MEMAKNAI
KEMBALI SEKOLAH
Oleh R. Ari Nugroho
Akan menjadi cukup
sulit diterima apabila kita mempertanyakan sesuatu yang telah mapan. Apalagi
sesuatu tersebut sudah mendarah daging dan (seolah) telah menjadi kebenaran
kolektif. Alih-alih kita dikagumi karena daya kritisnya, tapi malah dituduh
mencari-cari kesalahan. Sayangnya kita sering menganggap yang sudah dilakukan
oleh kebanyakan orang dan telah menjadi kebiasaan merupakan suatu kebenaran
yang tidak bisa ditinjau ulang bahkan digugat. Padahal kebenaran kadang kala
dinamis sesuai dengan perkembangan maupun pergesaran. Lalu, ini yang kita sebut
salah kaprah yang sudah terlanjur dan langgeng menjadi pemakluman, tidak
apa-apa, dan berubah menjadi kebenaran yang secara jamaah diyakini. Pemahaman
dasar seperti itu yang mestinya kita tinjau kembali melalui beberapa
pertimbangan, misalnya masih efektifkah, sejauh mana perkembangannya, atau
justru jalan di tempat.
Kita boleh saja
menganggap mustahil apa yang diwacanakan oleh Ivan Illich[1] jika melihat fenomena sekarang
ini. Sekolah telah menjadi napas bagi masyarakat, kebutuhan yang bahkan
melebihi pendidikan. Peran sekolah pada awalnya diambil alih oleh orang tua
melalui pengasuhan kepada anaknya, kini telah menjadi gedung, kelas dan segala
fasilitas yang menunjang untuk proses pembelajaran yang direncanakan, diatur
sedemikian rupa: jenjang umur, masa sekolah, materi yang diterima, batasan
waktu, dan seterusnya. Sekolah telah tersebar di mana-mana secara geografis dan
dalam mindset manusianya.
Apabila kita berjumpa
dengan seorang anak yang belum dikenal lalu penasaran dengannya, biasanya
bertanya umurnya berapa atau mudahnya adalah menanyakan “Sudah kelas berapa?”,
atau “Adik sudah sekolah belum?”. Sekolah juga telah melekatkan memori kepada
setiap siswanya dalam pengalaman yang menyenangkan dan menyedihkan; percintaan,
kenakalan yang iseng-iseng, dan sumbangan ceritanya untuk dunia sinetron bahkan
perfilman, dan dongeng-dongen kelak hari tua.
Para orang tua dalam
mengidentifikasi dan memperkenalkan anaknya kepada orangtua lain dengan cara
mengacu kepada jenjang-jenjang pendidikan; “ini anak saya yang kedua, sudah mau
SMP, dia ingin masuk sekolah favorit.” Mendengar kata favorit saja kita
langsung bisa terkagum dan menentukan kiblat bahwa selanjutnya harus bisa masuk
sekolah tersebut. Namun, pada sisi lain kata ini, kita segera bisa menyatakan
bahwa pendidikan belum juga merupakan suatu pemerataan. Maka, kiranya upaya
menteri pendidikan dalam mengatur sekolah melalui sistem zonasi dirasa akan
menjadi langkah yang tepat[2].
Sebagian masa hidup
anak dialokasikan untuk mengenyam pendidikan yang bernama sekolah. Usia anak
tampak direduksi oleh lembaga sekolah, karena sebagian besar sekolah
menyumbangkan materi pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran sebagai
produk dagangan. Misalnya bila kita mengamati mata pelajaran sekolah dasar,
terutama di sekolah yang berbasis islam seperti Muhammadiyah. Di dalam materi
ajar kelas 2 terdapat mata pelajaran Al-islam yang menekankan kebiasaan baik
dan nilai-nilai karakter. Mata pelajaran umum seperti PKn dan IPS pada dasarnya
punya muatan yang sama, namun mungkin yang dianggap membedakan adalah
konteksnya. Jika Al-islam dalam kerangka agama, sementara IPS dan PKn lebih
pada historis keindonesiaan. Ilmu dan pengetahuan sudah disekat sedemikian
rupa, sehingga menimbulkan kekhawatiran bersama apakah itu bentuk indoktrinasi
dibandingkan memberi kebebasan dan mengembangkan diri. Belum lagi persoalan pengulangan materi ajar
yang pernah disampaikan di kelas 1 kemudian masih ada di kelas 2. Anak-anak
sedang dikurung dalam lembaga yang konon sebagai representasi pendidikan. Anak-anak
justru sedang dibatasi cakrawala pengetahuannya.
Kedua mata pelajaran
tersebut juga cukup redup dibanding dengan penekanan pembelajaran yang lebih
kepada mata pelajaran seperti Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Hal itu
ditunjukkan dengan alokasi jam berdasarkan kurikulum. Bila perlu, dan ini cukup
banyak lembaga penyedia jasa tersebut; Ganesha Operation, Kumon, Neutron, dll,
siswa mencari tambahan waktu belajar ke luar sekolah. Pada satu sisi, para
siswa mengejar apa yang dibutuhkan karena merasa belum cukup puas dengan apa
yang diberikan oleh sekolah. Namun, di sisi lain penyedia jasa tersebut yang
mengutamakan beberapa mata pelajaran saja dan secara tidak langsung sekolah
telah berkurang daya mendidiknya; kehabisan metode dan teknik yang relevan
dengan perkembangan anak-anak sekarang. Tapi, yang amat terasa dari dominannya
ketiga mata pelajaran tersebut adalah perlahan menggeser rasa kepemilikan
terhadap keindonesiaan beserta historisnya. Nilai Pancasila tak lagi digali,
sejarah tidak suntuk dipelajari. Sekolah dengan demikian bertumpu dan menuju
masa depan. Maka, tidak heran jika momentum Hari Pendidikan Nasional kemarin dimanfaatkan
warga Yogyakarta untuk menandatangani petisi yang berisi keinginan agar
pendidikan Pancasila dikembalikan di semua jenjang pendidikan di seluruh
Indonesia.[3]
Bila di jenjang sekolah
dasar barangkali kecil sekali prosentase penanaman karakternya karena kendala
mata pelajaran yang saling tumpah tindih, dan bayangkan saja, karakter mesti
diukur secara administratif dengan perangkat yang juga kaku. Mereka kurang
diberi bekal keterampilan. Hal ini mengakibatkan usia hidup manusia kurang
efektif. Dalam umur belasan tahun misalnya belum juga menguasai keterampilan
tertentu. Artinya penambahan usia seseoarang tidak dipacu dengan pengetahuan
dan keterampilan apa yang telah dicapai. Dampak lain adalah misalnya
ketidaksiapan ketika memasuki dunia kerja, maka mereka memerlukan adanya masa percobaan. Satu contoh
ini pun sudah cukup menimbulkan penyempitan pendidikan, seolah yang berhak
melakukannya hanya sekolah. Padahal kita sering menemukan orang yang segera
saja cepat memahami suatu teori atau prinsip ketika dia praktik dalam dunia
kerja langsung entah disertai tuntutan atau tidak.
Barangkali akan menjadi
lain jika masa kanak-kanak tidak diproduksi oleh kaum borjuis[4], karena mereka akan
mempunyai kesamaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dampak
yang cukup terasa dari kelahiran konsep masa kanak-kanak ini adalah sebuah
“pemakluman”. Anak-anak dibiarkan saja misal melakukan kebohongan dan tidak
patuh kepada nasihat orangtua dan guru. Kekeliruan anak sekecil apapun dan
membuat alasan karena mereka masih anak-anak tidak bisa dianggap gampang dan
maklum, karena pemakluman jika terus dilakukan akan melanggengkannya. Sesuatu
yang menjadi pedoman kelak, justru sangat disederhanakan (bila tidak boleh
mengatakan menggampangkan). Lantas para pendidik tidak bisa tega(s) kepada
anak-anaknya. Apalagi memperlakukan anak-anak di generasi Z[5] yang dilingkupi segala ketersediaan yang
lahir di kota-kota besar, serta mereka yang sekolah dengan biaya yang mahal. Masa
kanak-kanak menjadi privilise dan bebas dari beban peringatan. Silakan bisa
ditelusuri sampai kepada para pejabat sekarang yang menduduki lembaga
pemerintahan. Berapa usia rata-rata mereka sekarang, dan apa yang mereka
lakukan di depan media massa yang secara bergiliran dan berlarut-larut
memberitakannya. Kita perlu yakin mereka juga pernah mengenyam bangku sekolah.
Maka, kiranya perkataan yang cukup keras dari Romo Mangunwijaya bahwa biar
sebobrok apapun SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi asal ketika di SD mereka sudah
matang secara kepribadian, watak, atau perilaku, patut direnungkan.
Romo Mangunwijaya
tentu sudah memahami, sebelum anak
dipercayakan ke lembaga sekolah, pendidikan anakmerupakan tanggung jawab
orangtua masing-masing[6]. Namun, perubahan ini
mesti kita anggap sebuah perkembangan karena
dinamis pesatnya zaman atau sebagai sebuah pergeseran yang melaju jauh dari
hakikat pendidikan itu sendiri(?). Ini masih sesuatu yang membingungkan. Karena
di abad 21 ini laju kehidupan semakin kompleks: kebutuhan dan keinginan
berbaur-campur, lokal dan global mengabur, “kecepatan” menyalip “pelan-pelan”,
serta efektif dan efisien tidak sebangun lagi dengan teliti dan mendalam. Maka,
pikiran manusia sekarang sangatlah penuh-sesak. Maka, alasan ini yang akan
melanggengkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang utama. Para orang tua
yang sudah sibuk, sampai tidak sanggup mendidik anaknya, lalu mempercayakan
anak-anaknya kepada sekolah. Kesibukan ini lebih mengacu kepada kegiatan kerja
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga barangkali ada ketidakseimbangan
kemampuan antara mencari nafkah dengan mendidik. Keduanya sulit berjalan
sekaligus. Fenomena ini ke depannya akan menyuburkan lembaga-lembaga penyedia
pendidikan moral seperti boarding scholl,
full day, dan semacamnya yang
berbasis agama. Inilah pasar. Dan akan semakin dianggap lucu bila yang perlu
didik (sebenarnya) adalah para orangtua, bukan anak-anaknya.
Berkembangnya kebutuhan
yang demikian membuat lembaga sekolah swasta di kota besar seperti Yogyakarta
seakan mengambil alih peran pendidikan yang diselenggarakan sekolah negeri.
Artinya, minat masyarakat cenderung memilih sekolah swasta meski harus membayar
lebih dibanding dengan sekolah negeri yang gratis. Atas kepercayaan masyarakat,
sekolah swasta berkembang pesat di kota-kota besar.
Kita bisa mengamati
terutama pendidikan Muhammdiyah di Yogyakarta pada tingkat sekolah dasar.
Beberapa sekolah dasar Muhammadiyah telah bergerak ke sana. Yang tampak jelas
adalah SD Muhammadiyah Sapen dan beberapa sekolah binaannya. Sudah cukup lama
perkembangan yang demikian dengan segenap prestasi dan nilai kredit yang
melejit. Upaya DIKDASMEN Muhammadiyah kiranya sedang meneruskan apa yang dulu
diwasiatkan Romo Mangun tadi; membangun sekolah dasar yang berkualitas. Namun,
biaya ternyata sebanding dengan kualitas tersebut.
Untuk mencapai label
berkualitas tersebut, sekolah memang menggunakan prinsip dasar bahwa hidup mati
sekolah tergantung pada siswa. Beruntungnya, sekolah Muhammadiyah ini berada di
tengah kota yang masyarakatnya mempunyai latar belakang ekonomi menengah. Maka,
kita tidak heran, orientasi mereka adalah kuantitas, barulah menuju kualitas. Operasional
yang lancar dan melimpahnya fasilitas dan peralatan sekolah memang terkesan
semata akumulasi dari modal kapital.
Namun, gerak sekolah
dasar Muhammadiyah ini semakin menuju yang disebut Ivan Illich ke spektrum
kanan sebagai lembaga manipulatif[7]. Lembaga tipe ini yang
mewarnai di masa sekarang ini. peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga ini
menuntut konsumsi dan partisipasi paksa. Di lembaga manipulatif, klien atau
masyarakat pengguna menjadi korban periklanan dan indoktrinasi. Selain itu,
yang perlu digaris bawahi, bahwa lembaga ini mempunyai proses-proses produksi
yang sangat kompleks dan mahal. Banyak tenaga dan biaya yang diarahkan untuk
meyakinkan konsumen. Sehingga lembaga manipulatif menyebabkan orang-orang
“kecanduan” secara sosial dan psikologis. Kecanduan kebutuhan sosial berupa
kecenderungan untuk menganjurkan peningkatan pelayanan jika prestasi yang
diharapkan belum membuahkan hasil. Secara psikologis, lembaga ini menjerat
masyarakatnya untuk menikmati makin banyak proses atau produksi. Sekolah
sebagai kepentingan umum yang palsu, seolah-olah terbuka namun menerima dari
golongan atau segelintir orang tertentu.
Gerak sekolah dasar
Muhammadiyah ini cenderung menuju ke arah elit dan eksklusif, artinya mereka
sebagai penyedia jasa dengan segenap sistem yang ketat dan matang dapat dengan
mudah menanamkan kepercayaan kepada masyarakat melalui prestasi yang sekaligus
strategi promosi dan indoktrinasi secara ideologi. Masyarakat yang ingin
mendapat pendidikan yang berkualitas mesti bermain dengan beli-membeli paket
program sekolah. Fenomena ini yang menjadi salah satu penyebab terhambatnya
pemerataan pendidikan sebagaimana yang menjadi tema besar peringatan Hari Pendidikan
Nasional belakangan ini. Apalagi hal ini diperparah dengan keberadaan sekolah
negeri yang anteng-anteng saja karena keterbatasan dana. Bila kita melihat
melalui sudut pandang yang lain, pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan
telah lumpuh. Sekarang kebutuhan sekolah bergeser yang awalnya hak dan akan
dilindungi oleh negara berubah menjadi kemewahan, atau privilise segelintir
orang.
Mungkinkah ini wajah
lain sekolah-sekolah yang dulu ada di zaman Belanda?[8] Bila demikian, akan
semakin banyak kepercayaan bahwa sekolah berkualitas adalah sekolah yang menerima
dana yang besar. Maka, cukup sulit meuwujudkan harapan kita tentang pendidikan
yang merata di seluruh Indonesia.
[1] Ivan Illich. Bebas Dari Sekolah. Jakarta: Sinar
Harapan, 1984. Hal. 11
[2] “Kemdikbud Bentuk
Aturan Baru untuk Cegah Ada Sekolah Favorit”.
https://tirto.id/kemdikbud-bentuk-aturan-baru-untuk-cegah-ada-sekolah-favorit-cnns
[3] Lihat Kedaulatan Rakyat, “Momentum Hari
Pendidikan Nasional: Pancasila Diminta Diajarkan Kembali”, 3 Mei 2017
[4] Ivan Illich. Bebas Dari
Sekolah. Jakarta: Sinar Harapan. 1980, hal 42-43
[5] Generasi Z menurutu
Bruce Horovitz adalah anak-anak yang lahir antara 1995 sampai 2014. Generasi
ini lahir di lingkungan internet. Selengkapnya lihat dalam tulisan Aulia Adam.
“Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z”.
https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX
[6] Dahulu sekolah
merupakan kegiatan di waktu luang untuk menambah pengetahuan. Para orangtua
memanfaatkan waktu luang mereka mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang
ahli. Namun, kegiatan tersebut diberlakukan kepada anaknya. Karena perkembangan
kehidupan yang kian dan menyita waktu, para orangtua merasa tidak punya waktu
untuk mengajarkan sesuatu kepada anaknya. Selangkapnya lihat Roem Topatimasang.
Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Insist
Press, 2013, hal. 5-7
[7] Ivan Illich, Op. Cit. hal 73-80
[8] Lihat selengkapnya
dalam tulisan Petrik Matasani. Sekolah-sekolah
di Zaman Belanda. https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bxbV 24 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar