamba.

Siapa!

Sampangan, 30 April 2014

SAMPAI

Datanglah
dalam kenangan
dalam senang,
dalam tenang hingga tergenang
dalam air ngalir ke mataku.

Datanglah
dalam kenangan
dalam takut menumpuk
dalam kelam karam
dalam angkuh gunung
yang julang sampai
rahmat rahimu.

Sampangan, 30 April 2014






MARI KITA BICARA

Mari kita bicara tentang kaki
yang terlampau jauh melangkah, langkah-melangkahi.

Mari kita bicara tentang pikiran
yang berputar di langit
memutar-mutar hati ke ujung
kaki.

Mari kita bicara hati
yang tak hati-hati
ngatur isi bumi atas kaki
bujuk kita pada kedalaman
lubang tanah
yang dikeruk sendiri

Mari!

Agustus, 2011



Kota Gede, Jejak Imaji
2-3 Mei 2014


[1] Lihat KBBI. Definisi ini diambil co-past dalam KBBI elektrik.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar