Wika G. Wulandari
Malam kelima Bulan Sya’ban, Ayah
kembali membacakan cerita pengantar tidur yang ia tulis dalam pikirannya. Tidak
hanya padaku Ayah tunjukkan cerita itu, tapi pada desir angin yang menghantar
mendung, pada derik jangkrik yang lirih, pada neon-neon tua yang ringkih. Ayah
bercerita dengan khidmat.
“Saat umurmu lima tahun, kau senang
memperhatikan burung rangkong dari jendela dapur,” Ayah memulai. “Kau pandai
menirukan suaranya.Dan setiap malam sebelum tidur, kau berlagak seperti
rangkong.Memutari pohon natal di dekat lemari buku ayah.Sampai kau lelah,
sampai kau terkantuk-kantuk.”
Aku menyeringai dan meminta Ayah melanjutkan.
“Kau punya satu album tebal yang
berisikan gambar rangkong.Kau bilang kau ingin punya mulut seperti
rangkong.Besar dan tebal, agar bisa melahap semua masakkan Ibu tanpa sisa.”
Aku tahu ada yang salah.Ada yang
keliru dari cerita-cerita Ayah.Tentang rangkong yang tidak pernah muncul dalam
kehidupanku sebelumnya. Tentang semua perilakuku waktu kecil yang sama sekali
berbeda dengan apa yang kurasa. Tapi di hadapan Ayah, aku terkekeh.Berlagak
seperti memang begitulah kehidupan kecilku dulu, begitulah aku melewati masa
kanak-kanak bersamanya dan Ibu, bereaksi terhadap semua detail yang Ayah
lontarkan. Tanpa pernah pikir ulang, tanpa pernah menanyakan.
“Setiap malam kau buka album itu.
Kau beri nama setiap foto yang ada. Yang Ayah ingat hanya satu, Garuda,” lanjut
Ayah. “Kau ingat mengapa kau beri nama garuda?”
“Karena Ayah?”
Ayah mengangguk.
Bahkan dengan jawaban tidak masuk
akal pun, Ayah ikut larut bersamanya. Seakan percaya dan bahagia melihatku
turut dalam alur cerita. Padahal tidak pernah kuingat ada adegan pemberian nama
Garuda pada burung rangkong yang misterius itu. Pun janggal sekali bila garuda
adalah refleksi Ayah. Tapi, kubiarkan mengalir.Seperti malam yang terus melarut
bersama lelap para tetangga.
“Dan karena setiap sore rangkong itu
selalu ada di pohon ara, mengawasimu terkadang. Di antara puluhan foto rangkong
yang kau punya, hanya Garuda yang paling kau sayang.”
Bibirku terkatup rapat.Aku berlagak
lagi, pura-pura berusaha mencari rasa yang dulu, mencari penggalan-penggalan
kenangan tentang Garuda.Kukerutkan dahiku, sambil berpikir dalam diam, memang
benar, bila umur makin bertambah, akan ada dua-tiga memori yang harus
dikorbankan untuk dilupakan. Pengorbanan yang berharga dan egois.
“Pernah album itu disimpan Ibu
karena kau tak mau tidur siang.Saban hari kau merengek.Tak mau makan, tak mau
mandi, tak mau turut ke gereja.Kau merontak di dalam kamar.Kau hancurkan semua
susunan boneka di rak lemari.Kau lepas sepraimu, kau hamburkan bantal di
lantai. Ayah hanya tersenyum melihat tingkahmu. Sedang Ibu sibuk bersiap diri
ke gereja.”
Ah, seperti itukah bila seseorang
benar-benar mencintai sesuatu? Rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya?
Dalam detak jarum jam yang mulai larut, aku kembali menyadari bahwa dulu, dulu
sekali, ada bagian dari diriku yang begitu tergila-tergila dan polos, entah
pada rangkong dalam cerita Ayah, atau pada bocah kecil seberang rumah yang
pernah menawariku gula-gula.
“Hingga kami kembali dari gereja,
kau masih saja merajuk.Padahal sudah ibu bawakan rangginang kesukaanmu. Hahaha!
Kau begitu lucu dulu.Sebenarnya bila kau teliti, kau bisa menemukan album
kesayanganmu itu.Ibu hanya menyimpannya di lemari es, di bagian rak sayur.Tapi
kau terlalu sibuk melempar apa saja yang ada di kamarmu.”
Kami tertawa malam itu. Mencoba
mengalahkan desir angin yang makin kencang. Pukul sembilan lewat lima belas
menit, gerimis mulai turun. Ayah memakaikanku selimut.
“Belum selesai, Ayah,” rengekku.
Dia hanya mengangguk.“Besok kita
lanjutkan lagi.”
Untuk beberapa alasan, seperti kesenangan
Ayah, aku tak bisa menolak bila saban malam Ayah selalu mendatangi kamarku.
Menarik kursi kayu ke sisi tempat tidur dan mulai bercerita apa yang pernah dia
alami dulu.
***
Setelah ditinggal Ibu lima tahun
lalu, Ayah mulai meninggalkan semua kegiatan yang mengharuskannya keluar rumah.
Dia lebih memilih menungguku pulang, dengan secangkir teh hijau dan sebungkus
biskuit. Kalau sudah begitu, kami akan berbincang cukup lama di teras belakang,
sambil sesekali memanjatkan doa untuk Ibu.
Bulan lalu Ayah divonis menderita demensia, penyakit
degenerasi yang perlahan menghapus ingatan-ingatan tertentu dan menghilangkan
kemampuan motoriknya. Sejak itu dia sering memperlakukanku sebagai Arnia kecil,
bukan Arnia dewasa yang sebentar lagi menyandang gelar doktor. Dan semenjak
itulah Ayah mulai membacakan dongeng sebelum tidur, memakainkanku selimut, dan
menunggu di ujung tempar tidur hingga aku benar-benar terlelap.
“Kau ingin mendengar lanjutan semalam?”
Meski terkadang aku terlalu lelah dan ingin segera tidur,
teringat kembali pesan dokter yang memintaku untuk selalu mengajak Ayah
berinteraksi. Pun aku tak bisa menolak seri semangat Ayah dan bagaimana dia
selalu menggebu-gebu merangkai kejadian demi kejadian tentang rangkong dalam
hidupnya. Dan perlahan aku disadarkan, pada malam-malam selanjutnya, dalam
semua cerita Ayah ada rindu untuk kembali. Ada keinginan untuk berkumpul
bersama sanak keluarga, membayar kembali waktu-waktu yang terlewatkan.
“Sebelum Ibu meninggal, Ibu meminta Ayah untuk membelikan
boneka rangkong kesukaanmu. Waktu ditanya mengapa, ibu ingin tahu apa yang kau
rasakan dulu saat setiap malam tidur bersama boneka rangkong. Susah sekali
mencari boneka rangkong kala itu. Karena tak punya banyak waktu, Ayah pesan
langsung ke tukang boneka.”
“Mengapa tidak ambil bonekaku?”
“Semua bonekamu dan albummu ditinggalkan di
Kalimantan.Itulah mengapa kau mati-matian tidak mau naik ke pesawat dulu.Bila
esok lusa kau kembali ke Kalimantan, ambilkan semua barang-barangmu.Tata rapi
di lemari kayu punya Ibu. Agar esok lusa bila Ayah bercerita kenangan lalu, kau
bisa melihat dan membayangkan dengan nyata.”
Aku mengangguk.Semakin hari, semakin bingung aku harus
bagaimana menanggapi cerita Ayah.Bukan karena aku tak pandai bersandiwara, tapi
lantaran aku tahu kehidupan masa kecilku tidak seperti yang diceritakan
Ayah.Ada gejolak ingin protes dalam dada, gejolak yang sudah kutahan belasan
hari. Berharap suatu saat akan luntur sendiri.
Lewat cerita-cerita Ayah, aku akhirnya tahu, banyak kenangan
yang telah luntur dari ingatannya.Yang benar-benar bertahan di dalamnya
hanyalah perasaan sedu sedan tentang hari-hari kelam di masa mudanya. Sesekali,
dengan perasaan kosong, Ayah bercerita, dalam gigil tangis yang tak bersuara,
sedih yang tak terkira, Ayah menuangkan penyesalannya sangat pekat.
“Rangkong hanya suka pada pohon yang lebih tinggi dari pohon
lain. Di dekat rumah kita dulu ada pohon ara yang lebih tinggi di antara
pepohonan yang lain. Ketika pohon ara ditebang, rangkong itu bingung. Hampir
seharian rangkong itu hanya terbang mengawang di udara.Entah karena bingung ke
mana habitatnya yang dulu atau bingung menemukan habitat baru.”
Saat tak ada lagi yang bisa dilanjutkan atau diceritakan,
Ayah akan menatap lantai. Menyembunyikan bola matanya yang berkaca-kaca.Atau
mengenggam erat tanganku, memintaku cepat terlelap agar dia bisa menikmati
kesedihan di pojok kamarnya. Ketika tidak ada lagi yang bisa disampaikan, Ayah
membiarkan lirih suara jangkrik mengisi kekosongan di antara kami. Sambil
sesekali menggumamkan lantunan lagu lawas.
Lalu kuingat dulu betapa sering lagu
itu disenandungkan Ibu di antara perapian dan asap-asap masakkan. Kuingat pula
saat ini, waktu Ayah merawat tubuh lemah Ibu karena digerogoti kanker dan
diabetes, hanya lagu-lagu lawas yang Ayah nyanyikan untuk mengantarkan Ibu pada
lelap. Hingga ketika lelap Ibu benar-benar panjang, dan tak ada seorang pun
yang berani berharap Ibu akan terbangun
dari lelap itu, Ayah hadiahkan sebuah lagu lawas berjudul di batas kota ini dengan gumaman sendu.
Dan di rongga dadaku seperti ada badai pasir yang
menggerakkan daun-daun ilalang.Mencabik-cabik, mengoyak, menoreh luka di
sana-sini, meninggalkan pedih yang juga sangat[1].
***
Satu malam di antara sekian banyak malam
dengan cerita pengantar tidur, wajah Ayah hambar. Di sandaran tempat tidur, aku
sudah menunggu, seperti biasa, dengan banyak rekaan adegan pura-pura.
“Kau tahu hewan apa yang setia?”
“Buaya, angsa, mungkin.”
“Rangkong, Arnia. Rangkong itu
setia.”
“Seperti Ayah?”
Ayah terkekeh. “Ibumu yang setia.
Ayah belum tentu.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Ayah
melanjutkan. “Rangkong jantan begitu menyayangi rangkong betina.Dibawakannya
makanan saat si betina sedang mengerami telur di lubang pohon.Selama empat
bulan berturut-turut, Arnia.Bila kau bunuh rangkong jantan, itu sama hal dengan
kau menelantarkan induk dan anak-anaknya.”
Bagiku itu hal yang wajar.Jantan
mencarikan makanan untuk betina saat si betina sedang mengeram telur.Tidak ada
yang begitu spesial dari cerita ayah. Tapi ketika melihat wajah Ayah begitunelangsa,
di antara bohlam-bohlam kuning, aku tidak tega untuk menyela. Toh, di antara
semua malam yang Ayah hadirkan dengan cerita pengantar tidur, pada akhirnya
yang benar-benar kupentingkan adalah kesehatan Ayah.
“Bagaimana kalau rangkong jantan
mati sebelum masa pengeraman telur selesai?”
Ayah diam. “Kau selalu suka akhir
yang sedih, ya.”
Bahkan sebelum larut mengetuk
jendela kamar, Ayah mengakhiri ceritanya. Semua lampu Ayah matikan. Aku tak tahu
ruangan mana yang menjadi tempat tumpahan kesedihan dan kerinduan Ayah malam
ini, setelah tadi malam menghabiskan pekat air matanya di depan lemari kayu
Ibu.
***
Aku tahu, ketika Ayah pertama kali
membacakan cerita pengantar tidur yang dia tuliskan dalam kepalanya, aku
teramat sadar cerita itu bukan tentang masa kecilku. Sejak dulu, sejak lahir
tak pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke Kalimantan, kota kelahiran Ayah.
Dan aku pun tak pernah melihat burung rangkong terbang bebas di sekitaran pohon
ara.
Aku sadar, semua memori yang Ayah
tuangkan dalam ceritanya adalah penggalan masa lalunya yang masih kuat
menancap, meski demensia perlahan-lahan menggerus habis kenangan yang tersisa.
Tapi kubiarkan Ayah bercerita, bercerita tentang masa lalunya yang kelam, yang dulu
hanya Ibu yang tahu.
Rangkong-rangkong yang Ayah
ceritakan adalah bentuk penyesalan masa
mudanya. Dulu, dulu sekali, Ayah adalah pekerja lepas di sebuah organisasi
ilegal. Demi menghidupi adik, kakak, dan ibunya, Ayah turut serta dalam
penebangan liar di hutan Kalimantan. Semua pohon ara, pohon mahoni, dan pohon
apa saja yang terlihat kokoh akan ditebang, tanpa pilah, tanpa berpikir dua
kali. Bila beruntung, satu-dua ekor rangkong ikut dimangsa, diambil paruhnya,
dan dijual ke pasar gelap.Hasil penjualan paruh rangkong bisa menghidup
keluarganya selama satu minggu.
Ibu pernah bercerita jumpa
pertamanya dengan Ayah. Setelah dua bulan di bui dengan denda dua ratus ribu
rupiah, Ayah dibebaskan. Di depan kantor polisi tempat Ayah mendekam itulah
mereka pertama kali bertemu, berinteraksi dan menjadi titik awal kebersamaan.
Sejak itu Ayah mulai berubah, tidak lagi menebang liar, tidak lagi berburu
rangkong. Namun karena harus merawat Ibu, Ayah terpaksa meninggalkan
Kalimantan. Pulang ke rumah mertua.
Saban malam di langit Jakarta, Ayah
gelisah. Memikirkan bagaimana nasib-nasib rangkong sekarang. Hingga kini,
ketika aku adalah hal berharga yang tersisa dalam hidupnya, Ayah masihmenyimpan
rasa yang dulu. Satu yang berubah adalah penyesalan dan kegundahan yang
bertahun-tahun dialaminya, Ayah tumpahkan dalam cerita rangkong yang dibacakannya
sebelum aku terlelap.
Bahkan sebelum Ayah ikut terlelap
bersama Ibu, sempat dikatakannya satu patah kalimat. “Jangan merenggut
kesenangan makhluk lain. Sesal itu menyengsarakan dan mematikan.”
[1]Sebuah Kisah Sedih karya Puthut EA.
*Cerpen ini menjadi juara III dalam sayembara menulis cerpen yang dislenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta 2017
*Cerpen ini menjadi juara III dalam sayembara menulis cerpen yang dislenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta 2017
0 komentar:
Posting Komentar