Pembacaan Terhadap Sajak Sampai Karya Iqbal H. Saputra
Setelah
membaca, dan membaca sajak Iqbal H. Saputra (untuk seterusnya Iqbal), awalnya
saya ingin melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik seperti yang dikemukakan
Riffaterre dalam strukturalisme-semiotiknya (Pradopo, 2012:281). Namun,
beberapa hari ini (setelah sajak diunggah) saya kebingungan. Saya bolak-balik,
baca kemudian diam, lalu serasa belum menemukan apa-apa. Tapi setelah saya coba
berdiskusi dengan teman sejawat,
sedikit demi sedikit pikiran saya terbuka. Dari situ saya sepakat terhadap diri sendiri, bahwa saya juga teman sejawat tadi merasa ada yang mengganjal di hati, di pikiran juga, yaitu sajak Iqbal yang berjudul “Sampai”.
sedikit demi sedikit pikiran saya terbuka. Dari situ saya sepakat terhadap diri sendiri, bahwa saya juga teman sejawat tadi merasa ada yang mengganjal di hati, di pikiran juga, yaitu sajak Iqbal yang berjudul “Sampai”.
Pertama,
saya akan menyampaikan bahwa sesuatu yang A tidak perlu dijelaskan lagi bahwa
itu A. Jeruk ya Jeruk, orang sudah tahu bahwa jeruk itu ya begini dan begitu. Kedua,
mungkin hanya pemborosan, dan pemaksaan diksi.
Mari
kita lihat bersama, pada bait pertama sajak “Sampai” saya sudah harus membaca
kata gunung sebanyak tiga kali. Seperti yang sudah disinggung, jeruk ya jeruk,
“angkuh” menurut penangkapan saya adalah sombong tinggi hati, perasaan yang
merasa tinggi. Lalu, dicitrakan sebagai gunung, di mana itu adalah tinggi,
kokoh, menjulang. Jadi, “tinggi” yang tinggi, terasa berlebihan. Atau memang sesuatu yang sudah tinggi tapi ditinggikan
lagi. Kemudian, pada baris kelima gunung
gaib yang tak tampak… (bukan ghaib), saya rasa pembaca tahu bahwa sesuatu
(gunung) yang gaib tidak lah tampak. Tapi seoalah si aku tahu bahwa yang gaib
tadi mempunyai mata. Menginjak bait kedua, sebagai penyair memang harus
selektif dalam memilih kata, mencoba-coba apakah kata yang akan dipakai
terdengar enak dibaca atau tidak, pas atau tidak. Baris pertama sedari itu bersegera kusadari belum
menunjukkan hal di atas, begitu juga lika
liku laku langkah. Dua kata yang arti sebenarnya sama, digunakan dalam satu
situasi. Kemudian baris keempat, jika
pikir dada, kedua mata, … lalu di
baris kelima saya menemukan kata gunung, lagi. Memasuki bait ketiga, pada baris
kedua gemetarku atas runcing waktu yang
panah, sesuatu (waktu) yang runcing kemudian ditegaskan lagi dengan kata yang panah. Jika itu dimaksudkan melesat
dalam artian cepat, tidak ada kata lain selain panah? Ini lah yang runcing tapi diruncingkan lagi. Selanjutnya,
penyair mungkin harus rajin menabung, kenapa? Karena .. bagi putaran musim yang tak
henti mengitari… itu boros. Untuk bait-bait selanjutnya, saya belum menemukan
(tapi mungkin akan) kesangsian-kesangsian yang lain. Namun, penting
diperhatikan bahwa Iqbal pandai mengolah pengalaman yang kecil menjadi sebuah
perenungan yang patut kita sadari. Menaklukkan keangkuhan! Ia dapat menangkap
pengalaman empiris dari sisi yang lain, sisi yang lebih dari biasanya. Itulah
penyair.
Demikian,
tulisan yang sangat singkat ini, yang luar biasa (bagi saya) atas pembacaan
yang serba terbatas terhadap sajak “Sampai” karya Iqbal. Terakhir, bahwa Jeruk
ya Jeruk, dia itu ya begini dan begitu. Salam.
0 komentar:
Posting Komentar