Kamis, 20 Juli 2017

Rangkong Dalam Cerita Ayah

Rangkong Dalam Cerita Ayah
Wika G. Wulandari

            Malam kelima Bulan Sya’ban, Ayah kembali membacakan cerita pengantar tidur yang ia tulis dalam pikirannya. Tidak hanya padaku Ayah tunjukkan cerita itu, tapi pada desir angin yang menghantar mendung, pada derik jangkrik yang lirih, pada neon-neon tua yang ringkih. Ayah bercerita dengan khidmat.
            “Saat umurmu lima tahun, kau senang memperhatikan burung rangkong dari jendela dapur,” Ayah memulai. “Kau pandai menirukan suaranya.Dan setiap malam sebelum tidur, kau berlagak seperti rangkong.Memutari pohon natal di dekat lemari buku ayah.Sampai kau lelah, sampai kau terkantuk-kantuk.”
             Aku menyeringai dan meminta Ayah melanjutkan.
            “Kau punya satu album tebal yang berisikan gambar rangkong.Kau bilang kau ingin punya mulut seperti rangkong.Besar dan tebal, agar bisa melahap semua masakkan Ibu tanpa sisa.”
            Aku tahu ada yang salah.Ada yang keliru dari cerita-cerita Ayah.Tentang rangkong yang tidak pernah muncul dalam kehidupanku sebelumnya. Tentang semua perilakuku waktu kecil yang sama sekali berbeda dengan apa yang kurasa. Tapi di hadapan Ayah, aku terkekeh.Berlagak seperti memang begitulah kehidupan kecilku dulu, begitulah aku melewati masa kanak-kanak bersamanya dan Ibu, bereaksi terhadap semua detail yang Ayah lontarkan. Tanpa pernah pikir ulang, tanpa pernah menanyakan.
            “Setiap malam kau buka album itu. Kau beri nama setiap foto yang ada. Yang Ayah ingat hanya satu, Garuda,” lanjut Ayah. “Kau ingat mengapa kau beri nama garuda?”
            “Karena Ayah?”
            Ayah mengangguk.
            Bahkan dengan jawaban tidak masuk akal pun, Ayah ikut larut bersamanya. Seakan percaya dan bahagia melihatku turut dalam alur cerita. Padahal tidak pernah kuingat ada adegan pemberian nama Garuda pada burung rangkong yang misterius itu. Pun janggal sekali bila garuda adalah refleksi Ayah. Tapi, kubiarkan mengalir.Seperti malam yang terus melarut bersama lelap para tetangga.
            “Dan karena setiap sore rangkong itu selalu ada di pohon ara, mengawasimu terkadang. Di antara puluhan foto rangkong yang kau punya, hanya Garuda yang paling kau sayang.”
            Bibirku terkatup rapat.Aku berlagak lagi, pura-pura berusaha mencari rasa yang dulu, mencari penggalan-penggalan kenangan tentang Garuda.Kukerutkan dahiku, sambil berpikir dalam diam, memang benar, bila umur makin bertambah, akan ada dua-tiga memori yang harus dikorbankan untuk dilupakan. Pengorbanan yang berharga dan egois.
            “Pernah album itu disimpan Ibu karena kau tak mau tidur siang.Saban hari kau merengek.Tak mau makan, tak mau mandi, tak mau turut ke gereja.Kau merontak di dalam kamar.Kau hancurkan semua susunan boneka di rak lemari.Kau lepas sepraimu, kau hamburkan bantal di lantai. Ayah hanya tersenyum melihat tingkahmu. Sedang Ibu sibuk bersiap diri ke gereja.”
            Ah, seperti itukah bila seseorang benar-benar mencintai sesuatu? Rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya? Dalam detak jarum jam yang mulai larut, aku kembali menyadari bahwa dulu, dulu sekali, ada bagian dari diriku yang begitu tergila-tergila dan polos, entah pada rangkong dalam cerita Ayah, atau pada bocah kecil seberang rumah yang pernah menawariku gula-gula.
            “Hingga kami kembali dari gereja, kau masih saja merajuk.Padahal sudah ibu bawakan rangginang kesukaanmu. Hahaha! Kau begitu lucu dulu.Sebenarnya bila kau teliti, kau bisa menemukan album kesayanganmu itu.Ibu hanya menyimpannya di lemari es, di bagian rak sayur.Tapi kau terlalu sibuk melempar apa saja yang ada di kamarmu.”
            Kami tertawa malam itu. Mencoba mengalahkan desir angin yang makin kencang. Pukul sembilan lewat lima belas menit, gerimis mulai turun. Ayah memakaikanku selimut.
            “Belum selesai, Ayah,” rengekku.
            Dia hanya mengangguk.“Besok kita lanjutkan lagi.”
            Untuk beberapa alasan, seperti kesenangan Ayah, aku tak bisa menolak bila saban malam Ayah selalu mendatangi kamarku. Menarik kursi kayu ke sisi tempat tidur dan mulai bercerita apa yang pernah dia alami dulu.
***
            Setelah ditinggal Ibu lima tahun lalu, Ayah mulai meninggalkan semua kegiatan yang mengharuskannya keluar rumah. Dia lebih memilih menungguku pulang, dengan secangkir teh hijau dan sebungkus biskuit. Kalau sudah begitu, kami akan berbincang cukup lama di teras belakang, sambil sesekali memanjatkan doa untuk Ibu.
Bulan lalu Ayah divonis menderita demensia, penyakit degenerasi yang perlahan menghapus ingatan-ingatan tertentu dan menghilangkan kemampuan motoriknya. Sejak itu dia sering memperlakukanku sebagai Arnia kecil, bukan Arnia dewasa yang sebentar lagi menyandang gelar doktor. Dan semenjak itulah Ayah mulai membacakan dongeng sebelum tidur, memakainkanku selimut, dan menunggu di ujung tempar tidur hingga aku benar-benar terlelap.
“Kau ingin mendengar lanjutan semalam?”
Meski terkadang aku terlalu lelah dan ingin segera tidur, teringat kembali pesan dokter yang memintaku untuk selalu mengajak Ayah berinteraksi. Pun aku tak bisa menolak seri semangat Ayah dan bagaimana dia selalu menggebu-gebu merangkai kejadian demi kejadian tentang rangkong dalam hidupnya. Dan perlahan aku disadarkan, pada malam-malam selanjutnya, dalam semua cerita Ayah ada rindu untuk kembali. Ada keinginan untuk berkumpul bersama sanak keluarga, membayar kembali waktu-waktu yang terlewatkan.
“Sebelum Ibu meninggal, Ibu meminta Ayah untuk membelikan boneka rangkong kesukaanmu. Waktu ditanya mengapa, ibu ingin tahu apa yang kau rasakan dulu saat setiap malam tidur bersama boneka rangkong. Susah sekali mencari boneka rangkong kala itu. Karena tak punya banyak waktu, Ayah pesan langsung ke tukang boneka.”
“Mengapa tidak ambil bonekaku?”
“Semua bonekamu dan albummu ditinggalkan di Kalimantan.Itulah mengapa kau mati-matian tidak mau naik ke pesawat dulu.Bila esok lusa kau kembali ke Kalimantan, ambilkan semua barang-barangmu.Tata rapi di lemari kayu punya Ibu. Agar esok lusa bila Ayah bercerita kenangan lalu, kau bisa melihat dan membayangkan dengan nyata.”
Aku mengangguk.Semakin hari, semakin bingung aku harus bagaimana menanggapi cerita Ayah.Bukan karena aku tak pandai bersandiwara, tapi lantaran aku tahu kehidupan masa kecilku tidak seperti yang diceritakan Ayah.Ada gejolak ingin protes dalam dada, gejolak yang sudah kutahan belasan hari. Berharap suatu saat akan luntur sendiri.
Lewat cerita-cerita Ayah, aku akhirnya tahu, banyak kenangan yang telah luntur dari ingatannya.Yang benar-benar bertahan di dalamnya hanyalah perasaan sedu sedan tentang hari-hari kelam di masa mudanya. Sesekali, dengan perasaan kosong, Ayah bercerita, dalam gigil tangis yang tak bersuara, sedih yang tak terkira, Ayah menuangkan penyesalannya sangat pekat.
“Rangkong hanya suka pada pohon yang lebih tinggi dari pohon lain. Di dekat rumah kita dulu ada pohon ara yang lebih tinggi di antara pepohonan yang lain. Ketika pohon ara ditebang, rangkong itu bingung. Hampir seharian rangkong itu hanya terbang mengawang di udara.Entah karena bingung ke mana habitatnya yang dulu atau bingung menemukan habitat baru.”
Saat tak ada lagi yang bisa dilanjutkan atau diceritakan, Ayah akan menatap lantai. Menyembunyikan bola matanya yang berkaca-kaca.Atau mengenggam erat tanganku, memintaku cepat terlelap agar dia bisa menikmati kesedihan di pojok kamarnya. Ketika tidak ada lagi yang bisa disampaikan, Ayah membiarkan lirih suara jangkrik mengisi kekosongan di antara kami. Sambil sesekali menggumamkan lantunan lagu lawas.
            Lalu kuingat dulu betapa sering lagu itu disenandungkan Ibu di antara perapian dan asap-asap masakkan. Kuingat pula saat ini, waktu Ayah merawat tubuh lemah Ibu karena digerogoti kanker dan diabetes, hanya lagu-lagu lawas yang Ayah nyanyikan untuk mengantarkan Ibu pada lelap. Hingga ketika lelap Ibu benar-benar panjang, dan tak ada seorang pun yang berani  berharap Ibu akan terbangun dari lelap itu, Ayah hadiahkan sebuah lagu lawas berjudul di batas kota ini dengan gumaman sendu.
Dan di rongga dadaku seperti ada badai pasir yang menggerakkan daun-daun ilalang.Mencabik-cabik, mengoyak, menoreh luka di sana-sini, meninggalkan pedih yang juga sangat[1].
***
            Satu malam di antara sekian banyak malam dengan cerita pengantar tidur, wajah Ayah hambar. Di sandaran tempat tidur, aku sudah menunggu, seperti biasa, dengan banyak rekaan adegan pura-pura.
            “Kau tahu hewan apa yang setia?”
            “Buaya, angsa, mungkin.”
            “Rangkong, Arnia. Rangkong itu setia.”
            “Seperti Ayah?”
            Ayah terkekeh. “Ibumu yang setia. Ayah belum tentu.”
            Aku tersenyum dan mengangguk. Ayah melanjutkan. “Rangkong jantan begitu menyayangi rangkong betina.Dibawakannya makanan saat si betina sedang mengerami telur di lubang pohon.Selama empat bulan berturut-turut, Arnia.Bila kau bunuh rangkong jantan, itu sama hal dengan kau menelantarkan induk dan anak-anaknya.”
            Bagiku itu hal yang wajar.Jantan mencarikan makanan untuk betina saat si betina sedang mengeram telur.Tidak ada yang begitu spesial dari cerita ayah. Tapi ketika melihat wajah Ayah begitunelangsa, di antara bohlam-bohlam kuning, aku tidak tega untuk menyela. Toh, di antara semua malam yang Ayah hadirkan dengan cerita pengantar tidur, pada akhirnya yang benar-benar kupentingkan adalah kesehatan Ayah.
            “Bagaimana kalau rangkong jantan mati sebelum masa pengeraman telur selesai?”
            Ayah diam. “Kau selalu suka akhir yang sedih, ya.”
            Bahkan sebelum larut mengetuk jendela kamar, Ayah mengakhiri ceritanya. Semua lampu Ayah matikan. Aku tak tahu ruangan mana yang menjadi tempat tumpahan kesedihan dan kerinduan Ayah malam ini, setelah tadi malam menghabiskan pekat air matanya di depan lemari kayu Ibu.
***
            Aku tahu, ketika Ayah pertama kali membacakan cerita pengantar tidur yang dia tuliskan dalam kepalanya, aku teramat sadar cerita itu bukan tentang masa kecilku. Sejak dulu, sejak lahir tak pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke Kalimantan, kota kelahiran Ayah. Dan aku pun tak pernah melihat burung rangkong terbang bebas di sekitaran pohon ara.
            Aku sadar, semua memori yang Ayah tuangkan dalam ceritanya adalah penggalan masa lalunya yang masih kuat menancap, meski demensia perlahan-lahan menggerus habis kenangan yang tersisa. Tapi kubiarkan Ayah bercerita, bercerita tentang masa lalunya yang kelam, yang dulu hanya Ibu yang tahu.
            Rangkong-rangkong yang Ayah ceritakan  adalah bentuk penyesalan masa mudanya. Dulu, dulu sekali, Ayah adalah pekerja lepas di sebuah organisasi ilegal. Demi menghidupi adik, kakak, dan ibunya, Ayah turut serta dalam penebangan liar di hutan Kalimantan. Semua pohon ara, pohon mahoni, dan pohon apa saja yang terlihat kokoh akan ditebang, tanpa pilah, tanpa berpikir dua kali. Bila beruntung, satu-dua ekor rangkong ikut dimangsa, diambil paruhnya, dan dijual ke pasar gelap.Hasil penjualan paruh rangkong bisa menghidup keluarganya selama satu minggu.
            Ibu pernah bercerita jumpa pertamanya dengan Ayah. Setelah dua bulan di bui dengan denda dua ratus ribu rupiah, Ayah dibebaskan. Di depan kantor polisi tempat Ayah mendekam itulah mereka pertama kali bertemu, berinteraksi dan menjadi titik awal kebersamaan. Sejak itu Ayah mulai berubah, tidak lagi menebang liar, tidak lagi berburu rangkong. Namun karena harus merawat Ibu, Ayah terpaksa meninggalkan Kalimantan. Pulang ke rumah mertua.
            Saban malam di langit Jakarta, Ayah gelisah. Memikirkan bagaimana nasib-nasib rangkong sekarang. Hingga kini, ketika aku adalah hal berharga yang tersisa dalam hidupnya, Ayah masihmenyimpan rasa yang dulu. Satu yang berubah adalah penyesalan dan kegundahan yang bertahun-tahun dialaminya, Ayah tumpahkan dalam cerita rangkong yang dibacakannya sebelum aku terlelap.
            Bahkan sebelum Ayah ikut terlelap bersama Ibu, sempat dikatakannya satu patah kalimat. “Jangan merenggut kesenangan makhluk lain. Sesal itu menyengsarakan dan mematikan.”




[1]Sebuah Kisah Sedih karya Puthut EA.

*Cerpen ini menjadi  juara III dalam sayembara menulis cerpen yang dislenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta 2017
Share:

0 komentar:

Posting Komentar