PUISI
YANG MENCARI JALAN SUFI
Oleh:
Enggar Jiwanto
Sudah
banyak puisi-puisi sufistik ditulis oleh para penyair. Puisi sufikstik
sebagaimana menurut Abdul Hadi WM adalah upaya untuk membuat pembaca memasuki
wilayah puitik untuk merasakan suasana spiritual yang dialami oleh sang
penyair. Lantas, apakah boleh jika puisi yang akan kita bahas kali ini dapat
dikategorikan sebagai puisi sufistik?
Dalam
sejarahnya, puisi sufi banyak diperkenalkan oleh para penyair Arab dan Persia
sebagai salah satu cara melestarikan nilai-nilai keagamaan atau ajaran-ajaran
dalam kitab suci mereka. Para penyair sufi berupaya menulis dengan nilai-nilai
luhur
atau menggunakan pendekatan yang dinamakan: Tasawwuf atau suffisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi). Pendekatan yang lain mengatakan bahwa: “ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari kata suf, bahasa arab untuk wol, merujuk pada jubah sederhanayang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah Safa, yang berarti kemurnian. Hal inimenaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa kata tasafu berasal dari bahasa Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. (Sayangbati: 2013)
atau menggunakan pendekatan yang dinamakan: Tasawwuf atau suffisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi). Pendekatan yang lain mengatakan bahwa: “ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari kata suf, bahasa arab untuk wol, merujuk pada jubah sederhanayang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah Safa, yang berarti kemurnian. Hal inimenaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa kata tasafu berasal dari bahasa Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. (Sayangbati: 2013)
Dalam
kesempatan kali ini, ada dua puisi karya Aditya Dwi Yoga, selanjutnya Adit yang
mana saya lebih tertarik untuk mencari makna dari sajak-sajaknya. Puisi pertama
berjudul “Menujumu” Dan “Hijan Telah Reda.”
Langsung
saja, pertama terkait judul “Menujumu.” Penyair di sini saya acungi jempol
terkait dengan judul itu sendiri. “Menujumu” dalam puisi ini bisa memiliki dua
makna, pertama hubungan secara horizontal dan kedua hubungan secara vertikal.
Tapi ternyata “mu” dalam puisi karya Aditya Dwi Yoga selanjutnya Adit cukup
rancu. Karena yang dituju ternyata bukan “Mu” yang menjelaskan hubungan secara
horizontal. Apakah puisi ini tentang kegalauan sang penyair (Adit)? Karena
keterkaitan “mu” di sini dijelaskan pada baris pada sajak-sajaknya yang
memiliki hubungan secara vertikal.
Dijelaskan
pada baris aku bergerak ke arahmu, panggilanmu yang lantang berdengung
membentur gugus karang yang kasar, o,
tubuhmu yang terkapar dan dan aku
menyusulmu.
Bagi
saya, seorang penyair yang memutuskan untuk menciptakan puisi yang beraliran
sufi setidaknya harus mengetahui seluk beluk dirinya sendiri. Sebab untuk
mencapai “Mu” seseorang harus mampu mengalahkah dirinya sendiri, terutama
nafsunya. Sebagaimana adagium ilmu tasawuf: Untuk mengetahui Tuhan, mesti
mengetahui dirinya sendiri.
Sedangkan
dalam puisi ini, menurut saya, tidak ada jalan yang relevan untuk menuju “Mu”
yang sebenarnya. Apakah penyair sendiri sadar akan hal itu? Karena pada
hakikatmya, kita adalah hamba dan yang dituju adalah Tuhan. Jadi, kita harus
mampu menempatkan diri yang pantas sebagai hamba.
Dalam
puisi ini penyair (Adit) sepertinya memang dengan sadar tidak ingin menciptakan
puisi yang berkaitan dengan Tuhan sebagaimana puisi-puisi sufistik. Kenapa
tidak memilih judul yang lain, selain “Menujumu.” Misalnya “Perjalanan” atau
yang lain.
Mungkin,
jika penyair sendiri memilih judul yang tepat akan lebih istimewa puisinya. Sebab
dari baris-baris puisinya belum menjelaskan atau memberikan makna tentang
ketuhanan. Di sini saya melihat atau merasakan kegalauan dari keseluruhan
puisinya. Seperti, mengejar kepergian kekasihnya dan “aku” di sini ingin
mengejarnya.
Kali
ini boleh kita membandingan puisi karya Adit dengan karya Abdul Hadi WM yang
berjudul “Jalan Ke Pantai” dalam antalogi puisinya yang berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat.
JALAN
KE PANTAI
Jalan
ke pantai dari rumahku
kecil
berkerikil, namun terasa lebar
jika
kujejakan kaki menghidupkan nafas pasir
duri-duri
semak selalu berkisah –
sumur-sumur
tak pernah kering
di
tengah ketandusan. Luka
Tak
terasa sebagai luka bila tercium
harum
darah kembang kembang kaktus liar
Dan
usia membuang semua usianya
Akar-akar kebebasan bangkit kembali
dan
tunasnya menghijau menyikap cakrawala
Apa
yang mesti kucemaskan?
Telah
banyak hari-hari kulalui
Telah
banyak hari-hari melaluiku
Melalui
semak-semak, duri-duri
Melalui
jalan ke pantai dari rumahku
Membawa
langit, membentang langit
Menuntun
anak pada ibunya
Kelopak-kelopak
mawar kepada sari-sari bunga.
1991
Di
sini saya merasakan sekali bahwa kita yang kesepian sebagai hamba dan merasakan
kehadiran Tuhan yang begitu dekat. Sedikit berbeda dengan karya milik saudara
Adit. Meski saya merasakan kesendirian, tapi tidak menghadirkan Tuhan di
dalamnya.
Sebenarnya
dalam kedua puisi tersebut seperti memunculkan sebuah kehilangan. Tapi saya
lebih merasakan kepasrahan hamba pada Tuhan sebab hari-hari yang telah dilalui
dan melalui, seperti dalam puisi karya Abdul Hadi WM. Sedangkan dalam karya
Adit, saya hanya merasakan sebuah kehilangan seorang kekasih dan penyair,
selanjutnya Adit, pasrah pada Tuhan karena kehilangan kekasihnya. Sedangkan
dalam puisi “Jalan Ke Pantai” penyair benar-benar pasrah akan dirinya pada
Tuhan sepenuhnya, bukan karena seorang kekasih, tapi sebab apa yang telah ia
lalui semasa hidup dan ingin kembali pada Tuhan yang dirasa sangat dekat.
Ada yang bisa memperbaiki, lebih ringan dan lebih fleksibel
BalasHapusssttt, bisik.
BalasHapus