Kaca
Pertama Dalam Cerpen berjudul Cerita Sebelum Tidur
Oleh
Melia Tri Pamungkas
Disadari atau tidak, setiap tukang cerita tentu telah
meneladani kecerdasan Syahrazad. (Damhuri,
M. 2010: 109). Pernyataan
ini bisa dikatakan bahwa Mohammad Diponegoro mempunyai kesamaan pendapat.
Rahasianya terletak dalam teknik dasar menuturkan cerita. Scheherazade menguasi
teknik itu. (Diponegoro, M. 1994: 64). Begitu kira-kira pendapatnya.
Apa maksudnya? Dalam dunia cerpenis, Scheherazade
tentu tidaklah asing dalam kisahnya. Yakni cerita bersambung dengan judul Seribu Satu Malam ini secara tidak
langsung
memberi catatan bagi cerpenis muda ataupun cerpenis pemula yang akan
memulai menjunjung karyanya. Singkat cerita, Scheherazade berkisah tentang kecerdasannya
menghadapi seorang raja antifeminis yang menjadikannya seorang istri. Ia
menghindari kebiasaan kisah suaminya yang setiap kali menikah, pada malam
pertama ia langsung membunuh sang istri. Scheherazade sejak malam pengantin, ia
mengisahkan sebuah cerita yang mengasikkan dan bersambung, hingga sang suami
terus dibuatnya penasaran dengan kisah selanjutnya. Hal tersebut membuatnya
menunda untuk memenggal leher sang istri. Cerita itupun Scheherazade lakukan
berturut-turut hingga seribu satu malam.
Tidak lain maksud dari pernyataan tersebut adalah
mengenai tema cerita. Scheherazade
pintar dalam kemampuannya menuturkan sebuah cerita. Tema, menjadi suatu
alasan sebuah cerita tercipta. Salah satunya dapat di mulai dari paragraf
pertama yang lengkap. Pembaca harus sekaligus tertarik oleh paragraf pertama
sehingga ia ingin membaca kelanjutannya (Diponegoro, M. 1994: 66). Karena dalam
karya seni, yang sangat penting adalah bengkitnya tanggappan emosional dari
penikmat seni (Diponegoro, M. 1994: 67). Dengan kata lain, penulis mempunyai
tuntutan untuk mengajak pembaca merasakan konflik yang ada dalam cerita.
Mengutip pendapat M. Diponegoro bahwa konflik
jenis manapun yang akan anda tulis, ingatlah bahwa makin kuat konflik itu,
makin besar daya pikat ceritanya. Secara tidak langsung akan timbul
komunikasi antara tanggapan pembaca mengenai responnya terhadap karya yang
diciptakan penulis. Konflik itu harus dirasakan oleh pembacanya. Hal ini
sedikitnya dapat membantu mengukur sejauh mana keberhasilan karyanya. Inilah
yang dilakukan Scheherazade dalam menegaskan tekniknya bercerita.
Tidak ada yang dapat menghitung berapa jumlah kisah
yang ada dalam lingkup realitas kehidupan, apa lagi dimaksudkan untuk dibungkus
dalam bentuk karya sastra. Ide cerita, tema, konflik, tokoh dan jajarannya
semua dapat dipetik dengan gratis lewat kaca realitas kehidupan. Dalam berbagai
macam peristiwa dengan sifatnya seperti peristiwa unik, bahagia, menggelitih,
kesediahan dan lainnya.
Cerita Sebelum Tidur, oleh Mowone. Adalah judul dari cerita pendek yang
sudah tercipta oleh Ihsan Handayani. Ia mengangkat sebuah tema yang bertajuk
realitas kehidupan. Penulis menumpahkan idenya melalui tokoh yang ia ciptakan
bernama Karyo. Dengan konflik yang ia bangun di dalamnya.
Sebelum masuk pada pembahasan tersebut. Pertama
lihatlah judul cerita pendek tersebut. Selanjutnya baca paragraf pertama.
Sebelum menyelam lebih dalam pada paragraf selanjutnya:
Cerita Sebelum Tidur
“Jika sebuah negara dengan sengaja dibuat
mati dalam nalar berpikirnya, mudah saja
disetir dengan maksud menghancurkannya. Maka cara lama akan digunakan tanpa ada
orang yang sadar. Dan sekarang orang pun sulit percaya dengan orang lain.Entah
kapan permasalahan ini berakhir, Bon”, Setelah itu apa yang terjadi dengan Karyo,
Kek?
Paragraf tersebut melahirkan beberapa pertanyakan seperti;
isi cerita bagian mana yang berhubungan dengan judul? Siapa yang sedang
bercerita? Siapa yang hendak tidur? Siapa yang suka mendengarkan cerita sebelum
tidur? Apakah setelah mendengarkan cerita, ada seseorang yang benar-benar
lantas tertidur? Atau bahkan kapan
cerita di ceritakan?
Sebenarnya banyak pertanyaan yang dapat timbul ketika
mengaitkan antara judul dan pembuka cerita. Pertama, hal ini dapat terjadi
karena cara penulisan yang dibuat oleh penulis. (lihat pada kutipan yang di
tebalkan). Penulis menyambungkan dialog tersebut dalam satu kesatuan pada
dialog sebelumnya. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan seperti pada paragraf
sebelumnya. Entah penulis kurang cermat atau sejenisnya. Namun beruntung masih
tertolong pada cantuman suatu panggilan pada seorang tokoh dalam cerpen.
Seperti Bon dan Kek.
Dengan begitu, berhati-hati dengan tata cara penulisan
memang penting. EYD dan jajarannya. Akan banyak timbul kemungkinan persepsi
dari pembaca yang bahkan melenceng jauh dari apa yang diharapkan oleh si
penulis. ^^
Kedua, penulis membuat karya ini dengan akhir yang
terbuka. Sebagai contoh kutipan pada paragraf pertama.
“Setelah itu apa yang terjadi dengan
Karyo, Kek?”
Berikut di atas adalah pertanyaan dari seseorang yang
di panggil dengan panggilan depannya yakni “Bon”. Pertanyaannya telah langsung
dijawab oleh lawan bicaranya (baca:kakek). Namun pembaca dibuat penulis mengapresiasikan sendiri bagaimana tanggapan
dari “Bon” atas jawaban Kakek pada paragraf terakhir dalam cerita pendek ini.
Tentu sebelumnya dengan cara penulisan yang mungkin di maksudkan oleh penulis
kira-kira seperti ini:
“Jika
sebuah negara dengan sengaja dibuat mati
dalam nalar berpikirnya, mudah saja disetir dengan maksud
menghancurkannya. Maka cara lama akan digunakan tanpa ada orang yang sadar. Dan
sekarang orang pun sulit percaya dengan orang lain. Entah
kapan permasalahan ini berakhir, Bon” (berisi
pengantar pertama obrolan kakek kepada Bon, atau semacamnya).
“Setelah itu apa
yang terjadi dengan Karyo, Kek?” (baru mendapat
tanggapan dari Bon).
***
Menulis cerpen bagi Welty (Diponegoro, M. 1994: 18)
sudah mendekati semacam naluri. Waktu mulai menulis sebuah cerpen, ia sudah
menyadari bentuk dan tujuan dari cerpen itu. Menurut pendapatnya, akhir suatu
cerpen seharusnya sudah terkandung dalam permulaannya. Jika akhir cerpen tidak
kedapatan dalam pembukaannnya. Kita tidak tahu kearah mana cerpen itu akan di
garap.
Dilihat dari paragraf pertama penulis berhasil membuat
bingung pembaca, dan membiarkan pembaca menafsirkan sendiri bagaimana alur
selanjutnya. Hal itu semata dikarenakan cara penulisannya. Penulis perlu mengenal teknik Scheherazade.
Masuk ke pembahasan selanjutnya. Mengenai konflik yang
dibangun penulis melalui tokoh bernama Karyo. Penulis membungkusnya dengan
menghidupkan cerita di dalam cerita. Yakni tokoh Karyo di ceritakan oleh
seorang tokoh yang juga berada di dalam cerpen itu (baca;kakek).
Konflik yang di angkat adalah mengenai realitas
kehidupan. Hal ini satu pendapat pada pernyataan Endraswara dalam bukunya Teori
Kritik Sastra hlm. 129 yakni, sastra lahir dari luapan psikologi pengarang.
Jiwa pengarang berupaya menangkap gejala di dunia sekitarnya, lalu diresepsi,
dan di ekspresikan lewat gagasan. Gagasan di rangkai melalui kata-kata indah.
Kata adalah pembungkus jiwa. Perhatikan kutipan cerita pendek karya Ihsan
berikut.
“Kita sekarang sudah seperti akan kembali ke jaman penjajahan Kek.Negara
kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera dijatuhkan”.
Kakek
itu pun mulai geram
“Dasar
Gila!”
Penulis mengangkat tema yang dibawa oleh tokoh Karyo
mengenai pikirannya yang akan kembali ke jaman penjajahan. Dengan segala yang
di ucapkannya dengan berteriak, hingga di anggap gila oleh seseorang yang
meresponnya.
Karyo berlari
sambil berteriak-teriak setelah keluar Warnet. …..
Pembaca di ajak mengikuti kegelisahan yang dirasakan
oleh Karyo.
“Bahaya Kek. Kita
akan mati. Sebentar lagi kita akan hancur lebur. Kakek sebaiknya berlindung,
jika masih kuat, Ayo berjuang untuk menjadi relawan bela negara kek.
Dan beberapa dialog pimpong yang di lakukan oleh Karyo
dengan tukang sapu. Sebenarnya hal tersebut bisa jadi dapat menumbuhkan konflik
baru. beberapa persoalan yang terdapat dalam cerita ini dapat lebih di perkuat
lagi untuk membuat cerita lebih menarik. Tentunya dengan bahasa penulisan yang
dapat menjadi pendukung. J selamat!
***
Sekian, dengan
segala kekurangan mohon maaf dan terimakasih, semoga dapat bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar