Proses Atau Hasil:
Sebuah Refleksi bagi Kaum Intelektual Muda dalam
Berkarya
Ari Prastyo
Nugroho
Mahasiswa
dan Pelik-pelik Permasalahannya
Harapan yang pernah
dituliskan Sapardi (1973:129) dalam beberapa catatannya mengenai Kesusastraan
Indonesia Modern ialah bagaimana jika universitas di Indonesia (pada saat itu) mempunyai
Jurusan Indonesia atau Jurusan Sastra di tengah jurusan-jurusan bahasa yang
note benenya Internasional, misal bahasa Inggris. Dengan adanya wadah semacam
itu, jurusan tadi diharapkan akan menjadi jurusan yang paling sibuk mengadakan
kegiatan-kegiatan yang mempunyai daya tarik besar di samping berarti pula. Bila
melihat yang terjadi sekarang, menurut hemat saya, sudah banyak jurusan Indonesia
atau pun jurusan Sastra di berbagai universitas,
baik yang negeri maupun swasta.
Perkembangan ini tentu
sudah diketahui pula oleh Sapardi. Mestinya ia merasa sangat gembira dengan
menjamurnya jurusan bahasa/sastra indonesia baik dengan istilah masing-masing.
Misalnya, Jurusan Sastra Indonesia atau Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Namun, apakah menjamurnya hal tersebut juga sebanding dengan
kegiatan atau acara yang bisa menjadi ruh dan penggerak semangat berbahasa dan
bersastra di lingkungan kampus? Setidaknya begitu. Tak hanya semarak dan
sebatas mengundang sensasi. Kegiatan-kegiatan semacam dimaksudkan juga
memberikan esensi demi perkembangan di bidang tesebut. Meskipun demikian,
pantas dipertanyakan masih adakah geliat kerja, geliat berkarya di kalangan
mahasiswa di tengah-tengah kemajuan teknologi yang menawarkan kepraktisan? Jadi,
seperti yang dikatakan Bre Redana dalam wacananya “Aku Tak Berpikir, maka Aku
Ada”. Ungkapan yang kurang lebih untuk menunjuk fakta semakin tersingkirkannya
pelibatan proses berpikir yang mendalam oleh segala hal yang sifatnya praktis,
teknis, dan seketika. Dengan rumusan lain, orang kian malas berpikir.
Jika berbicara tentang
kampus, tidak bisa dikesampingkan begitu saja, yaitu pembicaraan terhadap mahasiswa.
Sebagian orang ada yang tidak bisa menikmati bangku kuliah, karena berbagai
alasan. Namun, tak sedikit yang bangga menjadi siswa yang maha, yaitu
mahasiswa. Dari namanya saja, sudah terkesankan kewibawaan, intelektualitas
yang mumpuni. Juga tersandarkan sebagai harapan ialah agent of change, seperti jamak yang kita ketahui. Mahasiswa dituntut
banyak hal di dalam perkuliahannya. Baik yang sifatnya akademis (yang secara
formal terikat dengan lembaga dalam hal ini universitas) atau kekeluargaan,
sampai pada pengembangan diri di luar akademik. Dengan begitu, mahasiswa
mempunyai dinamikanya sendiri. Belum lagi soal asmara, yang tentu saja tidak
luput dari perhatian mahasiswa. Dengan adanya banyak hal seperti itu, bagaimanakah
kedudukan berkarya bagi mahasiswa sekarang? Terutama mahasiswa bahasa dan sastra
Indonesia. Apakah sebagai tujuan, sebatas lahan singgah, atau justru dianggap
sebagai tabu? Yang terkahir saya rasa mustahil terjadi.
Bergegas
dalam Kepraktisan
Bayangkan, setiap
semester berapa mata kuliah yang diambil. Katakanlah 10 sampai 12 dengan SKS
rata-rata 24. Bagaimana jika masing-masing mata kuliah tiap minggunya
dilengkapi tugas. Dapat dipastikan yang hilir-mudik
dalam pikiran mahasiswa adalah tugas-tugas kuliah. Itu kalau toh memang dipikirkan. Lantas bagaimana kuliah
itu? Apakah sama dengan menggugurkan
tugas? Ada segelintir mahasiswa yang beranggapan, “Ayo kuliah, biar cepat
lulus”. Mindset tersebut perlahan
menjamur pada setiap kepala. Fokus yang ditekankan soal kecepatan. Kenapa tidak
“Ayo kuliah, biar cepat pandai?” Yang pertama tadi berasumsi bahwa kita bisa
belajar di mana saja, dalam ruang apa saja. Baiklah! Tapi lagi-lagi kita
membentur fokus yang sama “Biar cepat, biar cepat, … bla bla bla”. Indikasinya,
jelas bukan hasil sebagai prioritas. Karena itu, kecurigaan terhadap
berlangsungnya proses muncul. Bagaimana jika sudah demikian? Intensitas untuk bersetubuh
dengan proses akan lemah. Karena orientasinya ialah hasil, maka kecenderungan
berlaku praktis akan semakin tinggi. Kepraktisan akan lebih dipilih karena
dapat menjadi jalan pintas yang dipilih. Menjadi pemulus dalam melangkah. Kita
ambil contoh sederhana saja. Dengan akses internet yang begitu mudah, maka
tidak perlu repot lagi untuk mencari informasi. Karena segala informasi bisa
kita dapat di dalamnya. Kecuali, proses!
Kesempatan tersebut
sering dimanfaatkan oleh para mahasiswa‒yang jumlahnya tidak sedikit, untuk
memalsukan tugas kuliahnya. Kenapa demikian, karena tidak dikerjakan dengan
pikiran sendiri. Mereka cenderung comot
sana sini, tempel ini itu, lalu sedikit ditambah agar keliahatan serius. Celakanya
tindakan seperti itu masih ditambah kecenderungan mengabaikan aspek atau aturan
yang berlaku. Misalnya, dalam hal mengambil sumber referensi. Secara sederhana,
ketika mengambil pendapat orang untuk memperkuat argument, tentunya kita harus
minta izin dahulu. Wujud perizinannya dengan mencantumkan sumber dengan benar
dan elegan. Jika tidak, kita seperti tidak menghargai ilmu. Kita menjadi
seperti perampok. Selayaknya hal-hal elementer seperti itu sudah menjadi pengetahuan
umum bagi mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia. Tapi, apa yang terjadi? Silakan diamati!
Karena kasus seperti dimaksudkan, ada ilmuwan yang dianggap plagiat, lalu
dicabut gelarnya. Contoh lain, karena ketahuan, lalu nilai tidak keluar di KHS.
Belum lama ini kita juga dihebohkan berita mengenai ijazah palsu. Padahal,
semua itu baru sekadar teknis, belum lagi soal esensi, yang bagi orang sekaliber
mahasiswa semestinya sudah tuntas kritis.
Dilanjutkan oleh Bre Redana, kebiasaan
kutip sana sini, ini itu, akan melahirkan generasi kemasan. Generasi yang dari
luar tampak meyakinkan. Persis dengan segala sesuatu dikemas; praktis, dan
tidak perlu berlama-lama dengan proses. Padahal, berbagai macam kemudahan yang
ditawarkan melalui alat dan pelayanan membuat kita termanjakan. Semoga juga tidak
terbuai. Semua kemudahan tadi menyebabkan kita malas untuk berpikir. “Buat apa
susah-susah? Di internet juga ada. Minta kawan juga bisa.” “Gitu aja kok
repot!”. Berkarya bukan lagi keharusan meski sebetulnya merupakan bagian dari
status kemahsiswaan. Tugas dan berkarya menjadi jarang diminati. Tugas menjadi
alternatif pilihan paling akhir. Kalau sudah seperti itu, bagaimana akan muncul semangat untuk berkarya. Jika urusan
formalitas saja sudah demikian, apalagi yang jlimet. Jika memang ada geliatnya, kita juga
berhak meragukannya. Namun, lagi-lagi jika dalam kaitannya dengan proses.
Wadah dan Kesempatan yang
Diabaikan
Orang yang tidak
berkarya bisa jadi ia tidak punya peradaban, bagi individu atau mereka sendiri yang
mengabaikan wadah yang sudah ada.
Dalam lingkup kampus sebenarnya sudah banyak kegiatan yang semarak, entah
karena program kerja, atau memang karena dirasa sebagai kebutuhan. Mulai dari
pertunjukkan sastra (puisi, drama, monolog), membukukan
karya-karya mahasiswa, baik yang sifatnya independen atau ditumpangi
kepentingan tertentu. Juga tidak luput, yaitu berbagai perlombaan, baik yang
dilabeli regional sampai nasional. Namun, bagaimana antusias mahasiswa untuk
terlibat di dalamnya? Kegiatan yang semacam itu tidak atau bukan seperti
merebaknya Android, ramainya festival
gedget. Semuanya itu hanyalah
kenyataan sunyi, yang berjarak dari hingar bingar fisikalitas praktis, tidak
tahan lama, dan cepat berubah sesuai dengan sifat rakus manusia.
Kita ambil contoh, yang sudah menjadi semacam tradisi, karya sastra di media
massa, baik itu cerpen maupun puisi, pada jangka tertentu lalu diterbitkan kembali
dalam bentuk buku. Peran media massa dalam penyebaran karya sastra memang bisa dikatakan
penting. Media massa menjadi embrio lahirnya buku-buku besar (baca: bermutu).
Begitu juga dengan karya mahasiswa dalam lingkup
kampus. Penulisnya tentu tak ingin terlewat dari kemungkinan untuk bisa
membukukan karya. Motivasi tersebut dapat bermula dari kepedulian salah satu
mata kuliah yang menganggap bahwa berkarya itu sebuah keharusan, baik mahasiswa
Bahasa dan Sastra Indonesia, atau dari lingkup yang lebih besar daripada itu.
Untuk mewujudkannya bisa dilakukan dengan mengadakan kerja sama antara lembaga
dan penerbitan. Harapannya tradisi yang semacam itu tidak hanya latah, namun
sebagai bentuk perkembangan berpikir, yang lagi-lagi harus berjibaku dengan
proses.
Jika hasil masih sebagai orientasi, karya yang dihasilkan
tidak menutup kemungkinan menjadi kering, tidak hidup, tidak otentik. Bahkan parah
lagi sekadar serampangan. Hal ini disebabkan
karena kurangnya intensitas bergelut dengan kehidupan atau memandang sebuah
penciptaan sekadar sesuatu yang praktis. Secara sederhana, apabila benar-benar
dari proses, setiap detail sebuah karya kapanpun akan diingat. Akan membekas di
dalam pikiran dan perasaan. Jika sebaliknya, seluruh bagian hanya akan seperti angin
lalu. Sedikit pun tidak akan memberi efek pada pelakunya.
Memaknai
dan Kembali ke Hakiki
Begitulah gaya manusia modern sekarang. Manusia yang ingin berbuat banyak
dalam waktu yang ringkas, dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Keinginan
tersebut dikawal dengan ketat oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Nyaris tanpa alternatif. Semua seperti nyaman hanyut terbawa arus tradisi
produksi yang begitu-begitu. Manusia kian terjebak dalam kubang kesementaraan jika
tidak lekas beranjak mengukuhkan benteng kesadaran. Perlu disadari Kita tidak
bisa bertindak praktis terus-menerus. Prinsip efektif dan efisien memang perlu,
tapi pengertiannya bukan harus mengasingkan proses. Kita perlu terus mengamati dan
peka terhadap gejala-gejala di lingkungan sekitar.
Orang harus sadar
bagaimana dan di mana mikro dan makrokosmosnya. Kita ada karena semesta. Perlu
ada keyakinan terhadap setiap kerja, pada renik-renik yang bernama proses. Kita
jangan enggan untuk berpikir. Berkarya juga tidak lepas dari proses berpikir dan
perenungan terhadap suatu hal, entah peristiwa, gejala, atau yang lainnya. Jelas,
bahwa jalan pintas tidak bisa diharapkan muluk untuk mendapat sesuatu yang
besar, awet, apalagi dikenang banyak orang. Kita perlu yakin dalam berkarya
bahwa proses adalah hasil itu sendiri.
Jejak
Imaji, Juli 2015
*Tulisan ini menjadi juara harapan III dalam sayembara penulisan esai yang dislenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta 2015.
Daftar
Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1973. Kesustraan Indonesia Modern: Beberapa
catatan. Jakarta: PT. Gramedia.
Redana, Bre. 2011. Aku Tak Berpikir, maka Aku Ada. Dari http://nasional.kompas.com/read/2011/05/08/03534313/aku-tak-berpikir- maka-aku-ada. Diakses 27
Juni 2015.
0 komentar:
Posting Komentar