Kamis, 20 Juli 2017

POLARIS

POLARIS
Wika G. Wulandari
            Orang bilang kota ini adalah kota nelayan. Ayah saya nelayan, kakek saya pun nelayan. Semua tetangga saya nelayan. Teman-teman SD saya dulu, bila ditanya apa cita-cita mereka, tanpa ragu dijawablah nelayan. Bahkan perempuan pun banyak yang ingin menjadi nelayan.
            Hanya saya satu-satunya yang bercita-cita keluar kota. Melihat wujud nyata ibukota, bapak kota, atau apa pun nama kota itu. Saya ingin belajar di kota orang. Mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, sebelum pulang dan menikah dengan seorang nelayan.
            Ayah awalnya tak mengizinkan. “Buat apa keluar kota? Di sini pun kau akan belajar banyak. Tentang laut, tentang para nelayan, dan apa pun yang ingin kau ketahui. Tak perlulah pergi jauh-jauh!”
            “Nelayan pun harus pergi jauh bila ingin dapat ikan banyak,” jawab saya sedikit ngeyel.
            Ayah tersenyum dan mengangguk. “Saya mengerti, Lia. Kau ingin pergi karena jenuh dengan kota ini. Kau ingin sesuatu yang baru. Penasaranmu tinggi, saya tahu itu. Biar saya pikirkan dulu. Kau anak perempuan saya satu-satunya. Tak tega saya melepasmu sendiri.”
            Bukan hal lumrah memang seorang perempuan di kota kami pergi merantau sendiri. Terlebih lagi bila belum menikah. Saya paham mengapa Ayah perlu waktu untuk mempertimbangkan permintaan saya. Selain karena biaya, Ayah pun tak rela bila harus mengambil risiko dan mengorbankan saya.
            Sambil menunggu keputusan Ayah, saya melihat teman-teman SD, yang sekarang sudah berkepala dua, melaut. Dari dulu hingga kini, tak satu pun yang meleset. Semua yang pernah bilang ingin jadi nelayan, benar-benar jadi kenyataan. Tapi tidak saya temukan binar bahagia di wajah mereka. Seperti mereka sudah tahu akhirnya akan begitu. Gampang ditebak.
            “Ikan apa yang kalian cari hari ini?” saya bertanya sambil duduk di ujung perahu.
            Yamin, laki-laki yang dulu pernah bilang suka ke saya, memandang laut sejenak. “Cuaca hari ini hanya memungkinkan kami menangkap cakalang. Kalau tidak dapat, tude pun tak apa.”
            “Kapan pulang?”
            “Besok subuh. Bila polaris sudah muncul.”
            Saya sering mendengar Ayah berbicara tentang polaris. Tapi saya tidak terlalu tertarik dengan nama itu. Tidak hanya Ayah, hampir semua nelayan yang saya kenal pun membicarakan tentangnya. Barulah ketika Yamin menyebut nama itu lagi, saya mulai penasaran.
            “Apa itu?”
            “Bintang yang kami gunakan untuk penunjuk jalan pulang.”
            “Oh, seperti kompas alami?”
            Yamin mengangguk sambil sibuk membereskan jala. Malam itu dia berangkat bersama tiga orang teman kami, Somad, Ipul, dan Acan. Mereka berempat memang sudah dekat sejak SD. Setelah melihat mereka mulai mendayung, saya memutuskan pulang jalan kaki.
            Di rumah Ayah sudah menunggu dengan sarung shalat dan secangkir kopi hitam. Dia memandang wajah saya lamat-lamat. Saya tahu apa yang sudah menjadi keputusannya.
            “Terimakasih, Ayah,” ujar saya seraya mencium tangannya penuh haru.
            “Jangan lupa pulang setahun sekali, Lia. Di rumah tinggal saya sendiri. Bila kau tidak pulang-pulang, saya akan hidup sebatang kara.”
            Saya mengangguk. “Tenang Ayah. Saya akan pulang. Bila perlu enam bulan sekali.”
***
            Terhitung sejak malam itu sudah satu tahun saya merantau di kota Merah. Jaraknya ribuan kilometer. Saya selalu menumpang kapal barang karena tak suka berdesak-desakkan di kapal penumpang. Walaupun lebih murah, di kapal barang saya selalu diberikan makan sehari sekali. Perjalanan ke kota Merah memakan waktu satu minggu penuh.
            Dan hari ini saya akan sampai di kota nelayan setelah satu tahun merantau. Ayah sudah saya kabarkan lewat pos dua bulan lalu. Dia menitip ikan asin dan jajanan khas kota merah. Karena banyak bawaan, saya meminta Ayah menjemput dengan becak.
            “Kau semakin gemuk, Lia,” ayah tertawa.
            Sepanjang perjalanan saya temui banyak perubahan di kota nelayan ini. Teman-teman tidak sempat berkunjung di hari pertama saya tiba. Mereka sibuk melaut. Katanya sekarang sedang musim ikan tuna, jadi mereka akan berkunjung besok atau lusa. Bila sempat.
            “Anak siapa itu, Yah?”
            Ayah tidak menjawab sampai kami melewati rumah Nyai Salamah. Dulu, setelah ibu meninggal, saya kerap dininabobokan oleh Nyai Salamah, bersama anak perempuannya, Sita. Saya lebih tua dua tahun dari Sita, tapi dia enggan memanggil saya kakak. Mungkin karena kami sudah terlalu dekat.
            “Itu anak Sita. Umurnya satu tahun.”
            Saya kaget bukan main. Setahu saya Sita harusnya lulus SMA tahun ini. Dia dulu adik kelas saya, pun pernah berpacaran dengan Acan. Tapi tidak lama karena Nyai Salamah mendapati mereka pernah berciuman di dekat tungku dapur.
            “Sita sudah menikah?”
            Ayah menggeleng canggung. Saya tahu maksud raut wajahnya. Dulu, hamil di luar nikah sungguh tabu di kota nelayan ini. Tidak ada yang berani melakukannya, pun bila sudah terjadi tak ada satu pun keluarga yang mau terang-terangan memamerkan hasil perbuatan anaknya.
            Terlebih lagi jika perempuan. Teman ibu dulu pernah hamil di luar nikah karena diperkosa pamannya sendiri. Sejak itu, tidak ada lagi pria yang mau menikah dengannya. Keluarganya pun enggan menerimanya di rumah. Dia diusir tanpa bekal dan uang. Saat ibu meninggal dia sempatkan datang melayat, walau hanya sejenak.
            “Siapa laki-lakinya, Yah?”
            “Jangan kau bahas lagi. Saya merasa tidak nyaman.”
            Akhirnya sisa perjalanan kami habiskan dalam diam. Tidak hanya keanehan itu yang saya temui. Sudah mulai ada pembangunan gedung-gedung tinggi. Kontraktor di mana-mana. Polusi yang saya kira hanya akan saya temui di kota merah, justru mulai ada di sini. Miris hati saya sebenarnya.
            “Banyak yang berubah,” saya bergumam sendiri.
            “Saya sudah tidak lagi mengenali kota ini, Lia. Semenjak kau berlalu dari dermaga itu, banyak yang hilang dari saya. Lalu, orang-orang berdasi itu pun turut mengambil sisa-sisa kenangan di kota nelayan ini.”
            Saya diam. Terlalu diam hingga suara lelah tukang becak bisa terdengar.
***
            Yamin datang bersama Sita, Acan, Somad, dan Ipul. Mereka membawakan singkong rebus, sambal mentah, dan sagu. Mereka memeluk saya satu per satu. Saya canggung bukan main, karena kami dulu tidak pernah seleluasa begini. Jangankan pelukan, jabat tangan pun terasa aneh bagi saya.
            “Adab baru,” gurau Acan.
            Pelukkan Sita cukup lama. Bila dibiarkan barang satu menit lagi, dia akan menangis di pundak saya. Sebagai teman yang dulu sering tidur siang bersama, saya mengerti ada begitu banyak beban yang ingin Sita ceritakan.
            “Kapan kau kembali, Lia?”
            “Saya tidak tahu. Jadwal kapal yang paling dekat baru dua minggu lagi. Itu pun bila tidak ada halangan. Ayah saya pun sepertinya belum mau saya kembali ke kota merah. Kalian tidak melaut?”
            “Mendung begini nelayan mana yang mau ke laut,” seloroh Ipul.
            Mulut saya begitu gatal ingin bertanya tentang kisah Sita dan anaknya. Tapi saya tahu itu tidak sopan. Jadi saya diam, menunggu para pria yang memancing atau Sita sendiri yang memulai.
            “Sita sudah punya anak, Lia,” akhirnya Somad berujar.
            Saya pura-pura kaget. “Kapan menikah?”
            Mungkin pertanyaan saya cukup di luar dugaan mereka, hingga Sita menatap Yamin cukup lama. “Dia tidak menikah. Ya, begitulah. Kecelakaan.”
            O, jadi mereka menyebutnya kecelakaan.
            “Siapa nama anaknya?”
            “Sandi.”
            “Umur berapa?”
            “Satu tahun sekarang. Lebih serang bersama Nyai daripada dengan Sita.”
            Melihat wajah Sita yang mulai tidak nyaman, saya mengubah topik pembicaraan. Saya ceritakan bagaimana kehidupan di kota merah. Bagaimana setiap kali saya melihat kapal saya selalu menahan diri agar tidak pulang. Mereka pun bertanya banyak hal. Hingga tak terasa senja mulai bertandang. Satu per satu membereskan piring-piring kosong. Sebelum pulang, mereka memeluk saya lagi. Sita hanya menepuk pundak saya pelan. Dia pun enggan menatap mata saya.
***
            Satu hari sebelum saya kembali ke kota merah, saya ingin melaut sendiri. Tidak perlu menangkap ikan, hanya berada beberapa kilometer di lautan kota saya ini. Lalu memandang kerlap-kerlip lampu rerumahan. Saya pinjam perahu ayah. Tak lupa saya bawa beberapa bohlam, lem, dan kayu yang sudah saya rangkai mengikuti rasi polaris.
            Acan pernah bilang, semua nelayan hanya akan pulang dengan petunjuk polaris. Bila rasi itu belum muncul, mereka akan tetap di atas laut. Menunggu hingga jalan pulang sudah bersinar.
            Lewat Acan pula saya belajar rasi polaris yang cukup rumit itu. Apa makna dari tiap-tiap sudut. Setelah mantap betul, saya rangkai kayu mengikuti rasi itu. Sesampainya di tengah laut, saya tempel bohlam ke setiap sudut yang ada. Untunglah nila IPA saya waktu SMA dulu selalu memuaskan. Tak pelik saya merangkai rangkaian listrik paralel yang dihubungkan ke aki motor.
            Saya acungkan tinggi-tinggi rasi polaris buatan saya ke arah kota nelayan. Mungkin bila kota saya benar-benar hidup dan merupakan kota nelayan, rasi polaris ini bisa mengembalikannya menjadi kota yang saya kenal dulu. Tidak lagi hura-hura seperti sekarang. Tidak lagi menganggap hal tabu sebagai hal yang wajar atau bahkan menjadikannya kebiasaan sehari-hari.
            “Pulanglah. Sudah saya buatkan polaris untukmu. Kembalilah seperti dulu lagi.”
            Hingga aki motor ayah saya habis, saya masih berada di tengah laut. Polaris buatan saya sudah mati. Kerlap-kerlip lampu di kejauhan pun mulai berkurang. Bila tahun depan kepulangan saya masih disambut oleh keadaan yang sama, mungkin polaris bukan lagi rasi kepulangan para nelayan.

*Cerpen ini menjadi juara I lomba penulisan cerpen Nasional Lautan 2017 yang dislenggarakan Teater Angin SMA N 1 Denpasar Bali.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar