Kamis, 20 Juli 2017

BARAPEN NISAN

BARAPEN NISAN

Wika G. Wulandari
            Kose menatap wajah lugu Amos. Sedari tadi bocah berambut ikal itu hanya menganga mendengar ucapannya. Tak habis akal, kose mulai negosiasi lagi.
            “Amos, bapak pinjam satu hari saja. Tidak akan lama-lama. Cuma buat barapen sambut bule.”
            Amos diam, entah mengerti apa yang pria tua itu katakan atau tidak. Karena sejak dipanggil ke honai, Amos tak bersuara. Seperti dipaksa mendengarkan dan menyetujui tanpa banyak tanya.
            Kose mengelap wajah, pasrah dengan sikap polos Amos.“Amos mengerti ka tidak?”
            “Mengerti, Bapak.”
            “Kalau mengerti, kenapa diam?”
            Amos tak menjawab, malah menunduk.Menghindar dari tatapan kose.
            “Kalau Amos setuju, nanti bapak kase daging babi satu mangkuk ful.”
            Senyum itu, senyum lebar dari bibir Amos adalah ekspresi yang dinanti-nantikan Kose.Dan begitulah, Amos yang bahagia diantar pulang ke honai. Bocah itu sungguh tak mengerti apa yang telah ia tukarkan dengan nisan orangtuanya. 
***
            Betapa antusiasnya warga Baliem ketika mendengar Pendeta Asso mengumumkan kedatangan bule esok lusa.Tak henti-hentinya mereka tersenyum bahagia sambil mengucapkan syukur pada Tuhan. Tak lupa pula mereka bisikkan sayur-mayur apa yang pantas untuk upacara bakar batu penyambutan nanti. Apakah kasbi, buah merah, atau sayur paku.Semuanya mereka ucapkan dengan sukacita.Berharap esok lusa bisa segera tiba.
            Baliem memang tidak seterkenal Raja Ampat, pun tidak seramai Jayapura, tapi semenjak kehadiran tambang emas di perbatasan kampung dengan lembah gunung, Baliem mulai didatangi orang asing.Tentu bukan karena keindahan kampung, orang-orang berkulit putih itu datang kemari, tapi karena pekerjaan yang menanti mereka.Perjalanan ke tambang emas cukup memakan waktu, itulah sebab mengapa orang-orang asing itu mampir barang satu malam di Baliem sebelum melanjutkan perjalanan.
            Sudah lima tahun tambang emas itu berdiri. Pertama kali diresmikan, semua warga Baliem diberi seekor anak babi secara cuma-cuma, lengkap dengan biaya pembangunan kandang.Hadiah kecil itu sebagai bentuk terimakasih pimpinan tambang kepada masyarakat Baliem.Mungkin karena dengan lugunya mau repot-repot menyambut setiap pekerja dengan tarian adat dan barapen.
            Babi-babi pemberian itu kini sudah gemuk, beranak pula.Tambah bahagialah warga Baliem.Saban hari tak pernah mereka keluhkan jalan-jalan kampung yang rusak gegara dilewati truk. Atau kepulan debu dan asap truk yang kerap menyesakkan dada mereka. Karena semua gangguan itu sirna ketika melihat babi-babi piaraan mereka beranak-pinak dan berdaging.
            Bahkan pohon matoa yang berumur tahunan di dekat gereja sengaja ditebang karena menghalangi jalan truk.Jangan ditanya, warga Baliem tak perlu menunggu komando dari pemimpin tambang, mereka dengan sergap dan cekatan melayangkan peda demi kelancaran transportasi tambang.
            Semua itu seperti pemandangan miris bagi orang luar.Tapi bagi warga Baliem yang telah jenuh mengecup kesunyian, kehadiran tambang emas adalah bentuk keramaian yang sangat nikmat didengarkan.Tak peduli bila mereka harus berulangkali menutupi lubang jalan dengan pasir sisa pembangunan gereja.Tak peduli bila anak mereka tak berhenti batuk siang-malam gegara menghirup debu truk. Dan tak pernah peduli bila satu per satu pohon matoa dan pohon apa saja akan ditebang untuk memperluas akses menuju tambang.
***
            Pendeta Asso menangkan kerumuman.“Upacara besok harus meriah.Kitaharus buat orang bule itu senang.Ibu-ibu tolong mulai sore nanti kumpulkan semua sayur hijaudi hunila.Tinggal dua hari lagi.”
            Memang benar, kehadiran tambang emas telah banyak membantu kehidupan warga Baliem.Mulai dari segi ekonomi hingga segi sosialitas.Sekarang tak ada lagi suasana sunyi di hunila bila para ibu memasak bersama.Selalu saja ada topik yang diceritakan tentang tambang itu.Entah tentang angan-angan diberi babi lagi, atau angan-angan bertemu pemimpin tambang. Setiap kali Pendeta Asso mengumumkan kedatangan bule, ibu-ibu akan larut dalam duga-duga mereka sendiri.
            Itulah mengapa tak ada satu pun warga Baliem yang protes saat kaki-tangan tambang merusak, mengganggu, dan mengambil sesuatu dari kampung mereka.Sungguh kerelaan itu adalah balasan terbaik dari mereka atas anak babi yang sudah menjadi induk.
***
            Sudah dari semalam hunila penuh dengan sayur-mayur.Buah merah pun sudah dibersihkan dan ditiris di baskom terpisah. Sedang sayur-mayur yang lain dijadikan satu di baskom lebih besar. Batatas, kasbi, dan kentang sudah dikupas bersih dan direndam air garam. Para-para hunila tertata rapi dengan piring-piring keramik yang sengaja dikeluarkan dari gudang gereja.Penyambutan kali ini memang dibuat meriah karena yang datang adalah pimpinan tertinggi tambang emas.
            Menurut rumor, pimpinan tertinggi yang dulu memberi babi secara gratis berasal dari Amerika.Badannya tinggi tegap, kulitnya putih bersih seperti kasbi, bola matanya biru laut, dan bibirnya merah ranum seperti matoa.
            Ciri-ciri itu selalu diulang Pendeta Asso setiap kali ibu-ibu menggodanya untuk bercerita tentang pimpinan tambang.Entah dari mana Pendeta Asso mendengar kabar itu. Yang penting, setiap kali mengulang informasi yang sama, ibu-ibu itu langsung girang dan bersemangat menyiapkan bumbu-bumbu sayur. Siapa sangka ciri-ciri yang kerap diomongkan Pendeta Asso bisa mereka buktikan besok siang.
Hari itu kampung Baliem sungguh ramai. Pemuda-pemudi mulai berlatih tarian adat di depan gereja. Pendeta Asso bolak-balik mencari ayat alkitab yang pas untuk kata sambutan.Anak-anak memilih bermain dengan babi-babi gemuk di dekat musoholak.Keramaian itu hanya bisa mereka rasakan setahun sekali, itu pun bila ada pekerja baru yang didatangkan.
Di antara wajah-wajah antusias itu, Amos menyempilkan senyumnya.Bersorak bersama beberapa bocah ingusan di antara badan-badan besar orang dewasa. Wajah lugunya sama sekali tak memperlihatkan kegundahan, karena memang menurutnya tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dia menari bersama pemuda lainnya. Bila dimarahi karena mengganggu barisan, Amos akan tertawa kencang sambil menghindar dari pukulan salah satu pemuda. Tak sampai di situ kesenangannya.Anak-anak babi yang sengaja dilepas dari kandang diajaknya kejar-kejaran. Lari sana, lari sini sampai ingusnya meninggalkan bekas kering di pipi kanan, tapi siapa peduli. Toh, tawa riang Amos adalah satu dari sekian banyak sukacita hari itu.   
***
            Pagi sebelum matahari merangkak melewati pohon matoa, kose sudah menunggu di pelataran gereja.Sebelum barapen dimulai, haruslah ada satu babi yang dipanah sebagai pembuka upacara penyambutan.Dan di sanalah kose, berdiri dengan seperangkat alat panah.
            Amos mengenakan baju terbaiknya; batik papua yang diberikan sekolah dan celana sekolah berwarna merah bersaku tiga.Wajahnya antusias sekali melihat kose mempersiapkan panah. Ketika melihat babi yang akan dipanah dibawa masuk ke lingkaran kerumunan, wajahnya makin berseri. Mungkin sambil membayangkan satu paha kiri babi itu akan mendarat di perutnya hari ini.
            Upacara penyerahan babi berlangsung khidmat. Setelah membersihkan sisa darah di bajunya, kose membantu beberapa pemuda mengangkat batu nisan untuk diletakkan di bara api. Memang hal ini sudah dibicarakan kose malam sebelumnya.Kehadiran tambang emas di perbatasan kampung tidak hanya memberi mereka kenikmatan baru, tapi juga turut mengambil hal-hal kecil dari kampung Baliem.
            Perluasan jalan menuju tambang emas mengharuskan mereka merelakan berton-ton batu diangkut tahun lalu.Awalnya kose dan warga Baliem mengira hanya dua truk saja, tapi hampir setiap hari supir-supir itu kembali dengan seringai garang.
            ”Ko pele, babi abis!” begitu ancam mereka setiap kali kose menyambut mereka dengan bersungut-sungut.
            Lalu, begitulah upacara barapen hari itu. Ada yang lain, tapi semua warga mencoba bersikap normal ketika menata sayur sambil melihat ukiran nama di batu nisan yang sedang membara. Sesekali mereka mencoba tertawa pada guyon sang pemimpin tambang, meski harus menunggu terjemahan dari gadis cantik berambut pirang.
            Semuanya memang berusaha normal, tapi tidak dengan Amos.Bocah kecil itu hanya menganga menatap segepok daging babi di piringnya. Sesekali dia mencuri pandang ke arah tumpukkan batu nisan yang ditutupi helaian sayur. Dulu, masih diingatnya bagaimana ia dan pace mengukir nama mace tanpa berbicara. Dua bulan setelah mengukir di nisan, pace meninggal karena DBD. Dan kini, dua nisan itu sedang menghangatkan kasbidan batatas untuk mengisi perut pemimpin tambang.
Sungguh kerelaan seperti apa lagi yang harus diterapkan bocah ingusan yatim-piatu ketika ada yang datang meminjam nisan orangtuanya.

1.      Kose           : Kepala suku
2.      Mace          : Ibu
3.      Barapen     : Bakar batu
4.      Kasbi         : Singkong
5.      Batatas       : Ubi
6.      Pace           : Ayah
7.      Hunila        : Dapur bersama
8.      Musoholak: Gerbang kampung
9.      Peda           : Pedang
           

Jejak Imaji, 2016
*Cerpen ini menjadi Juara 1 Bulan Bahasa UGM 2016


Share:

0 komentar:

Posting Komentar