Pembacaan
SUARA PEREMPUAN
KORBAN TRAGEDI ‘65
Ita F. Nadia
PEREMPUAN YANG BERSUARA
Oleh
Widya Prana Rini, M.A.
Ketika belajar sejarah di bangku sekolah kita akan membayangkan
kebiadaban tokoh PKI membunuh Menteri Panglima
Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, lima jendral, dan
satu letkol. Beberapa waktu yang lalu kita juga mendengar buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran
“/PKI” setelah singkatan G-30-S harus dibakar. Sebab akhiran “/PKI” dari G30S mencerminkan
siapa yang mendalangi peristiwa tersebut. Sebagai kalangan yang belajar kritis,
klaim serupa itu patut kita kaji ulang sebelum menarik sebuah hipotesis.
Beberapa pertanyaan yang mungkin yang dapat kita ajukan seperti, berapa jumlah
anggota PKI? Apakah semua jumlah tersebut seluruhnya bertanggung jawab?
Peristiwa berdarah yang sudah lama itu masih berdampak sampai
sekarang “masyarakat terhegemoni” dari pandangan siapa pun yang
berhubungan PKI harus bertanggung jawab dan diizinkan dipandang sebelah mata.
Jika kita analogikan pada wacana saat ini, ketika sebuah organisasi keagamaan
melakukan sebuah tindakan anarki secara fisik maupun secara simbolis yang
memengaruhi kestabilan negara, pemerintah dengan dewasa akan mencari sumber oknum
yang bersangkutan tidak serta merta melibas
semua yang ada.
Kita sadari bahwa kontrol sosial masyarakat melalui peran media dewasa ini kritis. Saat ini kita “percaya” pemerintah hanya meringkus seseorang atau oknum-oknum yang memiliki keterkaitan
dan yang terbukti menjadi dalang sebuah kekacauan. Hal demikian tidak terjadi
pada masa lalu. Membaca sejarah terkadang membuat kita tertantang sekaligus
frustasi.
Buku ini memberi suguhan kisah sepuluh
wanita yang mengalami luka dan rasa traumatis yang mendalam. Tentu
saja sepuluh
ini mewakili ribuan orang yang mengalami tindakan kekejaman yang dilakukan oleh
tentara Indonesia terhadap eks-tapol. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga
masih harus menanggung stigma masyarakat, cemoohan dan pengusiran dari
masyarakat yang membuatnya jadi sangat sengsara. Mereka berjuang keras demi
menyambung detik demi detik hidupnya. Perempuan yang bersuara dalam buku ini
adalah mereka yang memiliki harapan supaya didengar, baik untuk kalangan yang
paling terdekat seperti keluarga, orang-orang terkasih, baik yang masih hidup maupun
yang entah di mana, yang telah tiada, keluarga jendral korban G30S, serta masyarakat yang
memandang sebelah mata organisasi gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sepuluh
orang yang mengalami kekejaman di sini tidak semua terlibat dalam Gerwani.
Terlebih dahulu di dalam kata pengatar buku
ini diberi sebuah wacana kepada pembaca seperti apa kegiatan Gerwani. Gerwani
adalah organisasi yang diwadahi oleh PKI tahun 50, yang sebelumnya dinamakan Gerakan
Wanita Sedar
(Gerwis). Dijelaskan bahwa Gerwani berjuang untuk masalah-masalah sosial,
perjuangan hak kerja, tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dan
laki-laki. Perjuangan Gerwani berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan
juga untuk sosialisme. Kader-kader Gerwani bergerak merambah ke pelosok daerah
dengan tujuan untuk memberantas buta aksara pada kalangan kaum perempuan.
Organisasi
yang sangat Ibuisme ini memberi kekuatan dalam keluarga seperti pendidikan
terhadap anaknya yang kelak berguna bagi tujuan revolusioner Soekarno, sehingga
hubungan antara keduanya menjadi erat[1].
Dengan kata lain, gerakan Gerwani ini dapat dikatakan keibuan yang militan yang
menggabungkan fungsi ibu rumah tangga dan perempuan aktivis politik sekaligus. Kekuatan perempuan di ruang domestik menyusun kekuatan
di
sisi eksterior inilah yang diebut “home”pada istilah Sara Upston.
Singkatnya pada tahun 1965 kekuasaan Soekarno
kian melemah disebabkan menurunya kesehatan. Pada waktu itu, telah terjadi enam
kali percobaan pembunuhan yang membuka peluang bagi mereka yang haus akan
kekuasaan. Puncak dari ketegangan pada waktu itu ketika perwira Angkatan Darat
Letkol Untung melancarkan putsch militer berujung pada tragedi Lubang Buaya.
Jasad-jasad yang ditemukan di dalam sumur Lubang Buaya tidak jauh dari lapangan
tempat Gerwani yang sedang melakukan latihan menjadi sukarelawan kampanye “Ganyang
Malaysia”.
Kata
Pengatar buku ini mengutip dua buku yang mendorong pertanyaan besar kepada pembaca
untuk membuka sudut pandang baru. Kutipan yang digunakan adalah tulisan dari
Anderson dan McVey (1971) menyatakan bahwa Soekarno mengangkat jendral yunior
bernama Pranoto Reksosamudro. Kemudian diteruskan dari kutipan Crocuh yang
menyatakan Soeharto mengabaikan perintah Presiden dengan mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (1978:132). Dua
kutipan ini seakan menggiring pembaca mengarah pada sebuah “kudeta” yang
dilakukan oleh oknum berkuasa untuk menggantikan kekuatan Soekarno yang besar. Terlihat
dua minggu kemudian Soeharto menggantikan Pranoto yang kemudian diikuti
kampanye propaganda dan pembantaian besar-besaran.
Fokus
pada buku ini adalah penderitaan yang dialami sepuluh perempuan yang bernama
Rusminah (Ibu rumah tangga, istri dari sekertaris CSS PKI), Partini (Aktivis
Gerwani), Yanti (Ibu rumah tangga), Maryati (Anggota Gerwani), Sukarti (Penjual
makanan), Sudarsi (Aktivis-Mahasiswa), Sus (Dosen Universitas), Suprapti
(Aktivis BTI), Badriyah (aktivis Gerwani), dan Darmi (Penari Bali). Tujuan dari
buku ini adalah untuk menghentikan “politik pembisuan” dengan metode perekaman
dan pencatatan. Secara garis besar mereka mengisahkan pengalaman kebiadaban
yang dilakukan oleh tentara-tentara pada saat itu dan secara lirih berusaha
ingin menghilangkan labeling eks-tapol yang bejat dan kejam. Ketika membaca
kisah tersebut dengan melibatkan imajinasi, saya merasakan betapa perihnya
hari-hari yang dijalani oleh para eks-tapol dan bagaimana rasa sepi yang
dialami karena harus tercerai dari keluarganya. Saya mencium aroma yang kuat dari
buku tersebut yaitu dominasi maskulin (dalam istilah Bordeau)[2] (2010:42-43)
yang menempatkan perempuan
sebagai lambang status sang pria, menggeser tempat wanita dari kedudukan subjek
menjadi objek. Terlihat jelas sekali dalam pengantar yang ditulis Prof. Dr.
Saskia E. Wieringa University of Amsterdam memberikan uraian yang diberi judul Sexual
Politics and the New Order of President Soeharto.
Kebiadaban
tentara yang dinarasikan dari pertama kali oleh Rusminah diberi judul “Akhirnya
Pemerkosa Itu Jendral Pensun” secara singkat, ketika suaminya yang bernama
Sutarto menghilang tanggal 25 September, Rusminah diseret dua orang tentara setelah
mengobrak-abrik dan membakar rumah pada tanggal 1 Oktober. Setiap malam
Rusminah harus melayani napsu seks pada siapa saja yang saat itu menjalankan tugas,
termasuk seorang Perwira Angkatan Darat bernama Sujari. Perwira tersebut
menikmati tubuh Rusminah dan menjadikannya sebagai tahanan rumahnya sekaligus
merangkap gundik plus yang tidak digaji. Setelah melahirkan dua anak perempuan
dan laki-laki ternyata setatusnya tidak juga kembali, yang terjadi adalah salah
satu anaknya dibawa pergi. Kisah yang hampir serupa dialami Sus “Membuang
Jati Diri Demi Harkat dan Martabat” melalui kekuasaan yang dimiliki Letnan
Sutrisno menjadikan tubuh Sus sebagai objek yang digunakan sebagai pemuas napsu
seks. Sutrisno membawa Sus ke Palangkaraya Kalimantan. Sus dijadikan sebagai
tahanan dan gundik yang hampir setiap malam tubuhnya digunakan sebagai pemuas
napsu. Sus akhirnya beranak dua dan ditinggalkan. Munculnya
gundik atau munci karena perempuan kalah total, tidak memiliki power
untuk melawan kekuasaan karena kehilangan identitas, dan lingkungan tidak lagi
menerimanya.
Kisah
Partini dengan judul “Perempuan Eks-Tapol Sampah Segala Sampah”. Ketika sedang
menyusui anaknya berumur satu minggu, Ia bingung kenapa diseret lima orang
tentara. Peristiwa G30S jutru sama sekali tidak diketahui. Diceritakan darah
pasca melahirkan masih mengucur, ia diperkosa tanpa ampun sampai berkali-kali
pingsan. Kemudian pada tulisan “Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan”
dari kisah Yanti yang ditangkap ketika berusia 14 tahun duduk di bangku SMP. Diawali
seorang teman yang mengajak mengikuti pelatihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya. Singkatnya, tentara-tentara datang pada pagi buta, mereka terus
memukul dan menelanjangi selama dua hari dua malam dan di jemur di lapangan. Tentara
yang berkuasa mengusap-usap payudara dengan bebas, menusuk ujung laras ke kemaluan,
bahkan memerkosanya di lapangan terbuka. Kisah Yanti ini dekat sekali dengan
apa yang dimunculkan pada mural Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya yang divisualkan
yaitu Jendral yang dikelilingi sosok perempuan seksi, digambarkan bersikap
kurang ajar, perempuan menari, dan salah seorang membawa bunga yang dikenal
dengan istilah “Tarian Gugur Bunga”. Penuturan Yanti pada buku tersebut karena ia
didesak untuk mengaku di depan wartawan dan juru foto. Yanti dijadikan salah
satu alat untuk membuka mata masyarakat atas kekejaman PKI dengan mengatakan
“Iya”. Mengiyakan bahwa mereka telah melakukan penyiksaan terhadap para
jendral, menyayat-nyayat dengan mengunakan silet, memotong kemaluan, dan menari
“Harum Bunga” sambil telanjang. Melalui tulisan ini, Yanti memiliki keinginan
untuk memberi tahu setidaknya kepada keluarga Jendral bahwa hal tersebut tidak
pernah mereka lakukan. Menurut Jhon Roosa (2008:xx) Visum et Repertum yang
dilakukan dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terhadap
jasad perwira tidak diumumkan oleh pemerintah Soeharto. Salinan laporan visum
tersembunyi hingga 1980-an, ketika dokumen tersebut ditemukan oleh ilmuan dari
Cornell University. Perwira tersebut dibunuh oleh tembakan-tembakan dan luka
tertusuk bayonet, mereka tidak diiris ribuan kali, tidak dicungkil matanya, dan
tidak pula dimutilasi.
Enam kisah
yang lain tidak terlepas dari malam-malam panjang yang diciptakan
tentara-tentara pencari “Bon Malam”. Tawanan tidak dapat mengelak
praktik-praktik kekejaman yang beraneka macam bentuknya seperti, penelanjangan,
pemerkosaan beramai-ramai, menylomoti payudara dengan api-rokok, kekerasan
mental, dipendam, dikencingi di tengah hutan, perkosa bergilir di depan suami,
dicambuk, penyetruman dengan logam yang berbentuk cincin disambungkan dengan
generator kemudian dimasukan ke organ vital dan diletakan di puting payudara
sampai ada yang mengalami kelumpuhan (perusakan organ seksual dengan banda apa
saja). Kekejaman yang dilakukan para tentara membuat wanita ekstapol pada titik
tertentu muncul perasaan menyesal karena memiliki bagian tubuh yang menjadikan
dirinya sebagai objek. Diri yang menjadi objek ini karena memiliki vagina dan
payudara. Perasaan untuk menghilangkan trauma tersebut yaitu keinginanya
menghilangkan kelemahan, sehingga terbebas dari
cengkraman laki-laki yang hendak menguasai dirinya atau pada khususnya bagian
tubuh tertentu yang dapat memicu sebuah ingatan pahit. Setelah pada tahun
kebebasan, ternyata mereka tidak benar-benar bebas. Kehilangan identitas membuat
mereka berjuang dari bawah. Perempuan menjadi objek dan terkadang-kadang
sekaligus menjadi subjek dari proses pembentukan maskulinitas seorang kekuasaan
laki-laki.
Nb: Itta F. Nadia lahir di
Yogyakarta 13 November 1985. Alumnus Jurasan Sejarah Fakultas seni dan Budaya
UGM . Aktif di Kalyanamitra, pusat dokumentasi dan informasi untuk perempuan,
Yayasan Pondok rakyat, serta pernah menadi anggota Komnas Perempuan (1998-2006)
Daftar
Pustaka
Weringa,
Saskia E. 2007. “Suara Perempuan Korban Tragedi 65”. Yogyakarta: Galang
Press.
Roosa,
John. 2008. “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto”. Jakarta: Hasta Mitra.
Bourdieu,
Pierre. 2010. “Dominasi Maskulin”. Yogyakarta:
Jalasutra.
Upstone,
Sara. 2009. “Spatial Politics in the Postcolonial Novel”. London and
Burlington VT: Ashgate Publishing,
Ltd.
Yulianto,
Vissia Ita. 2007. “Pesona ‘Barat’Analisis Kritis Historis Tentang Kesadaran
Warna Kulit di Indonesia”.Jalasutra: Yogyakarta.
[1] Setelah revolusi 45 pada tahun 46 di Yogya Soekarno
memberikan kuliah Informal pada perempuan. Pada tahun 50, Gerakan wanita Sedar
(Gerwani) didirikan kembali setelah
organisasi yang sebelumnya bernama istri sedar yang dibubarkan Jepang. Anggota
Gerwis mereka yang hampir semua berpendidikan dan melek politik. (Vissia Ita, hlm. 93)
[2] Pierre-Féllix
Bourdieu adalah seorang filsuf terkemuka Prancis. Lahir di desa Denguin, di
Distrik Pyrénées-Atlantiques, barat daya Prancis pada tanggal 1 Agustus 1930,
dan meninggal pada tanggal 23 Januari 2002. Dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog,
dan (pada masa akhir hidupnya) dikenal sebagai jawara pergerakan
antiglobalisasi. Karyanya memiliki cakupan bahasa yang luas, mulai dari
etnografi, seni, sastra, pendidikan, selera kultural, dan televisi.
0 komentar:
Posting Komentar