Jumat, 23 Januari 2015

ESAI "KACA PERTAMA"



Kaca Pertama Dalam Cerpen berjudul Cerita Sebelum Tidur

Disadari atau tidak, setiap tukang cerita tentu telah meneladani kecerdasan Syahrazad. (Damhuri, M. 2010: 109). Pernyataan ini bisa dikatakan bahwa Mohammad Diponegoro mempunyai kesamaan pendapat. Rahasianya terletak dalam teknik dasar menuturkan cerita. Scheherazade menguasi teknik itu. (Diponegoro, M. 1994: 64). Begitu kira-kira pendapatnya.
Apa maksudnya? Dalam dunia cerpenis, Scheherazade tentu tidaklah asing dalam kisahnya. Yakni cerita bersambung dengan judul Seribu Satu Malam ini secara tidak langsung
memberi catatan bagi cerpenis muda ataupun cerpenis pemula yang akan memulai menjunjung karyanya. Singkat cerita, Scheherazade berkisah tentang kecerdasannya menghadapi seorang raja antifeminis yang menjadikannya seorang istri. Ia menghindari kebiasaan kisah suaminya yang setiap kali menikah, pada malam pertama ia langsung membunuh sang istri. Scheherazade sejak malam pengantin, ia mengisahkan sebuah cerita yang mengasikkan dan bersambung, hingga sang suami terus dibuatnya penasaran dengan kisah selanjutnya. Hal tersebut membuatnya menunda untuk memenggal leher sang istri. Cerita itupun Scheherazade lakukan berturut-turut hingga seribu satu malam.
Tidak lain maksud dari pernyataan tersebut adalah mengenai tema cerita. Scheherazade  pintar dalam kemampuannya menuturkan sebuah cerita. Tema, menjadi suatu alasan sebuah cerita tercipta. Salah satunya dapat di mulai dari paragraf pertama yang lengkap. Pembaca harus sekaligus tertarik oleh paragraf pertama sehingga ia ingin membaca kelanjutannya (Diponegoro, M. 1994: 66). Karena dalam karya seni, yang sangat penting adalah bengkitnya tanggappan emosional dari penikmat seni (Diponegoro, M. 1994: 67). Dengan kata lain, penulis mempunyai tuntutan untuk mengajak pembaca merasakan konflik yang ada dalam cerita. Mengutip pendapat M. Diponegoro bahwa konflik jenis manapun yang akan anda tulis, ingatlah bahwa makin kuat konflik itu, makin besar daya pikat ceritanya. Secara tidak langsung akan timbul komunikasi antara tanggapan pembaca mengenai responnya terhadap karya yang diciptakan penulis. Konflik itu harus dirasakan oleh pembacanya. Hal ini sedikitnya dapat membantu mengukur sejauh mana keberhasilan karyanya. Inilah yang dilakukan Scheherazade dalam menegaskan tekniknya bercerita.
Tidak ada yang dapat menghitung berapa jumlah kisah yang ada dalam lingkup realitas kehidupan, apa lagi dimaksudkan untuk dibungkus dalam bentuk karya sastra. Ide cerita, tema, konflik, tokoh dan jajarannya semua dapat dipetik dengan gratis lewat kaca realitas kehidupan. Dalam berbagai macam peristiwa dengan sifatnya seperti peristiwa unik, bahagia, menggelitih, kesediahan dan lainnya.
Cerita Sebelum Tidur, oleh Mowone. Adalah judul dari cerita pendek yang sudah tercipta oleh Ihsan Handayani. Ia mengangkat sebuah tema yang bertajuk realitas kehidupan. Penulis menumpahkan idenya melalui tokoh yang ia ciptakan bernama Karyo. Dengan konflik yang ia bangun di dalamnya.
Sebelum masuk pada pembahasan tersebut. Pertama lihatlah judul cerita pendek tersebut. Selanjutnya baca paragraf pertama. Sebelum menyelam lebih dalam pada paragraf selanjutnya:
Cerita  Sebelum Tidur
 “Jika sebuah negara dengan sengaja dibuat mati  dalam nalar berpikirnya, mudah saja disetir dengan maksud menghancurkannya. Maka cara lama akan digunakan tanpa ada orang yang sadar. Dan sekarang orang pun sulit percaya dengan orang lain.Entah kapan permasalahan ini berakhir, Bon”,  Setelah itu apa yang terjadi dengan Karyo, Kek?

Paragraf tersebut melahirkan beberapa pertanyakan seperti; isi cerita bagian mana yang berhubungan dengan judul? Siapa yang sedang bercerita? Siapa yang hendak tidur? Siapa yang suka mendengarkan cerita sebelum tidur? Apakah setelah mendengarkan cerita, ada seseorang yang benar-benar lantas tertidur? Atau bahkan kapan  cerita di ceritakan?
Sebenarnya banyak pertanyaan yang dapat timbul ketika mengaitkan antara judul dan pembuka cerita. Pertama, hal ini dapat terjadi karena cara penulisan yang dibuat oleh penulis. (lihat pada kutipan yang di tebalkan). Penulis menyambungkan dialog tersebut dalam satu kesatuan pada dialog sebelumnya. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan seperti pada paragraf sebelumnya. Entah penulis kurang cermat atau sejenisnya. Namun beruntung masih tertolong pada cantuman suatu panggilan pada seorang tokoh dalam cerpen. Seperti Bon dan Kek.
Dengan begitu, berhati-hati dengan tata cara penulisan memang penting. EYD dan jajarannya. Akan banyak timbul kemungkinan persepsi dari pembaca yang bahkan melenceng jauh dari apa yang diharapkan oleh si penulis. ^^
Kedua, penulis membuat karya ini dengan akhir yang terbuka. Sebagai contoh kutipan pada paragraf pertama.
 Setelah itu apa yang terjadi dengan Karyo, Kek?
Berikut di atas adalah pertanyaan dari seseorang yang di panggil dengan panggilan depannya yakni “Bon”. Pertanyaannya telah langsung dijawab oleh lawan bicaranya (baca:kakek). Namun pembaca dibuat penulis  mengapresiasikan sendiri bagaimana tanggapan dari “Bon” atas jawaban Kakek pada paragraf terakhir dalam cerita pendek ini. Tentu sebelumnya dengan cara penulisan yang mungkin di maksudkan oleh penulis kira-kira seperti ini:
“Jika sebuah negara dengan sengaja dibuat mati  dalam nalar berpikirnya, mudah saja disetir dengan maksud menghancurkannya. Maka cara lama akan digunakan tanpa ada orang yang sadar. Dan sekarang orang pun sulit percaya dengan orang lain. Entah kapan permasalahan ini berakhir, Bon” (berisi pengantar pertama obrolan kakek kepada Bon, atau semacamnya).
Setelah itu apa yang terjadi dengan Karyo, Kek?” (baru mendapat tanggapan dari Bon).
***
Menulis cerpen bagi Welty (Diponegoro, M. 1994: 18) sudah mendekati semacam naluri. Waktu mulai menulis sebuah cerpen, ia sudah menyadari bentuk dan tujuan dari cerpen itu. Menurut pendapatnya, akhir suatu cerpen seharusnya sudah terkandung dalam permulaannya. Jika akhir cerpen tidak kedapatan dalam pembukaannnya. Kita tidak tahu kearah mana cerpen itu akan di garap.
Dilihat dari paragraf pertama penulis berhasil membuat bingung pembaca, dan membiarkan pembaca menafsirkan sendiri bagaimana alur selanjutnya. Hal itu semata dikarenakan cara penulisannya.   Penulis perlu mengenal teknik Scheherazade.
Masuk ke pembahasan selanjutnya. Mengenai konflik yang dibangun penulis melalui tokoh bernama Karyo. Penulis membungkusnya dengan menghidupkan cerita di dalam cerita. Yakni tokoh Karyo di ceritakan oleh seorang tokoh yang juga berada di dalam cerpen itu (baca;kakek).
Konflik yang di angkat adalah mengenai realitas kehidupan. Hal ini satu pendapat pada pernyataan Endraswara dalam bukunya Teori Kritik Sastra hlm. 129 yakni, sastra lahir dari luapan psikologi pengarang. Jiwa pengarang berupaya menangkap gejala di dunia sekitarnya, lalu diresepsi, dan di ekspresikan lewat gagasan. Gagasan di rangkai melalui kata-kata indah. Kata adalah pembungkus jiwa. Perhatikan kutipan cerita pendek karya Ihsan berikut.
“Kita sekarang  sudah seperti   akan kembali ke jaman penjajahan Kek.Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera dijatuhkan”.
Kakek itu pun mulai geram
“Dasar Gila!”
Penulis mengangkat tema yang dibawa oleh tokoh Karyo mengenai pikirannya yang akan kembali ke jaman penjajahan. Dengan segala yang di ucapkannya dengan berteriak, hingga di anggap gila oleh seseorang yang meresponnya.
Karyo berlari sambil berteriak-teriak setelah keluar Warnet. …..
Pembaca di ajak mengikuti kegelisahan yang dirasakan oleh Karyo.
“Bahaya Kek. Kita akan mati. Sebentar lagi kita akan hancur lebur. Kakek sebaiknya berlindung, jika masih kuat, Ayo berjuang untuk menjadi relawan bela negara kek. 
Dan beberapa dialog pimpong yang di lakukan oleh Karyo dengan tukang sapu. Sebenarnya hal tersebut bisa jadi dapat menumbuhkan konflik baru. beberapa persoalan yang terdapat dalam cerita ini dapat lebih di perkuat lagi untuk membuat cerita lebih menarik. Tentunya dengan bahasa penulisan yang dapat menjadi pendukung. J selamat!
***
Sekian, dengan segala kekurangan mohon maaf dan terimakasih, semoga dapat bermanfaat.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar