Rabu, 28 November 2018

Berkenalan dengan Teori


Berkenalan dengan Teori

Oleh Ari Prastyo Nugroho

Sebermula adalah obrolan dengan kawan-kawan, dari acara ke acara dan tersendat di bangku kuliah. Pengalaman saya berkenalan dengan beberapa teori, terutama yang pascastruktural, justru dari cerita kawan-kawan yang tentunya lebih senior dalam hal menempuh pendidikan tinggi. Saya hanya mendengarkan, mereka menceritakan beberapa teoritikus sastra sekaligus apa saja konsep-konsep yang ditawarkan. Sambil minum kopi atau diselingi obrolan ringan di sebuah warung makan, saya tidak dengan segera paham apa yang dibicarakan tadi. Saya harus menyimpannya dalam jangka waktu cukup panjang agar perlahan saya mengerti sedikit. Entah kebetulan atau tidak, acara-acara diskusi yang saya datangi pernah memperkenalkan beberapa teori yang sayangnya tidak pernah saya dapat ketika kuliah strata satu. Waktu itu berturut-turut seingat saya, dari mulai wacana Focault, Fenomenologi Husserl, Arena kultural Bourdiaeu, Ruang dalam kerangka Sara Upstone, dan simulacrum Jean Baudrillard.

Dalam perjalanan kemudian saya mendengar cerita dari kawan-kawan tentang Dekontruksi Derrida, Hibriditas Homi K Bhabha, fungsi pelaku cerita Vladimir Propp, dan reportoar Wolfgang Iser. Jangan dibayangkan penerimaan tersebut komprehensif, saya hanya menangkap sepotong-potong dan apabila dicoba-terapkan ke dalam karya sastra hanya terkesan agar wangun. Setelah merefleksi dari deretan tersebut, almamater saya tidak lebih dari jurusan tanggung dalam konsentrasi keilmuan: tidak juga ditekankan kependidikan, bahasa sedikit-sedikit, apalagi soal sastra. Bahkan ketika akan ada penelitian karya Pramudya Ananta Toer saja mesti diganti dengan objek yang lain.

Apalagi setelah saya diberi kesempatan belajar di universitas yang benar-benar Universitas Gambar Matahari (UGM), sulit dibayangkan jika di almamater sebelumnya (mesti) mempelajari teori-teori yang basisnya adalah Marxis atau pemikir-pemikir postmarxis. Satu per satu, beberapa nama yang telah disebut di atas dibahas lebih dalam di UGM. Kemudian saya seperti mendapat peta konsep yang belum saya temukan sebelumnya tentang teori-teori yang berkembang. Ada dua pandangan terhadap karya sastra, mungkin juga terhadap dunia, yaitu strukturalisme dan pascastrukturalisme.

Strukturalisme memilik akar yang cukup kuat pada formalisme yang berkembang di Rusia pada tahun 1910. Formalisme Rusia merupakan  teori di Rusia yang menitikberatkan analisisnya pada unsur-unsur formal karya sastra, khususnya yang memiliki kekhasan karya sastra (literariness). Karya sastra dianggap bentuk yang otonom. Teori ini menggunakan analisis ilmiah dan objektif  karena pembahasannya didasarkan pada fakta-fakta yang ada pada karya sastra, bukan pengarang, konteks masyarakat, atau pun pembaca. Aliran ini menerapkan linguistik pada kajian sastra yang berfokus pada struktur bahasa.  Dari formalisme Rusia kemudian berkembang menjadi Strukturalisme Praha, dan berkembang cukup pesat yang disebut Strukturalisme Prancis setelah Todorov menerbitkan buku yang berjudul Theori  de la Litterature pada tahun 1965. Dalam perkembangan kritik sastra Indonesia, Aprinus Salam mengatakan tokoh yang cenderung menggunakan teori-teori strukturalisme adalah H.B Jassin pad kisaran tahun 1970 sampai dengan 1980-an. Pandangan yang dimaksud terhadap teori tersebut adalah yang berkaitan dengan analisis-analisis intrinsik yang menjelaskan struktur karya dan diikuti semacam penghakiman kualitas estetis karya sastra. Sifatnya yang otonom, instrinsik, dan struktur menjadikan teori ini seakan terlepas dari realitas sosial. Kajian strukturalis dianggap berguna bagi pengembangan pengetahuan teknik-teknik para sastrawan. Namun, pada dasarnya kritik sastra lebih dikembangkan agar menjadi jembatan antara karya dengan pembaca, kemudian ditarik lebih jauh adalah pemahaman pembaca terhadap karya bisa mengantarkan ke konteks sosial. 

Atas dasar asumsi yang terakhir, menurut saya kemudian muncul pandangan baru yang disebut pascastrukturalisme. Pandangan ini berdasar kepada strukturalisme namun dengan menawarkan perbaikan kritis yang cenderung dengan nada menentang. Pada masa kini perkembangan kata pasca- atau post terasa begitu masif yang melekat pada kata kolonialisme, feminis, memori, truth, struktulisme dan seterusnya. Kita memasuki era pasca. Bisa kita amati dalam pandangan Derrida ketika menolak pendapat Sausure tentang fonosentrisme bahwa bahasa adalah bunyi. Begitupun hubungan antara penanda dengan petanda terasa kaku. Dalam pengertian yang lebih luas, pascastrukturalisme menentang logosentrisme, yakni ikhwal “pusat”. Bahasa yang awalnya tertutup, stabil, kemudian bergerak menjadi bahasa yang terbuka dan instabil. Persoalan ini juga ditegaskan karena bahasa bersifat arbitrer. Kontruksi bahasa kadang dari ideologi tertentu kemudian seolah diterima secara universal dan alamiah. Pandangan mapan seperti ini yang coba dikritisi oleh pascastrukturalisme.

Menurut Salam,  pada tahun 1980-an merupakan masa perpindahan penelitian struktural ke pascastruktural atau sosiologi sastra. Karya sastra kemudian ditempatkan sebagai data sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, gender, dan persoalan kontekstual lainnya. Penelitian yang baru kemudian yang bisa saya disebut adalah Arena Kultural Emha Ainun Nadjib oleh Latief S Nugraha, Konstruksi Tubuh Puisi Joko Pinurbo oleh Dwi Raharyoso, Reportoir Novel Yin Gamela oleh Iqbal Saputra, Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Indonesia, Subjektivitas Pramudya Ananta Toer dengan Novel Perburuan oleh Ramayda Akmal, Paradoks Narasi Penyelamatan Keseimbangan Ekosistem Dalam Novel Kailasa Karya Jusuf An Kajian Ekokritik oleh Widya Prana Rini, dan beberapa penelitian setelahnya.

Dari perkenalan dan pertemuan lebih lanjut dengan nama-nama di atas, ada yang perlu diperhatikan. Ibarat seseorang sudah mempunyai pisau bedah (sebagai alat) tapi belum bisa menggunakannya (aplikasi), objek materiil seagung apapun barangkali hanya akan jadi artifak. Persoalan ini kemudian yang saya temui ketika berhadapan dengan Fredric Jameson seorang post-Marxis dengan teori materialisme cultural.  Jameson berdiri di atas 3 pemikir; Marxis, Lacan, Freud, dan pemikiran posmodernisme. Konsepnya yang menarik dituangkan dalam tiga langkah yakni Narasi sebagai Tindakan Simbolik, Ideologeme, dan Ideologi bentuk. Asumsi dasar dari pemikiran Jameson adalah karya sastra adalah tindakan simbolik sosial dalam konteks sejarah tertentu. Teks memiliki relasi dengan formasi-formasi sosial di mana bentuk kultural tersebut muncul. Karya sastra terdiri dari mainteks dan subteks. Kerja Jameson cenderung untuk menemukan peristiwa atau pengalaman yang terepresi yang disebut sebagai substeks. Dalam prosesnya Jameson meminjam konsep Freud tentang Id untuk mengungkap ketidaksadaran politik (Political Uncosious).

Share:

0 komentar:

Posting Komentar