Kamis, 20 Juli 2017

NYAI AZEDARACH

NYAI AZEDARACH
Wika G. Wulandari
Tidore, 1970
            Nuku menangis.Panglima tempur paling ditakuti di seluruh perairan timur itu tunduk dan menangis di hadapan mayat adiknya, Monaffa.Rintih dalam kesedihan tak bersuara. Pedang-pedang perang tak lagi ia angkat, hongi dan kora-kora ditelantarkan di pesisir pantai. Sungguh berita duka yang menggemberikan pihak musuh.
            “Apa yang kau ingin aku lakukan, Sultan?” aku bertanya.
            “Jambuli, ini bukan waktu untuk balas dendam!Karena sejatinya perjuanganku merebut tanah kelahiranku bukanlah atas dasar kekejian!”Nuku berteriak.Aku bergeming.Beberapa nakhodaku ikut menangis di barisan belakang.
            Sejak ayahnya meninggal, Nuku gencar mengambil tahta kesultanan Tidore.Sudah sepuluh tahun dia mengumpulkan pasukan untuk melawan pihak belanda dan sepupunya, Kamaludin.Atas dasar aturan kompeni, seharusnya Nuku yang diangkat menjadi sultan.Tapi sifatnya yang enggan tunduk dan pemberontak, membuat Belanda enggan memberi kuasa.
            Sepuluh tahun pun Nuku hidup bersama Monaffa dan beberapa pengikut setianya. Kami makan, tertawa, dan mengatur strategi bersama. Pun kadang tertidur di atas tikar yang sama. Kematian Monaffa tidak hanya pukulan pilu yang dirasakan Nuku seorang.Berita itu pun berdampak padaku. Aku yang  berjarak beberapa mil  di belakang hongi Monaffa, harus melihat pemuda perkasa itu mati tenggelam ditembaki meriam musuh.
            Pulangku bukanlah sesuatu yang diharapkan Nuku, karena berita yang kubawa adalah tentang kematian adiknya.Lengkap dengan mayat yang hangus terbakar.Nuku merintih, meremas kopiah putihnya.Tak berani dia menyentuh mayat adiknya.
            “Ini siapa, Jambuli?!” berulang kali dia berteriak menanyakan kepastian.
            “Kaicil Monaffa, Sultan. Kaicil Monaffa.” Berulang kali pun kujawab dengan suara bergetar.
            Tidak ada yang bisa menyembuhkan rasa kehilangan.Dua bulan sejak kematian Monaffa, Nuku bangkit kembali. Pasukkannya yang telah mati di wilayah musuh, sudah ia gantikan, bahkan berlipat ganda jumlahnya. Hongi dan kora-kora yang rusak sudah diperbaiki dan dilengkapi senjata penuh peluru.
            Satu malam sebelum peperangan, Nuku hadiahkan pertunjukkan Totobuang untuk para Kaicil dan nakhoda.Sebagai pembangkit semangat perang, pun dihadirkan tabuhan tifa sepanjang malam.Dari kami tak ada yang berani memejamkan mata, karena hari esok tak boleh terlewatkan.
            “Jambuli, ingin kukatakan sesuatu padamu,” ujar Nuku di antara hingar bingar pesta.
            Aku berdiri sigap.Nuku tertawa gelidan menyuruhku santai.“Kau tahu Nyai Salamah?”
            Monaffa, sebelum kematiannya, telah menikahi seorang perempuan Weda bernama Nyai Salamah.Selama perjalanan menuju wilayah musuh, yang biasa memakan waktu berhari-hari, yang selalu diceritakan Monaffa padaku adalah betapa ulet istrinya itu.Saban hari dia selalu memuji Nyai Salamah. Bila kuprotes atau kubandingkan dengan Nyai yang lain, langsung merah wajahnya. Lalu kami sama-sama terpingkal, mengingat betapa ia mencintai Nyai Salamah.
            “Tentu tahu, Sultan.Wanita yang selalu diagung-agungkan Kaicil Monaffa.”
            Nuku menepuk pundakku.“Sedang hamil empat bulan dia, Jambuli.Setiap malam tak berhenti dia menangisi Monaffa.Bila hendak mengantarkan makan, tak tega aku masuk ke kamarnya.Aku pun sedih, Jambuli.Tapi, tanah kelahiranku, tempat Monaffa dibesarkan, masih dikuasai Belanda dan sepupu gilaku itu.Aku tak boleh bersedih lama-lama.”
            Aku mengangguk membenarkan.
            “Dengan segenap hatiku, tanpa melibatkan gelar sultan.Maukah kau menjadi suami Nyai Salamah, Jambuli? Aku tak begitu percaya pada Kaicil yang lain. Bukan takut mereka membelot, tapi takut mereka mengalami nasib yang sama dengan Monaffa. Hanya kau Kaicil yang tangguh dan penuh dengan strategi.Setidaknya, aku punya pilihan terbaik di antara yang paling baik.”
            Mendadak sunyi sekitarku.Bagi kami, para panglima tempur, pergi perang adalah penentu hidup atau mati.Musuh yang kami hadapi memiliki senjata perang yang lebih canggih dan lebih berkuasa.Mustahil bila tidak ada yang dikorbankan selama perang.Itulah sebab mengapa sebagian dari kami enggan menikah sebelum Nuku berhasil menduduki kesultanan Tidore.
            “Kau tak perlu menjawab sekarang,” Nuku menambahkan sebelum aku bersuara.
            Lepas dari perkataan itu, Nuku kembali ke kamar.Meninggalkan kami dan hingar bingar pesta. Barulah pukul empat pagi, ia keluar. Lengkap dengan baju perang, kopiah putih, dan pedang, serta bambu.
            Seketika Totobuang dan pukulan tifa dihentikan.Pasukkan kembali berkumpul, mendengarkan arahan dari panglima perang. Tepat pukul lima pagi, kami berangkat menuju Gebe, Gita, dan Warsai. Target kami tetap sama, pasukan Belanda dan Kamaludin.
            Peperangan itu bukanlah klimaks di antara semua rencana Nuku, karena seperti yang kami prediksikan, kami pulang dengan kemenangan.Hongi dan kora-kora Kamaludin tumbang di perairan Irian.Nuku memelukku erat.Bisa kudengar degup kebahagiaan dari balik baju perangnya.
            “Untuk Monaffa, Jambuli! UNTUK MONAFFA!”
            Peperangan yang memakan waktu dua hari itu benar-benar menguras tenaga seluruh pasukkan.Sekembalinya kami ke Pulau Gorong, Nuku menghadiahkan kami tembakau cengkih, tembakau paling mahal kala itu.Ketika tiba giliranku, Nuku menunggu sejenak sebelum memberikan tembakau itu. “Bagaimana, Jambuli? Sudah kau dapatkan jawaban atas pertanyaanku?”
            Aku bergeming dan menolak tembakau pemberiannya.
***
            Di dekat bekas perapian semalam, aku menemui tambatan hatiku, Nyai Azedarach, wanita Gorong berkulit kuning pala.Malam itu dia mengenakan brokat putih sederhana tanpa umbai dan rok kain bercorak batik warna cokelat.Sungguh, semua lelah dan penatku kabur persetan saat dia menyambutku dengan senyum.
            “Selamat. Jam,” ujarnya manis.
            Perasaan lega yang sempat hinggap saat melihatnya tersenyum sirna digantikan gelisah dan sesak di dada.Aku tahu ini bukan pertemuan yang menyenangkan. Apalagi aku harus segera memberi jawaban pada Nuku, tak mungkin bila kutunda memberi  tahu Nyai Azedarach.
            “Mengapa belum tidur, Dara?”
            “Seperti biasa, Jam, aku menunggumu pulang dan ingin mendengar kisah pertempuranmu kali ini.”
            Aku tersenyum paksa.Perempuan ini tak tahu betapa kelu lidahku saat itu.Betapa aku ingin memeluknya dan menangis sesukaku.Karena setelah malam itu, aku bukan lagi miliknya.
            “Tidak ada cerita kali ini, Sayang.”
            “Kalau begitu, mari kita istirahat.Kau harus banyak tidur, karena masih ada perang yang lebih besar dari ini.”
            Badanku kaku, tak mampu bergerak atau sekadar membenarkan omongannya.Untuk mencairkan keteganganku, kugenggam tangan Nyai Azedarach dan menunduk lama.Menangis aku malam itu. Tetes-tetes air mataku membasahi tangannya yang kasar. Tak pernah aku berlaku seperti ini di hadapannya.Pilu dan perih hati yang kurasakan saat melihat Nuku menangis di hadapan jasad Monaffa muncul lagi.Hingga suara tangisku berubah menjadi rengekan panjang, Nyai Azedarach hanya diam dan mengelus lembut bahuku.
            “Apa yang ingin kau katakana, Jam?Bicarakanlah agar kau makin lega.”
            Kepalaku menggeleng.“Tak sanggup, Nyai!Tak sanggup!”
            “Bila aku pun tak sanggup, tak mungkin kubiarkan diriku menikmati setiap kegelisahan dan kerinduan setiap kali kau berperang, Jam. Ada apa?”
            Setelah rasa sesak di dada berkurang, aku menatap matanya yang cokelat tua. “Izinkan aku menikah dengan Nyai lain, Dara.”
            Wanita itu kaku, sekaku kemudi kora-kora bagi mereka yang baru mengemudi.Dilepasnya genggaman tanganku, dia menatap lekat bekas perapian. Lama aku menunggunya berbicara atau sekadar mengeluarkan suara. Tapi Nyai hanya diam membeku.
            “Kau tak perlu menjawab sekarang, Dara.Aku bisa menunggu esok, lusa.”
            “Aku tak mau menjawab, Jam. Jangan menunggu.”Nyai Azedarach bangkit dan meninggalkanku sendirian.Bersama rembulan yang mulai layu dan daun gugur, aku tertidur di pekarangan kampung.
***
            Nyai Azedarach mengusap matanya.Sedari tadi, selama bercerita tentang kisah percintaannya di masa peperangan Nuku, dia tidak berhenti menangis.Lalu aku tetiba menghentikan mesin waktunya, karena tak tahan lagi melihat wanita yang belum menikah ituterus-terusan menangis.
            “Bagaimana perasaanmu saat harus menari di pesta pernikahan  kekasihmu, Nak?” dia bertanya padaku. Sorot tajam matanya membuat lidahku kelu.
            “Setelah pulang dari perang, Jambuli langsung mendatangiku.Memohon restu untuk menikahi Nyai Salamah yang sedang mengandung empat bulan.Aku tahu dia tidak sanggup menolak permintaan Nuku.Aku diam. Dan esok malam, aku menari tanpa senyuman di pesta pernikahannya.”
            “Tidakkah dia mengatakan sesuatu, Nyai?”
            “Dia bilang, selepas perang, dalam setiap pulangnya akan selalu dipersembahkan untukku seorang.Karena sedari dulu, alasannya untuk tetap hidup di balik kemudi adalah aku. Kau boleh melihatku menikah dengan Nyai lain, tapi kau tak boleh menutup mata dan telinga tentang alasanku untuk selalu pulang ke sini, begitu dia berujar dulu.”
            Aku menutup buku catatanku, lalu menyalami Nyai Azedarach.Dalam perjalanan pulang dari Pulau Gorong, aku mulai mendikte nama-nama yang pantas menerima kehadiranku di bandara nanti.

Jejak Imaji, 2017

*Cerpen ini menjadi juara I penulisan cerpen ellunar publisher


Share:

0 komentar:

Posting Komentar