Sabtu, 22 Juli 2017

Puisi-puisi Ir Rabani

Ikhbar Senja[1]

Denda, ingat tidakkah kau pada ikhbar senja yang dulu maksa kita buat lari ngambil peci, pergi ngaji bawa iqra?

Baru kuingat kata Tuan Guru, ada kalanya santren cuma tiang yang bakal tinggal, sepi bersawang, dan dihias kenang yang buntang.

Siapa tau, nanti selepas magrib, Quran ditartilkan seperti tembang-tembang sumbang.

Saat malam Jumat telah sunyi, tak beda dari malam biasanya, siapa kiranya yang bisa nyanyi barzanji?

Kita hanya laron yang buta pusat cahaya, terbang sembarang selepas hujan, lalu di tanah lecah melepas lelah.

Denda, selepas percakapan kita, entah santren makin bersawang atau malah ikut buntang, siapa peduli? Sedang kita terlanjur pengap dan berindap, perlahan-lahan hirap-lenyap.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Di Senja Raya[2]

Selepas senja kala, kita telah janji kan sua, akhiri imaji lama yang tak sempat kita rajut, berdua. Inginku, tak perlu kau bawa belida saat kutarik juntai kenanga di berai rambutmu, Denda. Sebab sejenak, kusimpan ia di gubuk sanak.

“Di tepi senja raya, biarkan kata-kata yang coba mewarta kita, kusut oleh angin, sebab tiada rahasia yang lebih purna dibanding sua kita.”

Biar saja nyanyi jangkrik iringi malam, sembari kita mengendap-rayap meraba lusa, di mana gula-garam teraduk, lalu kita teguk dari setadah mangkuk.

“Selaku Nitra, kau harusnya tak ragu. Sebab, bukan Gendawa yang kuperankan, tapi Gurantang yang menjemput patahan rusuk, di sepi malam.”

Denda, kita tinggalkan langit yang melepas jingga, lalu saling sulam dengan malam.

Sampai saatnya, benang terpintal jadi temali, lantas kuikat pada sukmamu, di mana kau dan aku takkan lagi berkawan sunyi.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Rahasia[3]

Kau tempatkan aku pada ruang paling malam di hatimu, tertimbun bagai pusara tanpa nisan, yang kapan saja dapat kau gali, semaumu.

Aku bakal buntang dan hilang, saat wujudku terwakili kata-kata. Sebab aku lebih hening dari telaga tanpa riak, tapi bergejolak jikalau kau telah sangsi atas ihwalku.

Kita dalam dimensi yang tak sama, hadirku atas perangaimu. Akulah molekul kata-kata yang kau pendam-peram, musabab diam.

Aku sudut sunyi di sukmamu, terus meronta tanpa suara, dan menjelma gulana dalam mimpi. Maka, pada perbinacangan yang bertaut denganku, lepaskan aku bagai air mengalir, terpancur lewat kata paling jujur.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Mei 2016



Mencari Sekar Nitra[4]

Sebagai Gurantang, kau adalah ketakutan yang mesti kuselamatkan, merebutmu dari Gendawa yang kini rupa dan perangainya menipu mata.

“Sebab kau, tak lagi kupahami sabda embun di pucuk rotan, yang merayap ke punggung pencarian!”

Hari ini, embun sahaja lahir atas namamu. Maka, segala dapat kupercaya kata dan isyaratnya.

Tapi Nitra, benarkah kau juga menunggu datangku? Sedang tanda dan isyarat yang kuterima, tak lebih dari angin yang menabrak tubuh, angkuh menahan langkah.


Jejak Imaji – Yogyakarta, Maret 2016



Bersua Mandalika[5]

“Dari onggok karang yang menjulang, kukenang kau menerjang lautan, hingga hilang digulung gelombang.”

Februari dini, selepas hunjam hujan malam, kurapal mantra jaring sutra, menagih janji sebelum pasir mendesir lagi. Duh, kala kita siap bersua, barangkali ombak sengaja tiada, sebab dada lebih berdebur, tanpa reda.

“Masihkah janji seteguh karang, Mandalika?”

Kuselam tepi malam, langkah menjamah laut surut, tapi tatap yang lindap tak mampu menerawang remang. O Denda, sebab kau tak juga tiba, kulantunkan rayu Datu Teruna, lalu tubuhmu menyembul-membubul, bawa cahaya dan laksa nugraha.

“Adakah yang semesra sua kita?”


Jejak Imaji, Yogyakarta – Februari 2016



Pelajaran-Perang[6]

Selepas ngaji dari santren, Mak, sarung kugulung, dan penunjuk Qur’an kuganti dengan mata jungkat.

Sebelum keluar, akan kugorok-tebaskan pesan Tuan Guru, yang tumbuh di tubuhku. Sebab ia, cumalah bendung paling bertuah, yang membikin urung perang.

“Apa lagi yang lebih puisi bagi kami, selain darah sepanjang parang-kelewang, juga isyarat darurat-gawat di mata jungkat?”

Telah, kutanam kata-kata di sukma, tumbuh, lalu berbuah angkuh dan bergetah darah. Maka, sejarah demi sejarah yang kutanam cumalah darah-nanah, Mak.

Dari mulut guru, segala jelma gambar jungkat di meja-meja madrasah, sementara di santren, lurus alif serupa parang-kelewang bagi mataku.

Darah, sepanjang jalan pulang. Tubuh musuh yang mati-lumpuh, akan kucincang dan kupajang di gerbang dan tembok-tembok ruang.

“Apa lagi yang lebih seni bagi kami, selain ciprat darah di sudut-sudut rumah?”

Sepulang dari perang, Mak, jungkat kusarung, dan mata air air matamu adalah padam bagi dendam, yang menyuluh di tubuh.


Jejak Imaji, Januari 2017



Bermain Parang[7]
: Kè’ Lèsap

“Dari sulur bunga siwalan, mengucur sari-sari nira
dari ketakutan dan pelarian, punggung-punggung kita jadi terluka
maka biarkan aku menutup mata dalam mabuk, lantas membusuk
setelah tertusuk di dada paling jeluk.”

Di sudut rumah, lambat-lambat parang akan berkarat
sebab esok, tangan anak-cucu tak lagi bertulang, tak kuat mengangkat
apalagi membabat leher-leher yang khianat.

Ajarkan padaku, bagaimana parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana mantra ditiupkan
sebab sering kali sepajang jalan, penjajahan dibangkitkan.

Bukankah kesakitan mesti dinikmati, Ki? Maka tusuklah aku
sebagaimana tusuk pada dadamu, biar kelak kesakitan
kukabarkan pada pokok-pokok siwalan, dan disampaikan
lewat air pesing sisa kolang-kaling.

Ajarkan padaku, bagaimana parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana mantra ditiupkan
sebab sesekali, anak-anak akan membentak ibu-bapak
dan di langgar-langgar, perjanjian dengan Tuhan dilanggar.

Di sudut rumah, lambat-lambat parang patah berkarat
sebab anak-cucu matanya buta, tak tahu apa
apalagi soal bermain dan main-main.

“Dari sulur bunga siwalan, mengucur sari-sari nira
dari nista dan lupa kita, maka segala menjadi kenang
dan membuntang di petang yang panjang.”


Yogyakarta, Februari 2017



Pelayaran Kembali[8]
: Sak-sak

Kelak, di barat daya pulau ini, akan kurakit kembali kapal Sak-sak
kuutus-layarkan ia ke Tanah Mataram, sambil memungut sejarah
di palung Selat Bali, yang tenggelam seribu tahun silam.

Pelayaran kembali, kumulai selepas sesak pohonan sisa Anjani
kubabat-habiskan dengan kelewang-kelewang panjang
sepanjang kelupaan demi kelupaan yang mengiris-kikiskan ingatan kita.

Bagi nakhoda, juga para penumpang
kuharamkan menyuka dan menyaku kenangan
meski sebesar percik di lautan.

Takkan ada pulau singgah, sebab perjalanan kembali
sering kali dihempas dan dirubah-arahkan gelombang pura-pura.

Seperti puncak Rinjani yang lengang-hilang kepada tiada
kita akan pulang ke tanah sejarah paling palung: sebermula ada kita.

Sesampai di Tanah Mataram, akan kususun-bangkitkan
tubuh Raja Surya, dari serakan aksara di lontar Kotaragama
lantas kubiarkan ia membelah malam, sambil merapal-rapal doa jaring sutra
yang menyembul-bubulkan janji-janji yang terkubur.

Seperti Jowarsah pulang ke tanah kelahiran
maka sejarah dan janji-janji yang kembali, bakal melumpuhkan pura-pura
sebagaimana angin pasat tenggara, tertekuk-lututkan di gerbang Kanoman.


Praya, Januari 2017



Riwayat Istri Taat[9]
: Masmirah[10]

/1/ Wanita Kacang Panjang

Dalam pejam, aku terkenang jarak sepasang alismu:
ia mengajarkan rindu.

Lentik bulu matamu
persis putik kembang-kembang kacang panjang
menggantung di pancang-pancang
yang dipersiapkan sedari ditanam
sedari pertemuan.

Apabila musim berbuah datang sudah
kau menjinjing bakul berjalan cantik dan cerdik
sepanjang pematang yang mewakili harapan-harapan:
kalau malam kau keluhkan.

Kesepian meyakinkan kita
bahwa rumput dan dedaunan
tidak sepenuhnya diluapi sepi dalam diamnya
ia berdoa sebagaimana aku mendoakanmu
agar upah tidak terbengkalai
oleh kendala-kendala yang dikirim musim.

Jika panggilan mengiang dari hari depan
suara patahan tangkai buah adalah sahutan
sekaligus kedip persetujuan:
kau tengah memadat-pampatkan isi bakul
sekaligus kemapanan dalam diri.

Pagi-pagi sekali
di tengah pasar mingguan
kau menggelar tikar berjualan:
tangan-tangan datang memilah dan memilih
sesuai kuantitas dan kualitas kegelisahan.

Petang-petang sekali
kalau di berugak laki-laki datang meminang
kau menggulung tikar pandan
sebab pengabdian belumlah dituntaskan.

            /2/ Wanita Rumah Jajar[11]

Di berugak[12], kau menjamu tamu
di atas bilah-bilah bambu yang membelah jarak
pemisah jari-jari dari jabat
yang mengekalkan jeri di kedalaman dada.

Di berugak, kau menjamu belian[13]
dengan sadah, sirih, dan kopi diseduh
juga pinang yang terbelah seperti kita
mulai memisah-misah dalam kebersamaan.

Terdepan adalah kehormatan
maka aku dan lelaki pengapel lain
perlu dihargai sekaligus menghormati
sebab menenteng kemungkinan-kemungkinan:
harapan atau tipu, setipis ampas bambu.

Di bale tani, rencana demi rencana kau susun semenjak di serambi
lantas sebelum ditanam, dipendam berbulan-bulan di para-para kamar
biar bangun, ingatan menjadi basah dan lecah seperti tanah sawah.

Di kamar dalam, rahasia dan luka kau simpan dalam-dalam
sebelum sisa ingatan dimasukkan ke rantang-rantang
dan ditenteng ke jalan pengembaraan.

Tapi sebelum itu
di sekenam[14], persiapan adalah mula pengembaraanmu
seperti perjalanan gulungan benang
di panjang palang jajak[15].

Kau adalah lungsin-lungsin[16], dikencangkan dan telentang
dengan dada dibuka lapang, lantas siap disisip motif
ulang-aling dari pengiring[17].

Di dadamu, tata krama disemat kuat sampai pampat
sebelum berharkat istri yang taat.


Jejak Imaji, 2017



[1] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[2] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[3] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[4] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[5] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD, 2017).
[6] Puisi ini terpilih sebagai nominator dalam “Lomba Cipta Puisi ASEAN 2017” yang diselenggarakan oleh DEMA FTIK IAIN Purwokerto dan termuat dalam buku Requiem Tiada Henti: Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-1 (SKSP, 2017).
[7] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[8] Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[9] Puisi ini terpilih sebagai Juara II dalam “Lomba Penulisan Puisi Remaja DIY 2017” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BBY) dan selanjutnya dimuat pada kolom Budaya koran Merapi edisi Jumat, 16 Juni 2017.
[10] Nama “Masmirah” merujuk pada panggilan kasih sayang kepada seorang wanita yang lazim didengar di kalangan masyarakat Sasak, di samping beberapa istilah lainnya.
[11] Rumah jajar atau disebut juga bale jajar, yakni bangunan rumah tempat tinggal masyarakat Sasak golongan petani yang terdiri dari berugak (gazebo khas Sasak) di bagian paling depan untuk tamu, bale tani atau rumah utama di tengah, dan berugak sekenam di bagian paling belakang berfungsi sebagai tempat belajar menenun, belajar tata krama dan nilai budaya, serta tempat pertemuan internal keluarga.
[12] Berugak atau berugaq, yakni bangunan (gazebo) khas Sasak berupa panggung terbuka dengan empat tiang dan atapnya menyerupai lumbung.
[13] Belian adalah sebutan untuk dukun Sasak.
[14] Sekenam, biasa juga disebut berugaq sekenam, yakni bagian paling belakang dari rumah jajar yang berfungsi sebagai tempat belajar menenun (khusus wanita), belajar tata krama dan nilai budaya, serta tempat pertemuan internal keluarga.
[15] Jajak, bagian depan alat tenun Sasak yang berposisi berdiri membentuk segi panjang di sebelah kanan dan kiri, dan memiliki palang tempat menggulung lungsin.
[16] Lungsin atau lusi adalah benang tenun yang disusun sejajar dan tidak bergerak (memanjang dari palang jajak) yang padanya benang pakan dari pengiring diselipkan dengan cara diulang-alingkan.
[17] Pengiring adalah alat penggulung benang hasil pintalan yang diulang-alingkan pada lungsin untuk membuat motif kain.
Share:

1 komentar:

  1. solah.solah... sang ida "payu jari" dek ilham rabbani, pacu2 aok!

    BalasHapus