Jumat, 21 Juli 2017

Proses Atau Hasil: Sebuah Refleksi bagi Kaum Intelektual Muda dalam Berkarya

Proses Atau Hasil:
Sebuah Refleksi bagi Kaum Intelektual Muda dalam Berkarya
Ari Prastyo Nugroho

Mahasiswa dan Pelik-pelik Permasalahannya
Harapan yang pernah dituliskan Sapardi (1973:129) dalam beberapa catatannya mengenai Kesusastraan Indonesia Modern ialah bagaimana jika universitas di Indonesia (pada saat itu) mempunyai Jurusan Indonesia atau Jurusan Sastra di tengah jurusan-jurusan bahasa yang note benenya Internasional, misal bahasa Inggris. Dengan adanya wadah semacam itu, jurusan tadi diharapkan akan menjadi jurusan yang paling sibuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang mempunyai daya tarik besar di samping berarti pula. Bila melihat yang terjadi sekarang, menurut hemat saya, sudah banyak jurusan Indonesia atau pun jurusan Sastra di berbagai universitas, baik yang negeri maupun swasta.
Perkembangan ini tentu sudah diketahui pula oleh Sapardi. Mestinya ia merasa sangat gembira dengan menjamurnya jurusan bahasa/sastra indonesia baik dengan istilah masing-masing. Misalnya, Jurusan Sastra Indonesia atau Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun, apakah menjamurnya hal tersebut juga sebanding dengan kegiatan atau acara yang bisa menjadi ruh dan penggerak semangat berbahasa dan bersastra di lingkungan kampus? Setidaknya begitu. Tak hanya semarak dan sebatas mengundang sensasi. Kegiatan-kegiatan semacam dimaksudkan juga memberikan esensi demi perkembangan di bidang tesebut. Meskipun demikian, pantas dipertanyakan masih adakah geliat kerja, geliat berkarya di kalangan mahasiswa di tengah-tengah kemajuan teknologi yang menawarkan kepraktisan? Jadi, seperti yang dikatakan Bre Redana dalam wacananya “Aku Tak Berpikir, maka Aku Ada”. Ungkapan yang kurang lebih untuk menunjuk fakta semakin tersingkirkannya pelibatan proses berpikir yang mendalam oleh segala hal yang sifatnya praktis, teknis, dan seketika. Dengan rumusan lain, orang kian malas berpikir.
Jika berbicara tentang kampus, tidak bisa dikesampingkan begitu saja, yaitu pembicaraan terhadap mahasiswa. Sebagian orang ada yang tidak bisa menikmati bangku kuliah, karena berbagai alasan. Namun, tak sedikit yang bangga menjadi siswa yang maha, yaitu mahasiswa. Dari namanya saja, sudah terkesankan kewibawaan, intelektualitas yang mumpuni. Juga tersandarkan sebagai harapan ialah agent of change, seperti jamak yang kita ketahui. Mahasiswa dituntut banyak hal di dalam perkuliahannya. Baik yang sifatnya akademis (yang secara formal terikat dengan lembaga dalam hal ini universitas) atau kekeluargaan, sampai pada pengembangan diri di luar akademik. Dengan begitu, mahasiswa mempunyai dinamikanya sendiri. Belum lagi soal asmara, yang tentu saja tidak luput dari perhatian mahasiswa. Dengan adanya banyak hal seperti itu, bagaimanakah kedudukan berkarya bagi mahasiswa sekarang? Terutama mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia. Apakah sebagai tujuan, sebatas lahan singgah, atau justru dianggap sebagai tabu? Yang terkahir saya rasa mustahil terjadi.

Bergegas dalam Kepraktisan
Bayangkan, setiap semester berapa mata kuliah yang diambil. Katakanlah 10 sampai 12 dengan SKS rata-rata 24. Bagaimana jika masing-masing mata kuliah tiap minggunya dilengkapi tugas. Dapat dipastikan yang hilir-mudik dalam pikiran mahasiswa adalah tugas-tugas kuliah. Itu kalau toh memang dipikirkan. Lantas bagaimana kuliah itu? Apakah sama dengan menggugurkan tugas? Ada segelintir mahasiswa yang beranggapan, “Ayo kuliah, biar cepat lulus”. Mindset tersebut perlahan menjamur pada setiap kepala. Fokus yang ditekankan soal kecepatan. Kenapa tidak “Ayo kuliah, biar cepat pandai?” Yang pertama tadi berasumsi bahwa kita bisa belajar di mana saja, dalam ruang apa saja. Baiklah! Tapi lagi-lagi kita membentur fokus yang sama “Biar cepat, biar cepat, … bla bla bla”. Indikasinya, jelas bukan hasil sebagai prioritas. Karena itu, kecurigaan terhadap berlangsungnya proses muncul. Bagaimana jika sudah demikian? Intensitas untuk bersetubuh dengan proses akan lemah. Karena orientasinya ialah hasil, maka kecenderungan berlaku praktis akan semakin tinggi. Kepraktisan akan lebih dipilih karena dapat menjadi jalan pintas yang dipilih. Menjadi pemulus dalam melangkah. Kita ambil contoh sederhana saja. Dengan akses internet yang begitu mudah, maka tidak perlu repot lagi untuk mencari informasi. Karena segala informasi bisa kita dapat di dalamnya. Kecuali, proses!
Kesempatan tersebut sering dimanfaatkan oleh para mahasiswa‒yang jumlahnya tidak sedikit, untuk memalsukan tugas kuliahnya. Kenapa demikian, karena tidak dikerjakan dengan pikiran sendiri. Mereka cenderung comot sana sini, tempel ini itu, lalu sedikit ditambah agar keliahatan serius. Celakanya tindakan seperti itu masih ditambah kecenderungan mengabaikan aspek atau aturan yang berlaku. Misalnya, dalam hal mengambil sumber referensi. Secara sederhana, ketika mengambil pendapat orang untuk memperkuat argument, tentunya kita harus minta izin dahulu. Wujud perizinannya dengan mencantumkan sumber dengan benar dan elegan. Jika tidak, kita seperti tidak menghargai ilmu. Kita menjadi seperti perampok. Selayaknya hal-hal elementer seperti itu sudah menjadi pengetahuan umum bagi mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia. Tapi, apa yang terjadi? Silakan diamati! Karena kasus seperti dimaksudkan, ada ilmuwan yang dianggap plagiat, lalu dicabut gelarnya. Contoh lain, karena ketahuan, lalu nilai tidak keluar di KHS. Belum lama ini kita juga dihebohkan berita mengenai ijazah palsu. Padahal, semua itu baru sekadar teknis, belum lagi soal esensi, yang bagi orang sekaliber mahasiswa semestinya sudah tuntas kritis.
Dilanjutkan oleh Bre Redana, kebiasaan kutip sana sini, ini itu, akan melahirkan generasi kemasan. Generasi yang dari luar tampak meyakinkan. Persis dengan segala sesuatu dikemas; praktis, dan tidak perlu berlama-lama dengan proses. Padahal, berbagai macam kemudahan yang ditawarkan melalui alat dan pelayanan membuat kita termanjakan. Semoga juga tidak terbuai. Semua kemudahan tadi menyebabkan kita malas untuk berpikir. “Buat apa susah-susah? Di internet juga ada. Minta kawan juga bisa.” “Gitu aja kok repot!”. Berkarya bukan lagi keharusan meski sebetulnya merupakan bagian dari status kemahsiswaan. Tugas dan berkarya menjadi jarang diminati. Tugas menjadi alternatif pilihan paling akhir. Kalau sudah seperti itu, bagaimana akan muncul semangat untuk berkarya. Jika urusan formalitas saja sudah demikian, apalagi yang jlimet. Jika memang ada geliatnya, kita juga berhak meragukannya. Namun, lagi-lagi jika dalam kaitannya dengan proses.

Wadah dan Kesempatan yang Diabaikan
Orang yang tidak berkarya bisa jadi ia tidak punya peradaban, bagi individu atau mereka sendiri yang mengabaikan wadah yang sudah ada. Dalam lingkup kampus sebenarnya sudah banyak kegiatan yang semarak, entah karena program kerja, atau memang karena dirasa sebagai kebutuhan. Mulai dari pertunjukkan sastra (puisi, drama, monolog), membukukan karya-karya mahasiswa, baik yang sifatnya independen atau ditumpangi kepentingan tertentu. Juga tidak luput, yaitu berbagai perlombaan, baik yang dilabeli regional sampai nasional. Namun, bagaimana antusias mahasiswa untuk terlibat di dalamnya? Kegiatan yang semacam itu tidak atau bukan seperti merebaknya Android, ramainya festival gedget. Semuanya itu hanyalah kenyataan sunyi, yang berjarak dari hingar bingar fisikalitas praktis, tidak tahan lama, dan cepat berubah sesuai dengan sifat rakus manusia.
Kita ambil contoh, yang sudah menjadi semacam tradisi, karya sastra di media massa, baik itu cerpen maupun puisi, pada jangka tertentu lalu diterbitkan kembali dalam bentuk buku. Peran media massa dalam penyebaran karya sastra memang bisa dikatakan penting. Media massa menjadi embrio lahirnya buku-buku besar (baca: bermutu). Begitu juga dengan karya mahasiswa dalam  lingkup kampus. Penulisnya tentu tak ingin terlewat dari kemungkinan untuk bisa membukukan karya. Motivasi tersebut dapat bermula dari kepedulian salah satu mata kuliah yang menganggap bahwa berkarya itu sebuah keharusan, baik mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, atau dari lingkup yang lebih besar daripada itu. Untuk mewujudkannya bisa dilakukan dengan mengadakan kerja sama antara lembaga dan penerbitan. Harapannya tradisi yang semacam itu tidak hanya latah, namun sebagai bentuk perkembangan berpikir, yang lagi-lagi harus berjibaku dengan proses.
Jika hasil  masih sebagai orientasi, karya yang dihasilkan tidak menutup kemungkinan menjadi kering, tidak hidup, tidak otentik. Bahkan parah lagi sekadar serampangan. Hal ini disebabkan karena kurangnya intensitas bergelut dengan kehidupan atau memandang sebuah penciptaan sekadar sesuatu yang praktis. Secara sederhana, apabila benar-benar dari proses, setiap detail sebuah karya kapanpun akan diingat. Akan membekas di dalam pikiran dan perasaan. Jika sebaliknya, seluruh bagian hanya akan seperti angin lalu. Sedikit pun tidak akan memberi efek pada pelakunya.

Memaknai dan Kembali ke Hakiki  
Begitulah gaya manusia modern sekarang. Manusia yang ingin berbuat banyak dalam waktu yang ringkas, dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Keinginan tersebut dikawal dengan ketat oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. Nyaris tanpa alternatif. Semua seperti nyaman hanyut terbawa arus tradisi produksi yang begitu-begitu. Manusia kian terjebak dalam kubang kesementaraan jika tidak lekas beranjak mengukuhkan benteng kesadaran. Perlu disadari Kita tidak bisa bertindak praktis terus-menerus. Prinsip efektif dan efisien memang perlu, tapi pengertiannya bukan harus mengasingkan proses. Kita perlu terus mengamati dan peka terhadap gejala-gejala di lingkungan sekitar.
Orang harus sadar bagaimana dan di mana mikro dan makrokosmosnya. Kita ada karena semesta. Perlu ada keyakinan terhadap setiap kerja, pada renik-renik yang bernama proses. Kita jangan enggan untuk berpikir. Berkarya juga tidak lepas dari proses berpikir dan perenungan terhadap suatu hal, entah peristiwa, gejala, atau yang lainnya. Jelas, bahwa jalan pintas tidak bisa diharapkan muluk untuk mendapat sesuatu yang besar, awet, apalagi dikenang banyak orang. Kita perlu yakin dalam berkarya bahwa proses adalah hasil itu sendiri.
Jejak Imaji, Juli 2015 

*Tulisan ini menjadi juara harapan III dalam sayembara penulisan esai yang dislenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta 2015.

Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1973. Kesustraan Indonesia Modern: Beberapa catatan.  Jakarta: PT. Gramedia.

Redana, Bre. 2011. Aku Tak Berpikir, maka Aku Ada. Dari                                                  http://nasional.kompas.com/read/2011/05/08/03534313/aku-tak-berpikir-     maka-aku-ada. Diakses 27 Juni 2015.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar