Kamis, 27 Juli 2017

MEMAKNAI KEMBALI SEKOLAH

MEMAKNAI KEMBALI SEKOLAH
Oleh R. Ari Nugroho

Akan menjadi cukup sulit diterima apabila kita mempertanyakan sesuatu yang telah mapan. Apalagi sesuatu tersebut sudah mendarah daging dan (seolah) telah menjadi kebenaran kolektif. Alih-alih kita dikagumi karena daya kritisnya, tapi malah dituduh mencari-cari kesalahan. Sayangnya kita sering menganggap yang sudah dilakukan oleh kebanyakan orang dan telah menjadi kebiasaan merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa ditinjau ulang bahkan digugat. Padahal kebenaran kadang kala dinamis sesuai dengan perkembangan maupun pergesaran. Lalu, ini yang kita sebut salah kaprah yang sudah terlanjur dan langgeng menjadi pemakluman, tidak apa-apa, dan berubah menjadi kebenaran yang secara jamaah diyakini. Pemahaman dasar seperti itu yang mestinya kita tinjau kembali melalui beberapa pertimbangan, misalnya masih efektifkah, sejauh mana perkembangannya, atau justru jalan di tempat.
Kita boleh saja menganggap mustahil apa yang diwacanakan oleh Ivan Illich[1] jika melihat fenomena sekarang ini. Sekolah telah menjadi napas bagi masyarakat, kebutuhan yang bahkan melebihi pendidikan. Peran sekolah pada awalnya diambil alih oleh orang tua melalui pengasuhan kepada anaknya, kini telah menjadi gedung, kelas dan segala fasilitas yang menunjang untuk proses pembelajaran yang direncanakan, diatur sedemikian rupa: jenjang umur, masa sekolah, materi yang diterima, batasan waktu, dan seterusnya. Sekolah telah tersebar di mana-mana secara geografis dan dalam mindset manusianya.
Apabila kita berjumpa dengan seorang anak yang belum dikenal lalu penasaran dengannya, biasanya bertanya umurnya berapa atau mudahnya adalah menanyakan “Sudah kelas berapa?”, atau “Adik sudah sekolah belum?”. Sekolah juga telah melekatkan memori kepada setiap siswanya dalam pengalaman yang menyenangkan dan menyedihkan; percintaan, kenakalan yang iseng-iseng, dan sumbangan ceritanya untuk dunia sinetron bahkan perfilman, dan dongeng-dongen kelak hari tua.
Para orang tua dalam mengidentifikasi dan memperkenalkan anaknya kepada orangtua lain dengan cara mengacu kepada jenjang-jenjang pendidikan; “ini anak saya yang kedua, sudah mau SMP, dia ingin masuk sekolah favorit.” Mendengar kata favorit saja kita langsung bisa terkagum dan menentukan kiblat bahwa selanjutnya harus bisa masuk sekolah tersebut. Namun, pada sisi lain kata ini, kita segera bisa menyatakan bahwa pendidikan belum juga merupakan suatu pemerataan. Maka, kiranya upaya menteri pendidikan dalam mengatur sekolah melalui sistem zonasi dirasa akan menjadi langkah yang tepat[2].
Sebagian masa hidup anak dialokasikan untuk mengenyam pendidikan yang bernama sekolah. Usia anak tampak direduksi oleh lembaga sekolah, karena sebagian besar sekolah menyumbangkan materi pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran sebagai produk dagangan. Misalnya bila kita mengamati mata pelajaran sekolah dasar, terutama di sekolah yang berbasis islam seperti Muhammadiyah. Di dalam materi ajar kelas 2 terdapat mata pelajaran Al-islam yang menekankan kebiasaan baik dan nilai-nilai karakter. Mata pelajaran umum seperti PKn dan IPS pada dasarnya punya muatan yang sama, namun mungkin yang dianggap membedakan adalah konteksnya. Jika Al-islam dalam kerangka agama, sementara IPS dan PKn lebih pada historis keindonesiaan. Ilmu dan pengetahuan sudah disekat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kekhawatiran bersama apakah itu bentuk indoktrinasi dibandingkan memberi kebebasan dan mengembangkan diri.  Belum lagi persoalan pengulangan materi ajar yang pernah disampaikan di kelas 1 kemudian masih ada di kelas 2. Anak-anak sedang dikurung dalam lembaga yang konon sebagai representasi pendidikan. Anak-anak justru sedang dibatasi cakrawala pengetahuannya.
Kedua mata pelajaran tersebut juga cukup redup dibanding dengan penekanan pembelajaran yang lebih kepada mata pelajaran seperti Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Hal itu ditunjukkan dengan alokasi jam berdasarkan kurikulum. Bila perlu, dan ini cukup banyak lembaga penyedia jasa tersebut; Ganesha Operation, Kumon, Neutron, dll, siswa mencari tambahan waktu belajar ke luar sekolah. Pada satu sisi, para siswa mengejar apa yang dibutuhkan karena merasa belum cukup puas dengan apa yang diberikan oleh sekolah. Namun, di sisi lain penyedia jasa tersebut yang mengutamakan beberapa mata pelajaran saja dan secara tidak langsung sekolah telah berkurang daya mendidiknya; kehabisan metode dan teknik yang relevan dengan perkembangan anak-anak sekarang. Tapi, yang amat terasa dari dominannya ketiga mata pelajaran tersebut adalah perlahan menggeser rasa kepemilikan terhadap keindonesiaan beserta historisnya. Nilai Pancasila tak lagi digali, sejarah tidak suntuk dipelajari. Sekolah dengan demikian bertumpu dan menuju masa depan. Maka, tidak heran jika momentum Hari Pendidikan Nasional kemarin dimanfaatkan warga Yogyakarta untuk menandatangani petisi yang berisi keinginan agar pendidikan Pancasila dikembalikan di semua jenjang pendidikan di seluruh Indonesia.[3]
Bila di jenjang sekolah dasar barangkali kecil sekali prosentase penanaman karakternya karena kendala mata pelajaran yang saling tumpah tindih, dan bayangkan saja, karakter mesti diukur secara administratif dengan perangkat yang juga kaku. Mereka kurang diberi bekal keterampilan. Hal ini mengakibatkan usia hidup manusia kurang efektif. Dalam umur belasan tahun misalnya belum juga menguasai keterampilan tertentu. Artinya penambahan usia seseoarang tidak dipacu dengan pengetahuan dan keterampilan apa yang telah dicapai. Dampak lain adalah misalnya ketidaksiapan ketika memasuki dunia kerja, maka mereka  memerlukan adanya masa percobaan. Satu contoh ini pun sudah cukup menimbulkan penyempitan pendidikan, seolah yang berhak melakukannya hanya sekolah. Padahal kita sering menemukan orang yang segera saja cepat memahami suatu teori atau prinsip ketika dia praktik dalam dunia kerja langsung entah disertai tuntutan atau tidak.
Barangkali akan menjadi lain jika masa kanak-kanak tidak diproduksi oleh kaum borjuis[4], karena mereka akan mempunyai kesamaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dampak yang cukup terasa dari kelahiran konsep masa kanak-kanak ini adalah sebuah “pemakluman”. Anak-anak dibiarkan saja misal melakukan kebohongan dan tidak patuh kepada nasihat orangtua dan guru. Kekeliruan anak sekecil apapun dan membuat alasan karena mereka masih anak-anak tidak bisa dianggap gampang dan maklum, karena pemakluman jika terus dilakukan akan melanggengkannya. Sesuatu yang menjadi pedoman kelak, justru sangat disederhanakan (bila tidak boleh mengatakan menggampangkan). Lantas para pendidik tidak bisa tega(s) kepada anak-anaknya. Apalagi memperlakukan anak-anak di generasi Z[5]  yang dilingkupi segala ketersediaan yang lahir di kota-kota besar, serta mereka yang sekolah dengan biaya yang mahal. Masa kanak-kanak menjadi privilise dan bebas dari beban peringatan. Silakan bisa ditelusuri sampai kepada para pejabat sekarang yang menduduki lembaga pemerintahan. Berapa usia rata-rata mereka sekarang, dan apa yang mereka lakukan di depan media massa yang secara bergiliran dan berlarut-larut memberitakannya. Kita perlu yakin mereka juga pernah mengenyam bangku sekolah. Maka, kiranya perkataan yang cukup keras dari Romo Mangunwijaya bahwa biar sebobrok apapun SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi asal ketika di SD mereka sudah matang secara kepribadian, watak, atau perilaku, patut direnungkan.  
Romo Mangunwijaya tentu  sudah memahami, sebelum anak dipercayakan ke lembaga sekolah, pendidikan anakmerupakan tanggung jawab orangtua masing-masing[6]. Namun, perubahan ini mesti kita anggap sebuah perkembangan  karena dinamis pesatnya zaman atau sebagai sebuah pergeseran yang melaju jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri(?). Ini masih sesuatu yang membingungkan. Karena di abad 21 ini laju kehidupan semakin kompleks: kebutuhan dan keinginan berbaur-campur, lokal dan global mengabur, “kecepatan” menyalip “pelan-pelan”, serta efektif dan efisien tidak sebangun lagi dengan teliti dan mendalam. Maka, pikiran manusia sekarang sangatlah penuh-sesak. Maka, alasan ini yang akan melanggengkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang utama. Para orang tua yang sudah sibuk, sampai tidak sanggup mendidik anaknya, lalu mempercayakan anak-anaknya kepada sekolah. Kesibukan ini lebih mengacu kepada kegiatan kerja memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga barangkali ada ketidakseimbangan kemampuan antara mencari nafkah dengan mendidik. Keduanya sulit berjalan sekaligus. Fenomena ini ke depannya akan menyuburkan lembaga-lembaga penyedia pendidikan moral seperti boarding scholl, full day, dan semacamnya yang berbasis agama. Inilah pasar. Dan akan semakin dianggap lucu bila yang perlu didik (sebenarnya) adalah para orangtua, bukan anak-anaknya.
Berkembangnya kebutuhan yang demikian membuat lembaga sekolah swasta di kota besar seperti Yogyakarta seakan mengambil alih peran pendidikan yang diselenggarakan sekolah negeri. Artinya, minat masyarakat cenderung memilih sekolah swasta meski harus membayar lebih dibanding dengan sekolah negeri yang gratis. Atas kepercayaan masyarakat, sekolah swasta berkembang pesat di kota-kota besar.
Kita bisa mengamati terutama pendidikan Muhammdiyah di Yogyakarta pada tingkat sekolah dasar. Beberapa sekolah dasar Muhammadiyah telah bergerak ke sana. Yang tampak jelas adalah SD Muhammadiyah Sapen dan beberapa sekolah binaannya. Sudah cukup lama perkembangan yang demikian dengan segenap prestasi dan nilai kredit yang melejit. Upaya DIKDASMEN Muhammadiyah kiranya sedang meneruskan apa yang dulu diwasiatkan Romo Mangun tadi; membangun sekolah dasar yang berkualitas. Namun, biaya ternyata sebanding dengan kualitas tersebut.
Untuk mencapai label berkualitas tersebut, sekolah memang menggunakan prinsip dasar bahwa hidup mati sekolah tergantung pada siswa. Beruntungnya, sekolah Muhammadiyah ini berada di tengah kota yang masyarakatnya mempunyai latar belakang ekonomi menengah. Maka, kita tidak heran, orientasi mereka adalah kuantitas, barulah menuju kualitas. Operasional yang lancar dan melimpahnya fasilitas dan peralatan sekolah memang terkesan semata akumulasi dari modal kapital.
Namun, gerak sekolah dasar Muhammadiyah ini semakin menuju yang disebut Ivan Illich ke spektrum kanan sebagai lembaga manipulatif[7]. Lembaga tipe ini yang mewarnai di masa sekarang ini. peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga ini menuntut konsumsi dan partisipasi paksa. Di lembaga manipulatif, klien atau masyarakat pengguna menjadi korban periklanan dan indoktrinasi. Selain itu, yang perlu digaris bawahi, bahwa lembaga ini mempunyai proses-proses produksi yang sangat kompleks dan mahal. Banyak tenaga dan biaya yang diarahkan untuk meyakinkan konsumen. Sehingga lembaga manipulatif menyebabkan orang-orang “kecanduan” secara sosial dan psikologis. Kecanduan kebutuhan sosial berupa kecenderungan untuk menganjurkan peningkatan pelayanan jika prestasi yang diharapkan belum membuahkan hasil. Secara psikologis, lembaga ini menjerat masyarakatnya untuk menikmati makin banyak proses atau produksi. Sekolah sebagai kepentingan umum yang palsu, seolah-olah terbuka namun menerima dari golongan atau segelintir orang tertentu.
Gerak sekolah dasar Muhammadiyah ini cenderung menuju ke arah elit dan eksklusif, artinya mereka sebagai penyedia jasa dengan segenap sistem yang ketat dan matang dapat dengan mudah menanamkan kepercayaan kepada masyarakat melalui prestasi yang sekaligus strategi promosi dan indoktrinasi secara ideologi. Masyarakat yang ingin mendapat pendidikan yang berkualitas mesti bermain dengan beli-membeli paket program sekolah. Fenomena ini yang menjadi salah satu penyebab terhambatnya pemerataan pendidikan sebagaimana yang menjadi tema besar peringatan Hari Pendidikan Nasional belakangan ini. Apalagi hal ini diperparah dengan keberadaan sekolah negeri yang anteng-anteng saja karena keterbatasan dana. Bila kita melihat melalui sudut pandang yang lain, pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan telah lumpuh. Sekarang kebutuhan sekolah bergeser yang awalnya hak dan akan dilindungi oleh negara berubah menjadi kemewahan, atau privilise segelintir orang.
Mungkinkah ini wajah lain sekolah-sekolah yang dulu ada di zaman Belanda?[8] Bila demikian, akan semakin banyak kepercayaan bahwa sekolah berkualitas adalah sekolah yang menerima dana yang besar. Maka, cukup sulit meuwujudkan harapan kita tentang pendidikan yang merata di seluruh Indonesia.



[1] Ivan Illich. Bebas Dari Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Hal. 11
[2] “Kemdikbud Bentuk Aturan Baru untuk Cegah Ada Sekolah Favorit”. https://tirto.id/kemdikbud-bentuk-aturan-baru-untuk-cegah-ada-sekolah-favorit-cnns
[3] Lihat Kedaulatan Rakyat, “Momentum Hari Pendidikan Nasional: Pancasila Diminta Diajarkan Kembali”, 3 Mei 2017
[4] Ivan Illich. Bebas Dari Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan. 1980, hal 42-43
[5] Generasi Z menurutu Bruce Horovitz adalah anak-anak yang lahir antara 1995 sampai 2014. Generasi ini lahir di lingkungan internet. Selengkapnya lihat dalam tulisan Aulia Adam. “Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z”. https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX
[6] Dahulu sekolah merupakan kegiatan di waktu luang untuk menambah pengetahuan. Para orangtua memanfaatkan waktu luang mereka mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang ahli. Namun, kegiatan tersebut diberlakukan kepada anaknya. Karena perkembangan kehidupan yang kian dan menyita waktu, para orangtua merasa tidak punya waktu untuk mengajarkan sesuatu kepada anaknya. Selangkapnya lihat Roem Topatimasang. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Insist Press, 2013, hal. 5-7
[7] Ivan Illich, Op. Cit. hal 73-80
[8] Lihat selengkapnya dalam tulisan Petrik Matasani. Sekolah-sekolah di Zaman Belanda. https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bxbV 24 Oktober 2016

Share:

Sabtu, 22 Juli 2017

Puisi-puisi Ir Rabani

Ikhbar Senja[1]

Denda, ingat tidakkah kau pada ikhbar senja yang dulu maksa kita buat lari ngambil peci, pergi ngaji bawa iqra?

Baru kuingat kata Tuan Guru, ada kalanya santren cuma tiang yang bakal tinggal, sepi bersawang, dan dihias kenang yang buntang.

Siapa tau, nanti selepas magrib, Quran ditartilkan seperti tembang-tembang sumbang.

Saat malam Jumat telah sunyi, tak beda dari malam biasanya, siapa kiranya yang bisa nyanyi barzanji?

Kita hanya laron yang buta pusat cahaya, terbang sembarang selepas hujan, lalu di tanah lecah melepas lelah.

Denda, selepas percakapan kita, entah santren makin bersawang atau malah ikut buntang, siapa peduli? Sedang kita terlanjur pengap dan berindap, perlahan-lahan hirap-lenyap.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Di Senja Raya[2]

Selepas senja kala, kita telah janji kan sua, akhiri imaji lama yang tak sempat kita rajut, berdua. Inginku, tak perlu kau bawa belida saat kutarik juntai kenanga di berai rambutmu, Denda. Sebab sejenak, kusimpan ia di gubuk sanak.

“Di tepi senja raya, biarkan kata-kata yang coba mewarta kita, kusut oleh angin, sebab tiada rahasia yang lebih purna dibanding sua kita.”

Biar saja nyanyi jangkrik iringi malam, sembari kita mengendap-rayap meraba lusa, di mana gula-garam teraduk, lalu kita teguk dari setadah mangkuk.

“Selaku Nitra, kau harusnya tak ragu. Sebab, bukan Gendawa yang kuperankan, tapi Gurantang yang menjemput patahan rusuk, di sepi malam.”

Denda, kita tinggalkan langit yang melepas jingga, lalu saling sulam dengan malam.

Sampai saatnya, benang terpintal jadi temali, lantas kuikat pada sukmamu, di mana kau dan aku takkan lagi berkawan sunyi.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Rahasia[3]

Kau tempatkan aku pada ruang paling malam di hatimu, tertimbun bagai pusara tanpa nisan, yang kapan saja dapat kau gali, semaumu.

Aku bakal buntang dan hilang, saat wujudku terwakili kata-kata. Sebab aku lebih hening dari telaga tanpa riak, tapi bergejolak jikalau kau telah sangsi atas ihwalku.

Kita dalam dimensi yang tak sama, hadirku atas perangaimu. Akulah molekul kata-kata yang kau pendam-peram, musabab diam.

Aku sudut sunyi di sukmamu, terus meronta tanpa suara, dan menjelma gulana dalam mimpi. Maka, pada perbinacangan yang bertaut denganku, lepaskan aku bagai air mengalir, terpancur lewat kata paling jujur.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Mencari Sekar Nitra[4]

Sebagai Gurantang, kau adalah ketakutan yang mesti kuselamatkan, merebutmu dari Gendawa yang kini rupa dan perangainya menipu mata.

“Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di pucuk rotan, yang merayap ke punggung pencarian!”

Hari ini, embun sahaja lahir atas namamu. Maka, segala dapat kupercaya kata dan isyaratnya.

Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu datangku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang menabrak tubuh, angkuh menahan langkah.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Maret 2016



Bersua Mandalika[5]

“Dari onggok karang yang menjulang, kukenang kau menerjang lautan, hingga hilang digulung gelombang.”

Februari dini, selepas hunjam hujan malam, kurapal mantra jaring sutra, menagih janji sebelum pasir mendesir lagi. Duh, kala kita siap bersua, barangkali ombak sengaja tiada, sebab dada lebih berdebur, tanpa reda.

“Masihkah janji seteguh karang, Mandalika?”

Kuselam tepi malam, langkah menjamah laut surut, tapi tatap yang lindap tak mampu menerawang remang. O Denda, sebab kau tak juga tiba, kulantunkan rayu Datu Teruna, lalu tubuhmu menyembul-membubul, bawa cahaya dan laksa nugraha.

“Adakah yang semesra sua kita?”


Jejak Imaji, Yogyakarta – Februari 2016



Pelajaran-Perang[6]

Selepas ngaji dari santren, Mak, sarung kugulung, dan penunjuk Qur’an kuganti dengan mata jungkat.

Sebelum keluar, akan kugorok-tebaskan pesan Tuan Guru, yang tumbuh di tubuhku. Sebab ia, cumalah bendung paling bertuah, yang membikin urung perang.

“Apa lagi yang lebih puisi bagi kami, selain darah sepanjang parang-kelewang, juga isyarat darurat-gawat di mata jungkat?”

Telah, kutanam kata-kata di sukma, tumbuh, lalu berbuah angkuh dan bergetah darah. Maka, sejarah demi sejarah yang kutanam cumalah darah-nanah, Mak.

Dari mulut guru, segala jelma gambar jungkat di meja-meja madrasah, sementara di santren, lurus alif serupa parang-kelewang bagi mataku.

Darah, sepanjang jalan pulang. Tubuh musuh yang mati-lumpuh, akan kucincang dan kupajang di gerbang dan tembok-tembok ruang.

“Apa lagi yang lebih seni bagi kami, selain ciprat darah di sudut-sudut rumah?”

Sepulang dari perang, Mak, jungkat kusarung, dan mata air air matamu adalah padam bagi dendam, yang menyuluh di tubuh.


Jejak Imaji, Januari 2017



Bermain Parang[7]
: Kè’ Lèsap

“Dari sulur bunga siwalan, mengucur sari-sari nira
dari ketakutan dan pelarian, punggung-punggung kita jadi terluka
maka biarkan aku menutup mata dalam mabuk, lantas membusuk
setelah tertusuk di dada paling jeluk.”

Di sudut rumah, lambat-lambat parang akan berkarat
sebab esok, tangan anak-cucu tak lagi bertulang, tak kuat mengangkat
apalagi membabat leher-leher yang khianat.

Ajarkan padaku, bagaimana parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana mantra ditiupkan
sebab sering kali sepajang jalan, penjajahan dibangkitkan.

Bukankah kesakitan mesti dinikmati, Ki? Maka tusuklah aku
sebagaimana tusuk pada dadamu, biar kelak kesakitan
kukabarkan pada pokok-pokok siwalan, dan disampaikan
lewat air pesing sisa kolang-kaling.

Ajarkan padaku, bagaimana parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana mantra ditiupkan
sebab sesekali, anak-anak akan membentak ibu-bapak
dan di langgar-langgar, perjanjian dengan Tuhan dilanggar.

Di sudut rumah, lambat-lambat parang patah berkarat
sebab anak-cucu matanya buta, tak tahu apa
apalagi soal bermain dan main-main.

“Dari sulur bunga siwalan, mengucur sari-sari nira
dari nista dan lupa kita, maka segala menjadi kenang
dan membuntang di petang yang panjang.”


Yogyakarta, Februari 2017



Pelayaran Kembali[8]
: Sak-sak

Kelak, di barat daya pulau ini, akan kurakit kembali kapal Sak-sak
kuutus-layarkan ia ke Tanah Mataram, sambil memungut sejarah
di palung Selat Bali, yang tenggelam seribu tahun silam.

Pelayaran kembali, kumulai selepas sesak pohonan sisa Anjani
kubabat-habiskan dengan kelewang-kelewang panjang
sepanjang kelupaan demi kelupaan yang mengiris-kikiskan ingatan kita.

Bagi nakhoda, juga para penumpang
kuharamkan menyuka dan menyaku kenangan
meski sebesar percik di lautan.

Takkan ada pulau singgah, sebab perjalanan kembali
sering kali dihempas dan dirubah-arahkan gelombang pura-pura.

Seperti puncak Rinjani yang lengang-hilang kepada tiada
kita akan pulang ke tanah sejarah paling palung: sebermula ada kita.

Sesampai di Tanah Mataram, akan kususun-bangkitkan
tubuh Raja Surya, dari serakan aksara di lontar Kotaragama
lantas kubiarkan ia membelah malam, sambil merapal-rapal doa jaring sutra
yang menyembul-bubulkan janji-janji yang terkubur.

Seperti Jowarsah pulang ke tanah kelahiran
maka sejarah dan janji-janji yang kembali, bakal melumpuhkan pura-pura
sebagaimana angin pasat tenggara, tertekuk-lututkan di gerbang Kanoman.


Praya, Januari 2017



Riwayat Istri Taat[9]
: Masmirah[10]

/1/ Wanita Kacang Panjang

Dalam pejam, aku terkenang jarak sepasang alismu:
ia mengajarkan rindu.

Lentik bulu matamu
persis putik kembang-kembang kacang panjang
menggantung di pancang-pancang
yang dipersiapkan sedari ditanam
sedari pertemuan.

Apabila musim berbuah datang sudah
kau menjinjing bakul berjalan cantik dan cerdik
sepanjang pematang yang mewakili harapan-harapan:
kalau malam kau keluhkan.

Kesepian meyakinkan kita
bahwa rumput dan dedaunan
tidak sepenuhnya diluapi sepi dalam diamnya
ia berdoa sebagaimana aku mendoakanmu
agar upah tidak terbengkalai
oleh kendala-kendala yang dikirim musim.

Jika panggilan mengiang dari hari depan
suara patahan tangkai buah adalah sahutan
sekaligus kedip persetujuan:
kau tengah memadat-pampatkan isi bakul
sekaligus kemapanan dalam diri.

Pagi-pagi sekali
di tengah pasar mingguan
kau menggelar tikar berjualan:
tangan-tangan datang memilah dan memilih
sesuai kuantitas dan kualitas kegelisahan.

Petang-petang sekali
kalau di berugak laki-laki datang meminang
kau menggulung tikar pandan
sebab pengabdian belumlah dituntaskan.

            /2/ Wanita Rumah Jajar[11]

Di berugak[12], kau menjamu tamu
di atas bilah-bilah bambu yang membelah jarak
pemisah jari-jari dari jabat
yang mengekalkan jeri di kedalaman dada.

Di berugak, kau menjamu belian[13]
dengan sadah, sirih, dan kopi diseduh
juga pinang yang terbelah seperti kita
mulai memisah-misah dalam kebersamaan.

Terdepan adalah kehormatan
maka aku dan lelaki pengapel lain
perlu dihargai sekaligus menghormati
sebab menenteng kemungkinan-kemungkinan:
harapan atau tipu, setipis ampas bambu.

Di bale tani, rencana demi rencana kau susun semenjak di serambi
lantas sebelum ditanam, dipendam berbulan-bulan di para-para kamar
biar bangun, ingatan menjadi basah dan lecah seperti tanah sawah.

Di kamar dalam, rahasia dan luka kau simpan dalam-dalam
sebelum sisa ingatan dimasukkan ke rantang-rantang
dan ditenteng ke jalan pengembaraan.

Tapi sebelum itu
di sekenam[14], persiapan adalah mula pengembaraanmu
seperti perjalanan gulungan benang
di panjang palang jajak[15].

Kau adalah lungsin-lungsin[16], dikencangkan dan telentang
dengan dada dibuka lapang, lantas siap disisip motif
ulang-aling dari pengiring[17].

Di dadamu, tata krama disemat kuat sampai pampat
sebelum berharkat istri yang taat.


Jejak Imaji, 2017



[1] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[2] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[3] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[4] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[5] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[6] Puisi ini terpilih sebagai nominator dalam “Lomba Cipta Puisi ASEAN 2017” yang diselenggarakan oleh DEMA FTIK IAIN Purwokerto dan termuat dalam buku Requiem Tiada Henti: Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-1 (SKSP, 2017).
[7] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[8] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[9] Puisi ini terpilih sebagai Juara II dalam “Lomba Penulisan Puisi Remaja DIY 2017” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BBY) dan selanjutnya dimuat pada kolom Budaya koran Merapi edisi Jumat, 16 Juni 2017.
[10] Nama “Masmirah” merujuk pada panggilan kasih sayang kepada seorang wanita yang lazim didengar di kalangan masyarakat Sasak, di samping beberapa istilah lainnya.
[11] Rumah jajar atau disebut juga bale jajar, yakni bangunan rumah tempat tinggal masyarakat Sasak golongan petani yang terdiri dari berugak (gazebo khas Sasak) di bagian paling depan untuk tamu, bale tani atau rumah utama di tengah, dan berugak sekenam di bagian paling belakang berfungsi sebagai tempat belajar menenun, belajar tata krama dan nilai budaya, serta tempat pertemuan internal keluarga.
[12] Berugak atau berugaq, yakni bangunan (gazebo) khas Sasak berupa panggung terbuka dengan empat tiang dan atapnya menyerupai lumbung.
[13] Belian adalah sebutan untuk dukun Sasak.
[14] Sekenam, biasa juga disebut berugaq sekenam, yakni bagian paling belakang dari rumah jajar yang berfungsi sebagai tempat belajar menenun (khusus wanita), belajar tata krama dan nilai budaya, serta tempat pertemuan internal keluarga.
[15] Jajak, bagian depan alat tenun Sasak yang berposisi berdiri membentuk segi panjang di sebelah kanan dan kiri, dan memiliki palang tempat menggulung lungsin.
[16] Lungsin atau lusi adalah benang tenun yang disusun sejajar dan tidak bergerak (memanjang dari palang jajak) yang padanya benang pakan dari pengiring diselipkan dengan cara diulang-alingkan.
[17] Pengiring adalah alat penggulung benang hasil pintalan yang diulang-alingkan pada lungsin untuk membuat motif kain.
Share: