Kamis, 27 Juli 2017

MEMAKNAI KEMBALI SEKOLAH

MEMAKNAI KEMBALI SEKOLAH
Oleh R. Ari Nugroho

Akan menjadi cukup sulit diterima apabila kita mempertanyakan sesuatu yang telah mapan. Apalagi sesuatu tersebut sudah mendarah daging dan (seolah) telah menjadi kebenaran kolektif. Alih-alih kita dikagumi karena daya kritisnya, tapi malah dituduh mencari-cari kesalahan. Sayangnya kita sering menganggap yang sudah dilakukan oleh kebanyakan orang dan telah menjadi kebiasaan merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa ditinjau ulang bahkan digugat. Padahal kebenaran kadang kala dinamis sesuai dengan perkembangan maupun pergesaran. Lalu, ini yang kita sebut salah kaprah yang sudah terlanjur dan langgeng menjadi pemakluman, tidak apa-apa, dan berubah menjadi kebenaran yang secara jamaah diyakini. Pemahaman dasar seperti itu yang mestinya kita tinjau kembali melalui beberapa pertimbangan, misalnya masih efektifkah, sejauh mana perkembangannya, atau justru jalan di tempat.
Kita boleh saja menganggap mustahil apa yang diwacanakan oleh Ivan Illich[1] jika melihat fenomena sekarang ini. Sekolah telah menjadi napas bagi masyarakat, kebutuhan yang bahkan melebihi pendidikan. Peran sekolah pada awalnya diambil alih oleh orang tua melalui pengasuhan kepada anaknya, kini telah menjadi gedung, kelas dan segala fasilitas yang menunjang untuk proses pembelajaran yang direncanakan, diatur sedemikian rupa: jenjang umur, masa sekolah, materi yang diterima, batasan waktu, dan seterusnya. Sekolah telah tersebar di mana-mana secara geografis dan dalam mindset manusianya.
Apabila kita berjumpa dengan seorang anak yang belum dikenal lalu penasaran dengannya, biasanya bertanya umurnya berapa atau mudahnya adalah menanyakan “Sudah kelas berapa?”, atau “Adik sudah sekolah belum?”. Sekolah juga telah melekatkan memori kepada setiap siswanya dalam pengalaman yang menyenangkan dan menyedihkan; percintaan, kenakalan yang iseng-iseng, dan sumbangan ceritanya untuk dunia sinetron bahkan perfilman, dan dongeng-dongen kelak hari tua.
Para orang tua dalam mengidentifikasi dan memperkenalkan anaknya kepada orangtua lain dengan cara mengacu kepada jenjang-jenjang pendidikan; “ini anak saya yang kedua, sudah mau SMP, dia ingin masuk sekolah favorit.” Mendengar kata favorit saja kita langsung bisa terkagum dan menentukan kiblat bahwa selanjutnya harus bisa masuk sekolah tersebut. Namun, pada sisi lain kata ini, kita segera bisa menyatakan bahwa pendidikan belum juga merupakan suatu pemerataan. Maka, kiranya upaya menteri pendidikan dalam mengatur sekolah melalui sistem zonasi dirasa akan menjadi langkah yang tepat[2].
Sebagian masa hidup anak dialokasikan untuk mengenyam pendidikan yang bernama sekolah. Usia anak tampak direduksi oleh lembaga sekolah, karena sebagian besar sekolah menyumbangkan materi pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran sebagai produk dagangan. Misalnya bila kita mengamati mata pelajaran sekolah dasar, terutama di sekolah yang berbasis islam seperti Muhammadiyah. Di dalam materi ajar kelas 2 terdapat mata pelajaran Al-islam yang menekankan kebiasaan baik dan nilai-nilai karakter. Mata pelajaran umum seperti PKn dan IPS pada dasarnya punya muatan yang sama, namun mungkin yang dianggap membedakan adalah konteksnya. Jika Al-islam dalam kerangka agama, sementara IPS dan PKn lebih pada historis keindonesiaan. Ilmu dan pengetahuan sudah disekat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kekhawatiran bersama apakah itu bentuk indoktrinasi dibandingkan memberi kebebasan dan mengembangkan diri.  Belum lagi persoalan pengulangan materi ajar yang pernah disampaikan di kelas 1 kemudian masih ada di kelas 2. Anak-anak sedang dikurung dalam lembaga yang konon sebagai representasi pendidikan. Anak-anak justru sedang dibatasi cakrawala pengetahuannya.
Kedua mata pelajaran tersebut juga cukup redup dibanding dengan penekanan pembelajaran yang lebih kepada mata pelajaran seperti Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Hal itu ditunjukkan dengan alokasi jam berdasarkan kurikulum. Bila perlu, dan ini cukup banyak lembaga penyedia jasa tersebut; Ganesha Operation, Kumon, Neutron, dll, siswa mencari tambahan waktu belajar ke luar sekolah. Pada satu sisi, para siswa mengejar apa yang dibutuhkan karena merasa belum cukup puas dengan apa yang diberikan oleh sekolah. Namun, di sisi lain penyedia jasa tersebut yang mengutamakan beberapa mata pelajaran saja dan secara tidak langsung sekolah telah berkurang daya mendidiknya; kehabisan metode dan teknik yang relevan dengan perkembangan anak-anak sekarang. Tapi, yang amat terasa dari dominannya ketiga mata pelajaran tersebut adalah perlahan menggeser rasa kepemilikan terhadap keindonesiaan beserta historisnya. Nilai Pancasila tak lagi digali, sejarah tidak suntuk dipelajari. Sekolah dengan demikian bertumpu dan menuju masa depan. Maka, tidak heran jika momentum Hari Pendidikan Nasional kemarin dimanfaatkan warga Yogyakarta untuk menandatangani petisi yang berisi keinginan agar pendidikan Pancasila dikembalikan di semua jenjang pendidikan di seluruh Indonesia.[3]
Bila di jenjang sekolah dasar barangkali kecil sekali prosentase penanaman karakternya karena kendala mata pelajaran yang saling tumpah tindih, dan bayangkan saja, karakter mesti diukur secara administratif dengan perangkat yang juga kaku. Mereka kurang diberi bekal keterampilan. Hal ini mengakibatkan usia hidup manusia kurang efektif. Dalam umur belasan tahun misalnya belum juga menguasai keterampilan tertentu. Artinya penambahan usia seseoarang tidak dipacu dengan pengetahuan dan keterampilan apa yang telah dicapai. Dampak lain adalah misalnya ketidaksiapan ketika memasuki dunia kerja, maka mereka  memerlukan adanya masa percobaan. Satu contoh ini pun sudah cukup menimbulkan penyempitan pendidikan, seolah yang berhak melakukannya hanya sekolah. Padahal kita sering menemukan orang yang segera saja cepat memahami suatu teori atau prinsip ketika dia praktik dalam dunia kerja langsung entah disertai tuntutan atau tidak.
Barangkali akan menjadi lain jika masa kanak-kanak tidak diproduksi oleh kaum borjuis[4], karena mereka akan mempunyai kesamaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dampak yang cukup terasa dari kelahiran konsep masa kanak-kanak ini adalah sebuah “pemakluman”. Anak-anak dibiarkan saja misal melakukan kebohongan dan tidak patuh kepada nasihat orangtua dan guru. Kekeliruan anak sekecil apapun dan membuat alasan karena mereka masih anak-anak tidak bisa dianggap gampang dan maklum, karena pemakluman jika terus dilakukan akan melanggengkannya. Sesuatu yang menjadi pedoman kelak, justru sangat disederhanakan (bila tidak boleh mengatakan menggampangkan). Lantas para pendidik tidak bisa tega(s) kepada anak-anaknya. Apalagi memperlakukan anak-anak di generasi Z[5]  yang dilingkupi segala ketersediaan yang lahir di kota-kota besar, serta mereka yang sekolah dengan biaya yang mahal. Masa kanak-kanak menjadi privilise dan bebas dari beban peringatan. Silakan bisa ditelusuri sampai kepada para pejabat sekarang yang menduduki lembaga pemerintahan. Berapa usia rata-rata mereka sekarang, dan apa yang mereka lakukan di depan media massa yang secara bergiliran dan berlarut-larut memberitakannya. Kita perlu yakin mereka juga pernah mengenyam bangku sekolah. Maka, kiranya perkataan yang cukup keras dari Romo Mangunwijaya bahwa biar sebobrok apapun SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi asal ketika di SD mereka sudah matang secara kepribadian, watak, atau perilaku, patut direnungkan.  
Romo Mangunwijaya tentu  sudah memahami, sebelum anak dipercayakan ke lembaga sekolah, pendidikan anakmerupakan tanggung jawab orangtua masing-masing[6]. Namun, perubahan ini mesti kita anggap sebuah perkembangan  karena dinamis pesatnya zaman atau sebagai sebuah pergeseran yang melaju jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri(?). Ini masih sesuatu yang membingungkan. Karena di abad 21 ini laju kehidupan semakin kompleks: kebutuhan dan keinginan berbaur-campur, lokal dan global mengabur, “kecepatan” menyalip “pelan-pelan”, serta efektif dan efisien tidak sebangun lagi dengan teliti dan mendalam. Maka, pikiran manusia sekarang sangatlah penuh-sesak. Maka, alasan ini yang akan melanggengkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang utama. Para orang tua yang sudah sibuk, sampai tidak sanggup mendidik anaknya, lalu mempercayakan anak-anaknya kepada sekolah. Kesibukan ini lebih mengacu kepada kegiatan kerja memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga barangkali ada ketidakseimbangan kemampuan antara mencari nafkah dengan mendidik. Keduanya sulit berjalan sekaligus. Fenomena ini ke depannya akan menyuburkan lembaga-lembaga penyedia pendidikan moral seperti boarding scholl, full day, dan semacamnya yang berbasis agama. Inilah pasar. Dan akan semakin dianggap lucu bila yang perlu didik (sebenarnya) adalah para orangtua, bukan anak-anaknya.
Berkembangnya kebutuhan yang demikian membuat lembaga sekolah swasta di kota besar seperti Yogyakarta seakan mengambil alih peran pendidikan yang diselenggarakan sekolah negeri. Artinya, minat masyarakat cenderung memilih sekolah swasta meski harus membayar lebih dibanding dengan sekolah negeri yang gratis. Atas kepercayaan masyarakat, sekolah swasta berkembang pesat di kota-kota besar.
Kita bisa mengamati terutama pendidikan Muhammdiyah di Yogyakarta pada tingkat sekolah dasar. Beberapa sekolah dasar Muhammadiyah telah bergerak ke sana. Yang tampak jelas adalah SD Muhammadiyah Sapen dan beberapa sekolah binaannya. Sudah cukup lama perkembangan yang demikian dengan segenap prestasi dan nilai kredit yang melejit. Upaya DIKDASMEN Muhammadiyah kiranya sedang meneruskan apa yang dulu diwasiatkan Romo Mangun tadi; membangun sekolah dasar yang berkualitas. Namun, biaya ternyata sebanding dengan kualitas tersebut.
Untuk mencapai label berkualitas tersebut, sekolah memang menggunakan prinsip dasar bahwa hidup mati sekolah tergantung pada siswa. Beruntungnya, sekolah Muhammadiyah ini berada di tengah kota yang masyarakatnya mempunyai latar belakang ekonomi menengah. Maka, kita tidak heran, orientasi mereka adalah kuantitas, barulah menuju kualitas. Operasional yang lancar dan melimpahnya fasilitas dan peralatan sekolah memang terkesan semata akumulasi dari modal kapital.
Namun, gerak sekolah dasar Muhammadiyah ini semakin menuju yang disebut Ivan Illich ke spektrum kanan sebagai lembaga manipulatif[7]. Lembaga tipe ini yang mewarnai di masa sekarang ini. peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga ini menuntut konsumsi dan partisipasi paksa. Di lembaga manipulatif, klien atau masyarakat pengguna menjadi korban periklanan dan indoktrinasi. Selain itu, yang perlu digaris bawahi, bahwa lembaga ini mempunyai proses-proses produksi yang sangat kompleks dan mahal. Banyak tenaga dan biaya yang diarahkan untuk meyakinkan konsumen. Sehingga lembaga manipulatif menyebabkan orang-orang “kecanduan” secara sosial dan psikologis. Kecanduan kebutuhan sosial berupa kecenderungan untuk menganjurkan peningkatan pelayanan jika prestasi yang diharapkan belum membuahkan hasil. Secara psikologis, lembaga ini menjerat masyarakatnya untuk menikmati makin banyak proses atau produksi. Sekolah sebagai kepentingan umum yang palsu, seolah-olah terbuka namun menerima dari golongan atau segelintir orang tertentu.
Gerak sekolah dasar Muhammadiyah ini cenderung menuju ke arah elit dan eksklusif, artinya mereka sebagai penyedia jasa dengan segenap sistem yang ketat dan matang dapat dengan mudah menanamkan kepercayaan kepada masyarakat melalui prestasi yang sekaligus strategi promosi dan indoktrinasi secara ideologi. Masyarakat yang ingin mendapat pendidikan yang berkualitas mesti bermain dengan beli-membeli paket program sekolah. Fenomena ini yang menjadi salah satu penyebab terhambatnya pemerataan pendidikan sebagaimana yang menjadi tema besar peringatan Hari Pendidikan Nasional belakangan ini. Apalagi hal ini diperparah dengan keberadaan sekolah negeri yang anteng-anteng saja karena keterbatasan dana. Bila kita melihat melalui sudut pandang yang lain, pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan telah lumpuh. Sekarang kebutuhan sekolah bergeser yang awalnya hak dan akan dilindungi oleh negara berubah menjadi kemewahan, atau privilise segelintir orang.
Mungkinkah ini wajah lain sekolah-sekolah yang dulu ada di zaman Belanda?[8] Bila demikian, akan semakin banyak kepercayaan bahwa sekolah berkualitas adalah sekolah yang menerima dana yang besar. Maka, cukup sulit meuwujudkan harapan kita tentang pendidikan yang merata di seluruh Indonesia.



[1] Ivan Illich. Bebas Dari Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Hal. 11
[2] “Kemdikbud Bentuk Aturan Baru untuk Cegah Ada Sekolah Favorit”. https://tirto.id/kemdikbud-bentuk-aturan-baru-untuk-cegah-ada-sekolah-favorit-cnns
[3] Lihat Kedaulatan Rakyat, “Momentum Hari Pendidikan Nasional: Pancasila Diminta Diajarkan Kembali”, 3 Mei 2017
[4] Ivan Illich. Bebas Dari Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan. 1980, hal 42-43
[5] Generasi Z menurutu Bruce Horovitz adalah anak-anak yang lahir antara 1995 sampai 2014. Generasi ini lahir di lingkungan internet. Selengkapnya lihat dalam tulisan Aulia Adam. “Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z”. https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX
[6] Dahulu sekolah merupakan kegiatan di waktu luang untuk menambah pengetahuan. Para orangtua memanfaatkan waktu luang mereka mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang ahli. Namun, kegiatan tersebut diberlakukan kepada anaknya. Karena perkembangan kehidupan yang kian dan menyita waktu, para orangtua merasa tidak punya waktu untuk mengajarkan sesuatu kepada anaknya. Selangkapnya lihat Roem Topatimasang. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Insist Press, 2013, hal. 5-7
[7] Ivan Illich, Op. Cit. hal 73-80
[8] Lihat selengkapnya dalam tulisan Petrik Matasani. Sekolah-sekolah di Zaman Belanda. https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bxbV 24 Oktober 2016

Share:

0 komentar:

Posting Komentar