POLARIS
Wika G. Wulandari
Orang bilang kota ini adalah kota
nelayan. Ayah saya nelayan, kakek saya pun nelayan. Semua tetangga saya
nelayan. Teman-teman SD saya dulu, bila ditanya apa cita-cita mereka, tanpa
ragu dijawablah nelayan. Bahkan perempuan pun banyak yang ingin menjadi nelayan.
Hanya saya satu-satunya yang
bercita-cita keluar kota. Melihat wujud nyata ibukota, bapak kota, atau apa pun
nama kota itu. Saya ingin belajar di kota orang. Mencari pengalaman
sebanyak-banyaknya, sebelum pulang dan menikah dengan seorang nelayan.
Ayah awalnya tak mengizinkan. “Buat
apa keluar kota? Di sini pun kau akan belajar banyak. Tentang laut, tentang
para nelayan, dan apa pun yang ingin kau ketahui. Tak perlulah pergi
jauh-jauh!”
“Nelayan pun harus pergi jauh bila
ingin dapat ikan banyak,” jawab saya sedikit ngeyel.
Ayah tersenyum dan mengangguk. “Saya
mengerti, Lia. Kau ingin pergi karena jenuh dengan kota ini. Kau ingin sesuatu
yang baru. Penasaranmu tinggi, saya tahu itu. Biar saya pikirkan dulu. Kau anak
perempuan saya satu-satunya. Tak tega saya melepasmu sendiri.”
Bukan hal lumrah memang seorang
perempuan di kota kami pergi merantau sendiri. Terlebih lagi bila belum
menikah. Saya paham mengapa Ayah perlu waktu untuk mempertimbangkan permintaan
saya. Selain karena biaya, Ayah pun tak rela bila harus mengambil risiko dan
mengorbankan saya.
Sambil menunggu keputusan Ayah, saya
melihat teman-teman SD, yang sekarang sudah berkepala dua, melaut. Dari dulu
hingga kini, tak satu pun yang meleset. Semua yang pernah bilang ingin jadi
nelayan, benar-benar jadi kenyataan. Tapi tidak saya temukan binar bahagia di
wajah mereka. Seperti mereka sudah tahu akhirnya akan begitu. Gampang ditebak.
“Ikan apa yang kalian cari hari
ini?” saya bertanya sambil duduk di ujung perahu.
Yamin, laki-laki yang dulu pernah
bilang suka ke saya, memandang laut sejenak. “Cuaca hari ini hanya memungkinkan
kami menangkap cakalang. Kalau tidak
dapat, tude pun tak apa.”
“Kapan pulang?”
“Besok subuh. Bila polaris sudah
muncul.”
Saya sering mendengar Ayah berbicara
tentang polaris. Tapi saya tidak terlalu tertarik dengan nama itu. Tidak hanya
Ayah, hampir semua nelayan yang saya kenal pun membicarakan tentangnya. Barulah
ketika Yamin menyebut nama itu lagi, saya mulai penasaran.
“Apa itu?”
“Bintang yang kami gunakan untuk
penunjuk jalan pulang.”
“Oh, seperti kompas alami?”
Yamin mengangguk sambil sibuk
membereskan jala. Malam itu dia berangkat bersama tiga orang teman kami, Somad,
Ipul, dan Acan. Mereka berempat memang sudah dekat sejak SD. Setelah melihat
mereka mulai mendayung, saya memutuskan pulang jalan kaki.
Di rumah Ayah sudah menunggu dengan
sarung shalat dan secangkir kopi hitam. Dia memandang wajah saya lamat-lamat.
Saya tahu apa yang sudah menjadi keputusannya.
“Terimakasih, Ayah,” ujar saya
seraya mencium tangannya penuh haru.
“Jangan lupa pulang setahun sekali,
Lia. Di rumah tinggal saya sendiri. Bila kau tidak pulang-pulang, saya akan
hidup sebatang kara.”
Saya mengangguk. “Tenang Ayah. Saya
akan pulang. Bila perlu enam bulan sekali.”
***
Terhitung sejak malam itu sudah satu
tahun saya merantau di kota Merah. Jaraknya ribuan kilometer. Saya selalu
menumpang kapal barang karena tak suka berdesak-desakkan di kapal penumpang.
Walaupun lebih murah, di kapal barang saya selalu diberikan makan sehari sekali.
Perjalanan ke kota Merah memakan waktu satu minggu penuh.
Dan hari ini saya akan sampai di
kota nelayan setelah satu tahun merantau. Ayah sudah saya kabarkan lewat pos
dua bulan lalu. Dia menitip ikan asin dan jajanan khas kota merah. Karena
banyak bawaan, saya meminta Ayah menjemput dengan becak.
“Kau semakin gemuk, Lia,” ayah
tertawa.
Sepanjang perjalanan saya temui
banyak perubahan di kota nelayan ini. Teman-teman tidak sempat berkunjung di
hari pertama saya tiba. Mereka sibuk melaut. Katanya sekarang sedang musim ikan
tuna, jadi mereka akan berkunjung besok atau lusa. Bila sempat.
“Anak siapa itu, Yah?”
Ayah tidak menjawab sampai kami
melewati rumah Nyai Salamah. Dulu, setelah ibu meninggal, saya kerap
dininabobokan oleh Nyai Salamah, bersama anak perempuannya, Sita. Saya lebih
tua dua tahun dari Sita, tapi dia enggan memanggil saya kakak. Mungkin karena
kami sudah terlalu dekat.
“Itu anak Sita. Umurnya satu tahun.”
Saya kaget bukan main. Setahu saya
Sita harusnya lulus SMA tahun ini. Dia dulu adik kelas saya, pun pernah
berpacaran dengan Acan. Tapi tidak lama karena Nyai Salamah mendapati mereka
pernah berciuman di dekat tungku dapur.
“Sita sudah menikah?”
Ayah menggeleng canggung. Saya tahu
maksud raut wajahnya. Dulu, hamil di luar nikah sungguh tabu di kota nelayan
ini. Tidak ada yang berani melakukannya, pun bila sudah terjadi tak ada satu
pun keluarga yang mau terang-terangan memamerkan hasil perbuatan anaknya.
Terlebih lagi jika perempuan. Teman
ibu dulu pernah hamil di luar nikah karena diperkosa pamannya sendiri. Sejak
itu, tidak ada lagi pria yang mau menikah dengannya. Keluarganya pun enggan
menerimanya di rumah. Dia diusir tanpa bekal dan uang. Saat ibu meninggal dia
sempatkan datang melayat, walau hanya sejenak.
“Siapa laki-lakinya, Yah?”
“Jangan kau bahas lagi. Saya merasa
tidak nyaman.”
Akhirnya sisa perjalanan kami
habiskan dalam diam. Tidak hanya keanehan itu yang saya temui. Sudah mulai ada
pembangunan gedung-gedung tinggi. Kontraktor di mana-mana. Polusi yang saya
kira hanya akan saya temui di kota merah, justru mulai ada di sini. Miris hati
saya sebenarnya.
“Banyak yang berubah,” saya bergumam
sendiri.
“Saya sudah tidak lagi mengenali
kota ini, Lia. Semenjak kau berlalu dari dermaga itu, banyak yang hilang dari
saya. Lalu, orang-orang berdasi itu pun turut mengambil sisa-sisa kenangan di
kota nelayan ini.”
Saya diam. Terlalu diam hingga suara
lelah tukang becak bisa terdengar.
***
Yamin datang bersama Sita, Acan,
Somad, dan Ipul. Mereka membawakan singkong rebus, sambal mentah, dan sagu.
Mereka memeluk saya satu per satu. Saya canggung bukan main, karena kami dulu
tidak pernah seleluasa begini. Jangankan pelukan, jabat tangan pun terasa aneh
bagi saya.
“Adab baru,” gurau Acan.
Pelukkan Sita cukup lama. Bila
dibiarkan barang satu menit lagi, dia akan menangis di pundak saya. Sebagai
teman yang dulu sering tidur siang bersama, saya mengerti ada begitu banyak
beban yang ingin Sita ceritakan.
“Kapan kau kembali, Lia?”
“Saya tidak tahu. Jadwal kapal yang
paling dekat baru dua minggu lagi. Itu pun bila tidak ada halangan. Ayah saya
pun sepertinya belum mau saya kembali ke kota merah. Kalian tidak melaut?”
“Mendung begini nelayan mana yang
mau ke laut,” seloroh Ipul.
Mulut saya begitu gatal ingin
bertanya tentang kisah Sita dan anaknya. Tapi saya tahu itu tidak sopan. Jadi
saya diam, menunggu para pria yang memancing atau Sita sendiri yang memulai.
“Sita sudah punya anak, Lia,”
akhirnya Somad berujar.
Saya pura-pura kaget. “Kapan
menikah?”
Mungkin pertanyaan saya cukup di
luar dugaan mereka, hingga Sita menatap Yamin cukup lama. “Dia tidak menikah.
Ya, begitulah. Kecelakaan.”
O, jadi mereka menyebutnya
kecelakaan.
“Siapa nama anaknya?”
“Sandi.”
“Umur berapa?”
“Satu tahun sekarang. Lebih serang
bersama Nyai daripada dengan Sita.”
Melihat wajah Sita yang mulai tidak
nyaman, saya mengubah topik pembicaraan. Saya ceritakan bagaimana kehidupan di
kota merah. Bagaimana setiap kali saya melihat kapal saya selalu menahan diri
agar tidak pulang. Mereka pun bertanya banyak hal. Hingga tak terasa senja
mulai bertandang. Satu per satu membereskan piring-piring kosong. Sebelum
pulang, mereka memeluk saya lagi. Sita hanya menepuk pundak saya pelan. Dia pun
enggan menatap mata saya.
***
Satu hari sebelum saya kembali ke
kota merah, saya ingin melaut sendiri. Tidak perlu menangkap ikan, hanya berada
beberapa kilometer di lautan kota saya ini. Lalu memandang kerlap-kerlip lampu
rerumahan. Saya pinjam perahu ayah. Tak lupa saya bawa beberapa bohlam, lem,
dan kayu yang sudah saya rangkai mengikuti rasi polaris.
Acan pernah bilang, semua nelayan
hanya akan pulang dengan petunjuk polaris. Bila rasi itu belum muncul, mereka
akan tetap di atas laut. Menunggu hingga jalan pulang sudah bersinar.
Lewat Acan pula saya belajar rasi
polaris yang cukup rumit itu. Apa makna dari tiap-tiap sudut. Setelah mantap
betul, saya rangkai kayu mengikuti rasi itu. Sesampainya di tengah laut, saya
tempel bohlam ke setiap sudut yang ada. Untunglah nila IPA saya waktu SMA dulu
selalu memuaskan. Tak pelik saya merangkai rangkaian listrik paralel yang
dihubungkan ke aki motor.
Saya acungkan tinggi-tinggi rasi
polaris buatan saya ke arah kota nelayan. Mungkin bila kota saya benar-benar
hidup dan merupakan kota nelayan, rasi polaris ini bisa mengembalikannya
menjadi kota yang saya kenal dulu. Tidak lagi hura-hura seperti sekarang. Tidak
lagi menganggap hal tabu sebagai hal yang wajar atau bahkan menjadikannya
kebiasaan sehari-hari.
“Pulanglah. Sudah saya buatkan
polaris untukmu. Kembalilah seperti dulu lagi.”
Hingga aki motor ayah saya habis,
saya masih berada di tengah laut. Polaris buatan saya sudah mati. Kerlap-kerlip
lampu di kejauhan pun mulai berkurang. Bila tahun depan kepulangan saya masih
disambut oleh keadaan yang sama, mungkin polaris bukan lagi rasi kepulangan
para nelayan.
*Cerpen ini menjadi juara I lomba penulisan cerpen
Nasional Lautan 2017 yang dislenggarakan Teater Angin SMA N 1 Denpasar Bali.
0 komentar:
Posting Komentar