BARAPEN NISAN
Wika G. Wulandari
Kose
menatap wajah lugu Amos. Sedari tadi bocah berambut ikal itu hanya menganga
mendengar ucapannya. Tak habis akal, kose
mulai negosiasi lagi.
“Amos, bapak pinjam satu hari saja.
Tidak akan lama-lama. Cuma buat barapen
sambut bule.”
Amos diam, entah mengerti apa yang
pria tua itu katakan atau tidak. Karena sejak dipanggil ke honai, Amos tak
bersuara. Seperti dipaksa mendengarkan dan menyetujui tanpa banyak tanya.
Kose
mengelap wajah, pasrah dengan sikap polos Amos.“Amos mengerti ka tidak?”
“Mengerti, Bapak.”
“Kalau mengerti, kenapa diam?”
Amos tak menjawab, malah
menunduk.Menghindar dari tatapan kose.
“Kalau Amos setuju, nanti bapak kase daging babi satu mangkuk ful.”
Senyum itu, senyum lebar dari bibir
Amos adalah ekspresi yang dinanti-nantikan Kose.Dan
begitulah, Amos yang bahagia diantar pulang ke honai. Bocah itu sungguh tak
mengerti apa yang telah ia tukarkan dengan nisan orangtuanya.
***
Betapa antusiasnya warga Baliem
ketika mendengar Pendeta Asso mengumumkan kedatangan bule esok lusa.Tak
henti-hentinya mereka tersenyum bahagia sambil mengucapkan syukur pada Tuhan.
Tak lupa pula mereka bisikkan sayur-mayur apa yang pantas untuk upacara bakar
batu penyambutan nanti. Apakah kasbi,
buah merah, atau sayur paku.Semuanya mereka ucapkan dengan sukacita.Berharap
esok lusa bisa segera tiba.
Baliem memang tidak seterkenal Raja
Ampat, pun tidak seramai Jayapura, tapi semenjak kehadiran tambang emas di
perbatasan kampung dengan lembah gunung, Baliem mulai didatangi orang asing.Tentu
bukan karena keindahan kampung, orang-orang berkulit putih itu datang kemari,
tapi karena pekerjaan yang menanti mereka.Perjalanan ke tambang emas cukup
memakan waktu, itulah sebab mengapa orang-orang asing itu mampir barang satu
malam di Baliem sebelum melanjutkan perjalanan.
Sudah lima tahun tambang emas itu
berdiri. Pertama kali diresmikan, semua warga Baliem diberi seekor anak babi
secara cuma-cuma, lengkap dengan biaya pembangunan kandang.Hadiah kecil itu
sebagai bentuk terimakasih pimpinan tambang kepada masyarakat Baliem.Mungkin
karena dengan lugunya mau repot-repot menyambut setiap pekerja dengan tarian
adat dan barapen.
Babi-babi pemberian itu kini sudah
gemuk, beranak pula.Tambah bahagialah warga Baliem.Saban hari tak pernah mereka
keluhkan jalan-jalan kampung yang rusak gegara dilewati truk. Atau kepulan debu
dan asap truk yang kerap menyesakkan dada mereka. Karena semua gangguan itu
sirna ketika melihat babi-babi piaraan mereka beranak-pinak dan berdaging.
Bahkan pohon matoa yang berumur tahunan
di dekat gereja sengaja ditebang karena menghalangi jalan truk.Jangan ditanya,
warga Baliem tak perlu menunggu komando dari pemimpin tambang, mereka dengan
sergap dan cekatan melayangkan peda
demi kelancaran transportasi tambang.
Semua itu seperti pemandangan miris
bagi orang luar.Tapi bagi warga Baliem yang telah jenuh mengecup kesunyian,
kehadiran tambang emas adalah bentuk keramaian yang sangat nikmat
didengarkan.Tak peduli bila mereka harus berulangkali menutupi lubang jalan
dengan pasir sisa pembangunan gereja.Tak peduli bila anak mereka tak berhenti
batuk siang-malam gegara menghirup debu truk. Dan tak pernah peduli bila satu
per satu pohon matoa dan pohon apa saja akan ditebang untuk memperluas akses
menuju tambang.
***
Pendeta Asso menangkan kerumuman.“Upacara
besok harus meriah.Kitaharus buat orang bule itu senang.Ibu-ibu tolong mulai
sore nanti kumpulkan semua sayur hijaudi hunila.Tinggal
dua hari lagi.”
Memang benar, kehadiran tambang emas
telah banyak membantu kehidupan warga Baliem.Mulai dari segi ekonomi hingga
segi sosialitas.Sekarang tak ada lagi suasana sunyi di hunila bila para ibu memasak bersama.Selalu saja ada topik yang
diceritakan tentang tambang itu.Entah tentang angan-angan diberi babi lagi,
atau angan-angan bertemu pemimpin tambang. Setiap kali Pendeta Asso mengumumkan
kedatangan bule, ibu-ibu akan larut dalam duga-duga mereka sendiri.
Itulah mengapa tak ada satu pun
warga Baliem yang protes saat kaki-tangan tambang merusak, mengganggu, dan
mengambil sesuatu dari kampung mereka.Sungguh kerelaan itu adalah balasan
terbaik dari mereka atas anak babi yang sudah menjadi induk.
***
Sudah dari semalam hunila penuh dengan sayur-mayur.Buah
merah pun sudah dibersihkan dan ditiris di baskom terpisah. Sedang sayur-mayur
yang lain dijadikan satu di baskom lebih besar. Batatas, kasbi, dan
kentang sudah dikupas bersih dan direndam air garam. Para-para hunila tertata rapi dengan piring-piring
keramik yang sengaja dikeluarkan dari gudang gereja.Penyambutan kali ini memang
dibuat meriah karena yang datang adalah pimpinan tertinggi tambang emas.
Menurut rumor, pimpinan tertinggi
yang dulu memberi babi secara gratis berasal dari Amerika.Badannya tinggi
tegap, kulitnya putih bersih seperti kasbi,
bola matanya biru laut, dan bibirnya merah ranum seperti matoa.
Ciri-ciri itu selalu diulang Pendeta
Asso setiap kali ibu-ibu menggodanya untuk bercerita tentang pimpinan
tambang.Entah dari mana Pendeta Asso mendengar kabar itu. Yang penting, setiap
kali mengulang informasi yang sama, ibu-ibu itu langsung girang dan bersemangat
menyiapkan bumbu-bumbu sayur. Siapa sangka ciri-ciri yang kerap diomongkan
Pendeta Asso bisa mereka buktikan besok siang.
Hari
itu kampung Baliem sungguh ramai. Pemuda-pemudi mulai berlatih tarian adat di
depan gereja. Pendeta Asso bolak-balik mencari ayat alkitab yang pas untuk kata
sambutan.Anak-anak memilih bermain dengan babi-babi gemuk di dekat musoholak.Keramaian itu hanya bisa
mereka rasakan setahun sekali, itu pun bila ada pekerja baru yang didatangkan.
Di
antara wajah-wajah antusias itu, Amos menyempilkan senyumnya.Bersorak bersama
beberapa bocah ingusan di antara badan-badan besar orang dewasa. Wajah lugunya
sama sekali tak memperlihatkan kegundahan, karena memang menurutnya tak ada
yang perlu dikhawatirkan.
Dia
menari bersama pemuda lainnya. Bila dimarahi karena mengganggu barisan, Amos
akan tertawa kencang sambil menghindar dari pukulan salah satu pemuda. Tak
sampai di situ kesenangannya.Anak-anak babi yang sengaja dilepas dari kandang
diajaknya kejar-kejaran. Lari sana, lari sini sampai ingusnya meninggalkan
bekas kering di pipi kanan, tapi siapa peduli. Toh, tawa riang Amos adalah satu
dari sekian banyak sukacita hari itu.
***
Pagi sebelum matahari merangkak
melewati pohon matoa, kose sudah
menunggu di pelataran gereja.Sebelum barapen
dimulai, haruslah ada satu babi yang dipanah sebagai pembuka upacara
penyambutan.Dan di sanalah kose,
berdiri dengan seperangkat alat panah.
Amos mengenakan baju terbaiknya;
batik papua yang diberikan sekolah dan celana sekolah berwarna merah bersaku
tiga.Wajahnya antusias sekali melihat kose
mempersiapkan panah. Ketika melihat babi yang akan dipanah dibawa masuk ke
lingkaran kerumunan, wajahnya makin berseri. Mungkin sambil membayangkan satu
paha kiri babi itu akan mendarat di perutnya hari ini.
Upacara penyerahan babi berlangsung
khidmat. Setelah membersihkan sisa darah di bajunya, kose membantu beberapa pemuda mengangkat batu nisan untuk
diletakkan di bara api. Memang hal ini sudah dibicarakan kose malam sebelumnya.Kehadiran tambang emas di perbatasan kampung
tidak hanya memberi mereka kenikmatan baru, tapi juga turut mengambil hal-hal
kecil dari kampung Baliem.
Perluasan jalan menuju tambang emas mengharuskan
mereka merelakan berton-ton batu diangkut tahun lalu.Awalnya kose dan warga Baliem mengira hanya dua
truk saja, tapi hampir setiap hari supir-supir itu kembali dengan seringai
garang.
”Ko
pele, babi abis!” begitu ancam
mereka setiap kali kose menyambut
mereka dengan bersungut-sungut.
Lalu, begitulah upacara barapen hari itu. Ada yang lain, tapi
semua warga mencoba bersikap normal ketika menata sayur sambil melihat ukiran
nama di batu nisan yang sedang membara. Sesekali mereka mencoba tertawa pada
guyon sang pemimpin tambang, meski harus menunggu terjemahan dari gadis cantik
berambut pirang.
Semuanya memang berusaha normal,
tapi tidak dengan Amos.Bocah kecil itu hanya menganga menatap segepok daging
babi di piringnya. Sesekali dia mencuri pandang ke arah tumpukkan batu nisan
yang ditutupi helaian sayur. Dulu, masih diingatnya bagaimana ia dan pace mengukir nama mace tanpa berbicara. Dua bulan setelah mengukir di nisan, pace meninggal karena DBD. Dan kini, dua
nisan itu sedang menghangatkan kasbidan
batatas untuk mengisi perut pemimpin
tambang.
Sungguh
kerelaan seperti apa lagi yang harus diterapkan bocah ingusan yatim-piatu
ketika ada yang datang meminjam nisan orangtuanya.
1.
Kose : Kepala suku
2.
Mace : Ibu
3.
Barapen :
Bakar batu
4.
Kasbi : Singkong
5.
Batatas : Ubi
6.
Pace : Ayah
7.
Hunila : Dapur bersama
8.
Musoholak:
Gerbang kampung
9.
Peda : Pedang
Jejak Imaji, 2016
*Cerpen ini menjadi Juara 1 Bulan Bahasa UGM 2016
0 komentar:
Posting Komentar