Rabu, 27 September 2017

Perempuan yang Bersuara. Pembacaan Terhadap Buku "SUARA PEREMPUAN KORBAN TRAGEDI ‘65"

Pembacaan 
SUARA PEREMPUAN
KORBAN TRAGEDI ‘65
Ita F. Nadia

PEREMPUAN YANG BERSUARA
Oleh Widya Prana Rini, M.A.

            Ketika belajar sejarah di bangku sekolah kita akan membayangkan kebiadaban tokoh PKI membunuh Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, lima jendral, dan satu letkol. Beberapa waktu yang lalu kita juga mendengar buku-buku teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah singkatan G-30-S harus dibakar. Sebab akhiran “/PKI” dari G30S mencerminkan siapa yang mendalangi peristiwa tersebut. Sebagai kalangan yang belajar kritis, klaim serupa itu patut kita kaji ulang sebelum menarik sebuah hipotesis. Beberapa pertanyaan yang mungkin yang dapat kita ajukan seperti, berapa jumlah anggota PKI? Apakah semua jumlah tersebut seluruhnya bertanggung jawab?
Peristiwa berdarah yang sudah lama itu masih berdampak sampai sekarang “masyarakat terhegemoni” dari pandangan siapa pun yang berhubungan PKI harus bertanggung jawab dan diizinkan dipandang sebelah mata. Jika kita analogikan pada wacana saat ini, ketika sebuah organisasi keagamaan melakukan sebuah tindakan anarki secara fisik maupun secara simbolis yang memengaruhi kestabilan negara, pemerintah dengan dewasa akan mencari sumber oknum yang bersangkutan tidak serta merta melibas semua yang ada. Kita sadari bahwa kontrol sosial masyarakat melalui peran media dewasa ini kritis. Saat ini kita “percaya” pemerintah hanya meringkus seseorang atau oknum-oknum yang memiliki keterkaitan dan yang terbukti menjadi dalang sebuah kekacauan. Hal demikian tidak terjadi pada masa lalu. Membaca sejarah terkadang membuat kita tertantang sekaligus frustasi.
Buku ini memberi suguhan kisah sepuluh wanita yang mengalami luka dan rasa traumatis yang mendalam. Tentu saja sepuluh ini mewakili ribuan orang yang mengalami tindakan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap eks-tapol. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga masih harus menanggung stigma masyarakat, cemoohan dan pengusiran dari masyarakat yang membuatnya jadi sangat sengsara. Mereka berjuang keras demi menyambung detik demi detik hidupnya. Perempuan yang bersuara dalam buku ini adalah mereka yang memiliki harapan supaya didengar, baik untuk kalangan yang paling terdekat seperti keluarga, orang-orang terkasih, baik yang masih hidup maupun yang entah di mana, yang telah tiada, keluarga jendral korban G30S, serta masyarakat yang memandang sebelah mata organisasi gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sepuluh orang yang mengalami kekejaman di sini tidak semua terlibat dalam Gerwani.
 Terlebih dahulu di dalam kata pengatar buku ini diberi sebuah wacana kepada pembaca seperti apa kegiatan Gerwani. Gerwani adalah organisasi yang diwadahi oleh PKI tahun 50, yang sebelumnya dinamakan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Dijelaskan bahwa Gerwani berjuang untuk masalah-masalah sosial, perjuangan hak kerja, tanggung jawab yang sama antara kaum perempuan dan laki-laki. Perjuangan Gerwani berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan juga untuk sosialisme. Kader-kader Gerwani bergerak merambah ke pelosok daerah dengan tujuan untuk memberantas buta aksara pada kalangan kaum perempuan.
Organisasi yang sangat Ibuisme ini memberi kekuatan dalam keluarga seperti pendidikan terhadap anaknya yang kelak berguna bagi tujuan revolusioner Soekarno, sehingga hubungan antara keduanya menjadi erat[1]. Dengan kata lain, gerakan Gerwani ini dapat dikatakan keibuan yang militan yang menggabungkan fungsi ibu rumah tangga dan perempuan aktivis politik sekaligus. Kekuatan perempuan di ruang domestik menyusun kekuatan di sisi eksterior inilah yang diebut home”pada istilah Sara Upston.
 Singkatnya pada tahun 1965 kekuasaan Soekarno kian melemah disebabkan menurunya kesehatan. Pada waktu itu, telah terjadi enam kali percobaan pembunuhan yang membuka peluang bagi mereka yang haus akan kekuasaan. Puncak dari ketegangan pada waktu itu ketika perwira Angkatan Darat Letkol Untung melancarkan putsch militer berujung pada tragedi Lubang Buaya. Jasad-jasad yang ditemukan di dalam sumur Lubang Buaya tidak jauh dari lapangan tempat Gerwani yang sedang melakukan latihan menjadi sukarelawan kampanye “Ganyang Malaysia”.
Kata Pengatar buku ini mengutip dua buku yang mendorong pertanyaan besar kepada pembaca untuk membuka sudut pandang baru. Kutipan yang digunakan adalah tulisan dari Anderson dan McVey (1971) menyatakan bahwa Soekarno mengangkat jendral yunior bernama Pranoto Reksosamudro. Kemudian diteruskan dari kutipan Crocuh yang menyatakan Soeharto mengabaikan perintah Presiden dengan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (1978:132). Dua kutipan ini seakan menggiring pembaca mengarah pada sebuah “kudeta” yang dilakukan oleh oknum berkuasa untuk menggantikan kekuatan Soekarno yang besar. Terlihat dua minggu kemudian Soeharto menggantikan Pranoto yang kemudian diikuti kampanye propaganda dan pembantaian besar-besaran.
Fokus pada buku ini adalah penderitaan yang dialami sepuluh perempuan yang bernama Rusminah (Ibu rumah tangga, istri dari sekertaris CSS PKI), Partini (Aktivis Gerwani), Yanti (Ibu rumah tangga), Maryati (Anggota Gerwani), Sukarti (Penjual makanan), Sudarsi (Aktivis-Mahasiswa), Sus (Dosen Universitas), Suprapti (Aktivis BTI), Badriyah (aktivis Gerwani), dan Darmi (Penari Bali). Tujuan dari buku ini adalah untuk menghentikan “politik pembisuan” dengan metode perekaman dan pencatatan. Secara garis besar mereka mengisahkan pengalaman kebiadaban yang dilakukan oleh tentara-tentara pada saat itu dan secara lirih berusaha ingin menghilangkan labeling eks-tapol yang bejat dan kejam. Ketika membaca kisah tersebut dengan melibatkan imajinasi, saya merasakan betapa perihnya hari-hari yang dijalani oleh para eks-tapol dan bagaimana rasa sepi yang dialami karena harus tercerai dari keluarganya. Saya mencium aroma yang kuat dari buku tersebut yaitu dominasi maskulin (dalam istilah Bordeau)[2] (2010:42-43) yang menempatkan perempuan sebagai lambang status sang pria, menggeser tempat wanita dari kedudukan subjek menjadi objek. Terlihat jelas sekali dalam pengantar yang ditulis Prof. Dr. Saskia E. Wieringa University of Amsterdam memberikan uraian yang diberi judul Sexual Politics and the New Order of President Soeharto.
Kebiadaban tentara yang dinarasikan dari pertama kali oleh Rusminah diberi judul “Akhirnya Pemerkosa Itu Jendral Pensun” secara singkat, ketika suaminya yang bernama Sutarto menghilang tanggal 25 September, Rusminah diseret dua orang tentara setelah mengobrak-abrik dan membakar rumah pada tanggal 1 Oktober. Setiap malam Rusminah harus melayani napsu seks pada siapa saja yang saat itu menjalankan tugas, termasuk seorang Perwira Angkatan Darat bernama Sujari. Perwira tersebut menikmati tubuh Rusminah dan menjadikannya sebagai tahanan rumahnya sekaligus merangkap gundik plus yang tidak digaji. Setelah melahirkan dua anak perempuan dan laki-laki ternyata setatusnya tidak juga kembali, yang terjadi adalah salah satu anaknya dibawa pergi. Kisah yang hampir serupa dialami Sus “Membuang Jati Diri Demi Harkat dan Martabat” melalui kekuasaan yang dimiliki Letnan Sutrisno menjadikan tubuh Sus sebagai objek yang digunakan sebagai pemuas napsu seks. Sutrisno membawa Sus ke Palangkaraya Kalimantan. Sus dijadikan sebagai tahanan dan gundik yang hampir setiap malam tubuhnya digunakan sebagai pemuas napsu. Sus akhirnya beranak dua dan ditinggalkan. Munculnya gundik atau munci karena perempuan kalah total, tidak memiliki power untuk melawan kekuasaan karena kehilangan identitas, dan lingkungan tidak lagi menerimanya.
Kisah Partini dengan judul “Perempuan Eks-Tapol Sampah Segala Sampah”. Ketika sedang menyusui anaknya berumur satu minggu, Ia bingung kenapa diseret lima orang tentara. Peristiwa G30S jutru sama sekali tidak diketahui. Diceritakan darah pasca melahirkan masih mengucur, ia diperkosa tanpa ampun sampai berkali-kali pingsan. Kemudian pada tulisan “Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan” dari kisah Yanti yang ditangkap ketika berusia 14 tahun duduk di bangku SMP. Diawali seorang teman yang mengajak mengikuti pelatihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya. Singkatnya, tentara-tentara datang pada pagi buta, mereka terus memukul dan menelanjangi selama dua hari dua malam dan di jemur di lapangan. Tentara yang berkuasa mengusap-usap payudara dengan bebas, menusuk ujung laras ke kemaluan, bahkan memerkosanya di lapangan terbuka. Kisah Yanti ini dekat sekali dengan apa yang dimunculkan pada mural Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya yang divisualkan yaitu Jendral yang dikelilingi sosok perempuan seksi, digambarkan bersikap kurang ajar, perempuan menari, dan salah seorang membawa bunga yang dikenal dengan istilah “Tarian Gugur Bunga”. Penuturan Yanti pada buku tersebut karena ia didesak untuk mengaku di depan wartawan dan juru foto. Yanti dijadikan salah satu alat untuk membuka mata masyarakat atas kekejaman PKI dengan mengatakan “Iya”. Mengiyakan bahwa mereka telah melakukan penyiksaan terhadap para jendral, menyayat-nyayat dengan mengunakan silet, memotong kemaluan, dan menari “Harum Bunga” sambil telanjang. Melalui tulisan ini, Yanti memiliki keinginan untuk memberi tahu setidaknya kepada keluarga Jendral bahwa hal tersebut tidak pernah mereka lakukan. Menurut Jhon Roosa (2008:xx) Visum et Repertum yang dilakukan dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto terhadap jasad perwira tidak diumumkan oleh pemerintah Soeharto. Salinan laporan visum tersembunyi hingga 1980-an, ketika dokumen tersebut ditemukan oleh ilmuan dari Cornell University. Perwira tersebut dibunuh oleh tembakan-tembakan dan luka tertusuk bayonet, mereka tidak diiris ribuan kali, tidak dicungkil matanya, dan tidak pula dimutilasi.
Enam kisah yang lain tidak terlepas dari malam-malam panjang yang diciptakan tentara-tentara pencari “Bon Malam”. Tawanan tidak dapat mengelak praktik-praktik kekejaman yang beraneka macam bentuknya seperti, penelanjangan, pemerkosaan beramai-ramai, menylomoti payudara dengan api-rokok, kekerasan mental, dipendam, dikencingi di tengah hutan, perkosa bergilir di depan suami, dicambuk, penyetruman dengan logam yang berbentuk cincin disambungkan dengan generator kemudian dimasukan ke organ vital dan diletakan di puting payudara sampai ada yang mengalami kelumpuhan (perusakan organ seksual dengan banda apa saja). Kekejaman yang dilakukan para tentara membuat wanita ekstapol pada titik tertentu muncul perasaan menyesal karena memiliki bagian tubuh yang menjadikan dirinya sebagai objek. Diri yang menjadi objek ini karena memiliki vagina dan payudara. Perasaan untuk menghilangkan trauma tersebut yaitu keinginanya menghilangkan kelemahan, sehingga terbebas dari cengkraman laki-laki yang hendak menguasai dirinya atau pada khususnya bagian tubuh tertentu yang dapat memicu sebuah ingatan pahit. Setelah pada tahun kebebasan, ternyata mereka tidak benar-benar bebas. Kehilangan identitas membuat mereka berjuang dari bawah. Perempuan menjadi objek dan terkadang-kadang sekaligus menjadi subjek dari proses pembentukan maskulinitas seorang kekuasaan laki-laki.

Nb: Itta F. Nadia lahir di Yogyakarta 13 November 1985. Alumnus Jurasan Sejarah Fakultas seni dan Budaya UGM . Aktif di Kalyanamitra, pusat dokumentasi dan informasi untuk perempuan, Yayasan Pondok rakyat, serta pernah menadi anggota Komnas Perempuan (1998-2006)

Daftar Pustaka
Weringa, Saskia E. 2007. “Suara Perempuan Korban Tragedi 65”. Yogyakarta: Galang Press.
Roosa, John. 2008. “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”. Jakarta: Hasta Mitra.
Bourdieu, Pierre. 2010. “Dominasi Maskulin”. Yogyakarta: Jalasutra.
Upstone, Sara. 2009. “Spatial Politics in the Postcolonial Novel”. London and Burlington VT: Ashgate Publishing, Ltd.
Yulianto, Vissia Ita. 2007. “Pesona ‘Barat’Analisis Kritis Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia”.Jalasutra: Yogyakarta.  



[1] Setelah revolusi 45 pada tahun 46 di Yogya Soekarno memberikan kuliah Informal pada perempuan. Pada tahun 50, Gerakan wanita Sedar (Gerwani)  didirikan kembali setelah organisasi yang sebelumnya bernama istri sedar yang dibubarkan Jepang. Anggota Gerwis mereka yang hampir semua berpendidikan dan melek politik. (Vissia Ita, hlm. 93)

[2] Pierre-Féllix Bourdieu adalah seorang filsuf terkemuka Prancis. Lahir di desa Denguin, di Distrik Pyrénées-Atlantiques, barat daya Prancis pada tanggal 1 Agustus 1930, dan meninggal pada tanggal 23 Januari 2002. Dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog, dan (pada masa akhir hidupnya) dikenal sebagai jawara pergerakan antiglobalisasi. Karyanya memiliki cakupan bahasa yang luas, mulai dari etnografi, seni, sastra, pendidikan, selera kultural, dan televisi.

Share:

Senin, 25 September 2017

Tentang Jejak Imaji

Salah satu faktor lahirnya komunitas menulis adalah kegelisahan. Seorang penulis membutuhkan media dan wadah untuk berkarya. Karenanya, dilahirkanlah komunitas yang diberi nama Jejak Imaji.



Jejak Imaji merupakan kelompok belajar sastra yang lahir karena terbatasnya ruang-ruang diskusi dan ekspresi di lingkungan kampus –paling  tidak di tempat Jejak Imaji lahir. Dari awal, Jejak Imaji diniatkan untuk siapa pun yang ingin belajar sastra, tetapi kenyataannya tidak hanya pada sastra secara sempit. Lantaran keinginan menambah sekaligus mengembangkan ruang-ruang diskusi tersebutlah, secara resmi Jejak Imaji dibentuk dan dilahirkan pada 1 April 2014 di Kotagede, Yogyakarta. Belum berusia lama memang bagi sebuah kelompok belajar, apalagi bila melihat begitu banyak kantong-kantong sastra di Yogyakarta.
Awalnya, kelompok belajar ini bernama Diskusi Lawang Abang yang digiatkan oleh beberapa orang saja seperti Iqbal H. Saputra, Aditya Dwi Yoga, Angga T. Sanjaya, dkk. Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tergerak untuk bergabung dalam Diskusi Lawang Abang. Sejak saat itu, atmosfer diskusi menjadi lebih bergairah.
Banyaknya kegelisahan yang muncul di benak mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD membuat anggota Jejak Imaji semakin bertambah. Komunitas yang bergerak di bidang kepenulisan ini tidak membatasi diri sebagai wadah untuk mahasiswa UAD saja, melainkan terbuka bagi siapa pun –mahasiswa dari UIN, UGM, UNY, ISI, Janabadra, dan beberapa kampus di Jogja juga tergabung sebagai anggota di dalamya, bahkan ada juga yang telah bekerja.
Salah satu indikasi banyaknya anggota dari luar karena sedikitnya komunitas penulisan di Jogja yang tidak bergerak di bawah naungan akademis/kampus. Muaranya adalah pergulatan di media massa, baik lokal maupun nasional. Mereka berlomba agar bisa dimuat di media massa dengan tidak bermaksud menjadikannya sebagai satu-satunya tolok ukur kualitas. Maka, sebagian tetap mengikuti berbagai kegiatan perlombaan kepenulisan, dan dokumentasi-dokumentasi karya di lingkup akademis atau di luar. Pada akhirnya, tidak sedikit pula yang mendapat penghargaan dari wilayah tersebut.
Jejak Imaji mempunyai struktur sebagaimana lembaga atau institusi yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan humas, tetapi tidak terikat dan kaku. Karena sudah disusun sedemikian rupa, maka kegiatan diskusi juga disusun secara rutin. Diskusi umum dilaksanakan setiap Senin mulai pukul 16.00 WIB sampai dengan selesai. Aturan main menggunakan model arisan, yakni terdapat undian satu orang untuk karya (puisi, cerpen, esai, novel dan lain-lain) yang dibahas, dan dua orang sebagai pembahas melalui esai kritis. Setiap anggota akan mendapat giliran sebagai penyetor karya dan pembahas. Tujuannya, menumbuhkan sekaligus meningkatkan minat membaca dan berkarya. Lebih dari itu, sebagai wujud pertanggungjawaban intelektual masing-masing untuk berpikir kritis berdasarkan teori dan empiris.
Kegiatan tersebut dilakukan secara berkesinambungan, meski pada saat-saat tertentu ada selingan diskusi yang berbeda. Misalnya, resensi kritis terhadap suatu buku seperti novel terjemahan, catatan sejarah, atau teori mutakhir. Selain acara rutin tersebut, Jejak Imaji juga memiliki agenda bersilaturahmi ke praktisi akademis, sastrawan, dan budayawan. Untuk membangun sebuah hubungan keluar, Jejak Imaji juga berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain. Para anggota mengumpulkan informasi dari luar dan menghampiri.
Wacana-wacana terbaru lalu dibawa kembali ke dalam lingkaran. Pada intinya Jejak Imaji membuka jendela untuk melihat apa yang terjadi di luar. Selain kegiatan kepenulisan, Jejak Imaji juga aktif menampilkan musikalisasi puisi, pembacaan puisi, dan monolog di panggung-panggung sastra Yogyakarta. Jejak Imaji sering diberi kepercayaan sebagai pembicara dalam diskusi komunitas dan forum-forum akademis. Beberapa anggota pernah mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) dan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), sekaligus membawa pulang trofi juara, tidak terkecuali di beberapa lomba lainnya.
Mayoritas anggota menyukai karya jenis puisi, maka mereka tidak hanya memahami puisi dari teks saja, melainkan mengapresiasi sekaligus memahami puisi di panggung juga, baik pembacaan maupun musikalisasi. Sampai dengan tahun 2017, meskipun baru menginjak usia yang relatif muda, Jejak Imaji tercatat telah beberapa kali memenangkan penghargaan di bidang musikalisasi puisi.

Jejak Imaji dan Musikalisasi Puisi
 Musikalisasi puisi merupakan cara untuk mengekspresikan sebuah karya, dalam hal ini puisi. Dalam dekade ini, puisi hanya dinikmati oleh pecinta puisi saja, sedangkan yang mampu memahami puisi tergolong sedikit. Karena itu, Jejak Imaji mencoba untuk memudahkan pemahaman khalayak tentang puisi melalui musikalisasi puisi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sule Subaweh selaku “penasihat” di Jejak Imaji, musikalisasi puisi akan banyak membantu pemahaman dan menambah kecintaan terhadap puisi, sebab melalui media musik, orang-orang tidak perlu membaca, cukup mendengarkan saja.
Bagi Jejak Imaji, musikalisasi puisi bukan berarti semata-mata puisi akan tunduk pada musik, justru sebaliknya, puisi harus lebih diutamakan daripada musik. Jika dianalogikan, puisi adalah raja, dan musik hanya jajaran patih yang hanya mendukung raja. Musik harus mengikuti puisi. Tidak boleh puisi mengikuti musik. Puisi sudah punya musik sendiri. Jika dilihat dari unsur intrinsik dalam puisi, akan ditemukan unsur nada, rima, irama, dan lain sebagainya.
Jejak Imaji senantiasa berusaha menjaga kestabilan agar tidak terlelap dalam panggung, sebab tujuan utama komunitas ini adalah menulis. Musikalisasi puisi hanya wadah untuk berekspresi saja, dan menjaga debar untuk terus berkarya.
Bagi Jejak Imaji, dengan bermain musikalisasi puisi khalayak secara tidak langsung akan memahami puisi. Bahkan lebih dari memahami, melainkan juga dituntut untuk melihat sudut pandang berbeda dalam menciptakannya.Untuk menciptakan hal dasar, yang harus dilakukan adalah memahami puisinya terlebih dahulu, baru mulai menciptakan.
Sejauh ini sudah memusikalisasi tujuh puisi, di antaranya Surat Buat Emak dan Uterus (Kedung Darma Romansha), Juga Waktu (Subagyo Sastrowardoyo), Kangen (WS Rendra), Obituari Ingatan (Faisal Oddang), puisi tanpa judul Yuliani Kumudaswari yang diambil dari antologi 100 puisi pilihannya, dan Menjelang Tahajud (Raedu Basha).

Badan Usaha Jejak Imaji
            Menjelang akhir tahun 2017, Jejak Imaji tercatat sudah memiliki tiga badan usaha yang dikelola secara kolektif. Di antaranya ada Warung Edukasi Jejak Kopi (resmi berdiri 10 September 2017) yang bergerak di bidang bisnis sebagai salah satu upaya untuk menyeimbangkan neraca keuangan Jejak Imaji sebagai suatu kelompok dan menambah pendapatan para pengelolanya. Warung edukasi ini dikelola oleh 5 orang (Aditya Dwi Yoga, Ari Prastyo Nugroho, Lalu Bintang Wahyu Putra, Enggar Jiwanto, dan Hendrik Efriyadi sebagai manajer). Badan usaha kedua adalah Jejak Pustaka yang bergerak di bidang penerbitan buku. Dikelola oleh Ardy Priyantoko, Kurniaji Satoto, Bisri Musthofa, Devi Santi Ariani, Ilham Rabbani, dan Sule Subaweh sebagai penasihat. Terakhir, Bukubuku Inspirasi yang menjual buku-buku bekas berkualitas di media daring maupun keliling dari bazar ke bazar. Dikelola oleh Ari Prastyo Nugroho dan Ardy Priyantoko.
Share: