NYAI AZEDARACH
Wika G. Wulandari
Tidore, 1970
Nuku menangis.Panglima tempur paling
ditakuti di seluruh perairan timur itu tunduk dan menangis di hadapan mayat
adiknya, Monaffa.Rintih dalam kesedihan tak bersuara. Pedang-pedang perang tak
lagi ia angkat, hongi dan kora-kora ditelantarkan di pesisir
pantai. Sungguh berita duka yang menggemberikan pihak musuh.
“Apa yang kau ingin aku lakukan,
Sultan?” aku bertanya.
“Jambuli, ini bukan waktu untuk
balas dendam!Karena sejatinya perjuanganku merebut tanah kelahiranku bukanlah
atas dasar kekejian!”Nuku berteriak.Aku bergeming.Beberapa nakhodaku ikut
menangis di barisan belakang.
Sejak ayahnya meninggal, Nuku gencar
mengambil tahta kesultanan Tidore.Sudah sepuluh tahun dia mengumpulkan pasukan
untuk melawan pihak belanda dan sepupunya, Kamaludin.Atas dasar aturan kompeni,
seharusnya Nuku yang diangkat menjadi sultan.Tapi sifatnya yang enggan tunduk
dan pemberontak, membuat Belanda enggan memberi kuasa.
Sepuluh tahun pun Nuku hidup bersama
Monaffa dan beberapa pengikut setianya. Kami makan, tertawa, dan mengatur
strategi bersama. Pun kadang tertidur di atas tikar yang sama. Kematian Monaffa
tidak hanya pukulan pilu yang dirasakan Nuku seorang.Berita itu pun berdampak
padaku. Aku yang berjarak beberapa
mil di belakang hongi Monaffa, harus melihat pemuda perkasa itu mati tenggelam
ditembaki meriam musuh.
Pulangku bukanlah sesuatu yang
diharapkan Nuku, karena berita yang kubawa adalah tentang kematian
adiknya.Lengkap dengan mayat yang hangus terbakar.Nuku merintih, meremas kopiah
putihnya.Tak berani dia menyentuh mayat adiknya.
“Ini siapa, Jambuli?!” berulang kali
dia berteriak menanyakan kepastian.
“Kaicil
Monaffa, Sultan. Kaicil Monaffa.”
Berulang kali pun kujawab dengan suara bergetar.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan
rasa kehilangan.Dua bulan sejak kematian Monaffa, Nuku bangkit kembali.
Pasukkannya yang telah mati di wilayah musuh, sudah ia gantikan, bahkan
berlipat ganda jumlahnya. Hongi dan kora-kora yang rusak sudah diperbaiki
dan dilengkapi senjata penuh peluru.
Satu malam sebelum peperangan, Nuku
hadiahkan pertunjukkan Totobuang
untuk para Kaicil dan nakhoda.Sebagai
pembangkit semangat perang, pun dihadirkan tabuhan tifa sepanjang malam.Dari
kami tak ada yang berani memejamkan mata, karena hari esok tak boleh terlewatkan.
“Jambuli, ingin kukatakan sesuatu
padamu,” ujar Nuku di antara hingar bingar pesta.
Aku berdiri sigap.Nuku tertawa gelidan
menyuruhku santai.“Kau tahu Nyai Salamah?”
Monaffa, sebelum kematiannya, telah
menikahi seorang perempuan Weda bernama Nyai Salamah.Selama perjalanan menuju
wilayah musuh, yang biasa memakan waktu berhari-hari, yang selalu diceritakan
Monaffa padaku adalah betapa ulet istrinya itu.Saban hari dia selalu memuji
Nyai Salamah. Bila kuprotes atau kubandingkan dengan Nyai yang lain, langsung
merah wajahnya. Lalu kami sama-sama terpingkal, mengingat betapa ia mencintai
Nyai Salamah.
“Tentu tahu, Sultan.Wanita yang
selalu diagung-agungkan Kaicil Monaffa.”
Nuku menepuk pundakku.“Sedang hamil
empat bulan dia, Jambuli.Setiap malam tak berhenti dia menangisi Monaffa.Bila
hendak mengantarkan makan, tak tega aku masuk ke kamarnya.Aku pun sedih,
Jambuli.Tapi, tanah kelahiranku, tempat Monaffa dibesarkan, masih dikuasai
Belanda dan sepupu gilaku itu.Aku tak boleh bersedih lama-lama.”
Aku mengangguk membenarkan.
“Dengan segenap hatiku, tanpa
melibatkan gelar sultan.Maukah kau menjadi suami Nyai Salamah, Jambuli? Aku tak
begitu percaya pada Kaicil yang lain.
Bukan takut mereka membelot, tapi takut mereka mengalami nasib yang sama dengan
Monaffa. Hanya kau Kaicil yang
tangguh dan penuh dengan strategi.Setidaknya, aku punya pilihan terbaik di
antara yang paling baik.”
Mendadak sunyi sekitarku.Bagi kami,
para panglima tempur, pergi perang adalah penentu hidup atau mati.Musuh yang
kami hadapi memiliki senjata perang yang lebih canggih dan lebih
berkuasa.Mustahil bila tidak ada yang dikorbankan selama perang.Itulah sebab
mengapa sebagian dari kami enggan menikah sebelum Nuku berhasil menduduki
kesultanan Tidore.
“Kau tak perlu menjawab sekarang,”
Nuku menambahkan sebelum aku bersuara.
Lepas dari perkataan itu, Nuku
kembali ke kamar.Meninggalkan kami dan hingar bingar pesta. Barulah pukul empat
pagi, ia keluar. Lengkap dengan baju perang, kopiah putih, dan pedang, serta
bambu.
Seketika Totobuang dan pukulan tifa dihentikan.Pasukkan kembali berkumpul,
mendengarkan arahan dari panglima perang. Tepat pukul lima pagi, kami berangkat
menuju Gebe, Gita, dan Warsai. Target kami tetap sama, pasukan Belanda dan
Kamaludin.
Peperangan itu bukanlah klimaks di
antara semua rencana Nuku, karena seperti yang kami prediksikan, kami pulang
dengan kemenangan.Hongi dan kora-kora Kamaludin tumbang di perairan
Irian.Nuku memelukku erat.Bisa kudengar degup kebahagiaan dari balik baju
perangnya.
“Untuk Monaffa, Jambuli! UNTUK
MONAFFA!”
Peperangan yang memakan waktu dua
hari itu benar-benar menguras tenaga seluruh pasukkan.Sekembalinya kami ke
Pulau Gorong, Nuku menghadiahkan kami tembakau cengkih, tembakau paling mahal
kala itu.Ketika tiba giliranku, Nuku menunggu sejenak sebelum memberikan
tembakau itu. “Bagaimana, Jambuli? Sudah kau dapatkan jawaban atas
pertanyaanku?”
Aku bergeming dan menolak tembakau
pemberiannya.
***
Di dekat bekas perapian semalam, aku
menemui tambatan hatiku, Nyai Azedarach, wanita Gorong berkulit kuning
pala.Malam itu dia mengenakan brokat putih sederhana tanpa umbai dan rok kain
bercorak batik warna cokelat.Sungguh, semua lelah dan penatku kabur persetan
saat dia menyambutku dengan senyum.
“Selamat. Jam,” ujarnya manis.
Perasaan lega yang sempat hinggap
saat melihatnya tersenyum sirna digantikan gelisah dan sesak di dada.Aku tahu
ini bukan pertemuan yang menyenangkan. Apalagi aku harus segera memberi jawaban
pada Nuku, tak mungkin bila kutunda memberi
tahu Nyai Azedarach.
“Mengapa belum tidur, Dara?”
“Seperti biasa, Jam, aku menunggumu
pulang dan ingin mendengar kisah pertempuranmu kali ini.”
Aku tersenyum paksa.Perempuan ini
tak tahu betapa kelu lidahku saat itu.Betapa aku ingin memeluknya dan menangis
sesukaku.Karena setelah malam itu, aku bukan lagi miliknya.
“Tidak ada cerita kali ini, Sayang.”
“Kalau begitu, mari kita istirahat.Kau
harus banyak tidur, karena masih ada perang yang lebih besar dari ini.”
Badanku kaku, tak mampu bergerak
atau sekadar membenarkan omongannya.Untuk mencairkan keteganganku, kugenggam
tangan Nyai Azedarach dan menunduk lama.Menangis aku malam itu. Tetes-tetes air
mataku membasahi tangannya yang kasar. Tak pernah aku berlaku seperti ini di
hadapannya.Pilu dan perih hati yang kurasakan saat melihat Nuku menangis di
hadapan jasad Monaffa muncul lagi.Hingga suara tangisku berubah menjadi
rengekan panjang, Nyai Azedarach hanya diam dan mengelus lembut bahuku.
“Apa yang ingin kau katakana,
Jam?Bicarakanlah agar kau makin lega.”
Kepalaku menggeleng.“Tak sanggup,
Nyai!Tak sanggup!”
“Bila aku pun tak sanggup, tak
mungkin kubiarkan diriku menikmati setiap kegelisahan dan kerinduan setiap kali
kau berperang, Jam. Ada apa?”
Setelah rasa sesak di dada
berkurang, aku menatap matanya yang cokelat tua. “Izinkan aku menikah dengan
Nyai lain, Dara.”
Wanita itu kaku, sekaku kemudi kora-kora bagi mereka yang baru
mengemudi.Dilepasnya genggaman tanganku, dia menatap lekat bekas perapian. Lama
aku menunggunya berbicara atau sekadar mengeluarkan suara. Tapi Nyai hanya diam
membeku.
“Kau tak perlu menjawab sekarang,
Dara.Aku bisa menunggu esok, lusa.”
“Aku tak mau menjawab, Jam. Jangan
menunggu.”Nyai Azedarach bangkit dan meninggalkanku sendirian.Bersama rembulan
yang mulai layu dan daun gugur, aku tertidur di pekarangan kampung.
***
Nyai Azedarach mengusap
matanya.Sedari tadi, selama bercerita tentang kisah percintaannya di masa
peperangan Nuku, dia tidak berhenti menangis.Lalu aku tetiba menghentikan mesin
waktunya, karena tak tahan lagi melihat wanita yang belum menikah ituterus-terusan
menangis.
“Bagaimana perasaanmu saat harus
menari di pesta pernikahan kekasihmu,
Nak?” dia bertanya padaku. Sorot tajam matanya membuat lidahku kelu.
“Setelah pulang dari perang, Jambuli
langsung mendatangiku.Memohon restu untuk menikahi Nyai Salamah yang sedang
mengandung empat bulan.Aku tahu dia tidak sanggup menolak permintaan Nuku.Aku
diam. Dan esok malam, aku menari tanpa senyuman di pesta pernikahannya.”
“Tidakkah dia mengatakan sesuatu,
Nyai?”
“Dia bilang, selepas perang, dalam
setiap pulangnya akan selalu dipersembahkan untukku seorang.Karena sedari dulu,
alasannya untuk tetap hidup di balik kemudi adalah aku. Kau boleh melihatku
menikah dengan Nyai lain, tapi kau tak boleh menutup mata dan telinga tentang
alasanku untuk selalu pulang ke sini, begitu dia berujar dulu.”
Aku menutup buku catatanku, lalu
menyalami Nyai Azedarach.Dalam perjalanan pulang dari Pulau Gorong, aku mulai
mendikte nama-nama yang pantas menerima kehadiranku di bandara nanti.
Jejak
Imaji, 2017
*Cerpen ini menjadi juara I penulisan cerpen ellunar publisher
0 komentar:
Posting Komentar