Ikhbar Senja[1]
Denda,
ingat tidakkah kau pada ikhbar senja yang dulu maksa kita buat lari ngambil
peci, pergi ngaji bawa iqra?
Baru
kuingat kata Tuan Guru, ada kalanya santren
cuma tiang yang bakal tinggal, sepi bersawang, dan dihias kenang yang buntang.
Siapa
tau, nanti selepas magrib, Quran ditartilkan seperti tembang-tembang sumbang.
Saat
malam Jumat telah sunyi, tak beda dari malam biasanya, siapa kiranya yang bisa
nyanyi barzanji?
Kita
hanya laron yang buta pusat cahaya, terbang sembarang selepas hujan, lalu di
tanah lecah melepas lelah.
Denda,
selepas percakapan kita, entah santren makin bersawang atau malah ikut buntang,
siapa peduli? Sedang kita terlanjur pengap dan berindap, perlahan-lahan
hirap-lenyap.
Jejak Imaji –
Yogyakarta, Mei 2016
Di Senja Raya[2]
Selepas
senja kala, kita telah janji kan sua, akhiri imaji lama yang tak sempat kita
rajut, berdua. Inginku, tak perlu kau bawa belida
saat kutarik juntai kenanga di berai rambutmu, Denda. Sebab sejenak, kusimpan ia di gubuk sanak.
“Di tepi senja raya,
biarkan kata-kata yang coba mewarta kita, kusut oleh angin, sebab tiada rahasia
yang lebih purna dibanding sua kita.”
Biar
saja nyanyi jangkrik iringi malam, sembari kita mengendap-rayap meraba lusa, di
mana gula-garam teraduk, lalu kita teguk dari setadah mangkuk.
“Selaku Nitra, kau
harusnya tak ragu. Sebab, bukan Gendawa yang kuperankan, tapi Gurantang yang
menjemput patahan rusuk, di sepi malam.”
Denda,
kita tinggalkan langit yang melepas jingga, lalu saling sulam dengan malam.
Sampai
saatnya, benang terpintal jadi temali, lantas kuikat pada sukmamu, di mana kau
dan aku takkan lagi berkawan sunyi.
Jejak Imaji –
Yogyakarta, Mei 2016
Rahasia[3]
Kau
tempatkan aku pada ruang paling malam di hatimu, tertimbun bagai pusara tanpa
nisan, yang kapan saja dapat kau gali, semaumu.
Aku
bakal buntang dan hilang, saat wujudku terwakili kata-kata. Sebab aku lebih
hening dari telaga tanpa riak, tapi bergejolak jikalau kau telah sangsi atas
ihwalku.
Kita
dalam dimensi yang tak sama, hadirku atas perangaimu. Akulah molekul kata-kata
yang kau pendam-peram, musabab diam.
Aku
sudut sunyi di sukmamu, terus meronta tanpa suara, dan menjelma gulana dalam
mimpi. Maka, pada perbinacangan yang bertaut denganku, lepaskan aku bagai air
mengalir, terpancur lewat kata paling jujur.
Jejak Imaji – Yogyakarta,
Mei 2016
Mencari Sekar Nitra[4]
Sebagai
Gurantang, kau adalah ketakutan yang mesti kuselamatkan, merebutmu dari Gendawa
yang kini rupa dan perangainya menipu mata.
“Sebab kau, tak lagi
kupahami sabda embun di pucuk rotan, yang merayap ke punggung pencarian!”
Hari
ini, embun sahaja lahir atas namamu. Maka, segala dapat kupercaya kata dan
isyaratnya.
Tapi
Nitra, benarkah kau juga menunggu datangku? Sedang tanda dan isyarat yang
kuterima, tak lebih dari angin yang menabrak tubuh, angkuh menahan langkah.
Jejak Imaji –
Yogyakarta, Maret 2016
Bersua
Mandalika[5]
“Dari
onggok karang yang menjulang, kukenang kau menerjang lautan, hingga hilang
digulung gelombang.”
Februari dini, selepas hunjam hujan malam, kurapal mantra jaring sutra, menagih janji
sebelum pasir mendesir lagi. Duh, kala kita siap bersua, barangkali ombak
sengaja tiada, sebab dada lebih berdebur, tanpa reda.
“Masihkah
janji seteguh karang, Mandalika?”
Kuselam tepi malam, langkah menjamah laut surut, tapi tatap yang
lindap tak mampu menerawang remang. O
Denda, sebab kau tak juga tiba, kulantunkan rayu Datu Teruna, lalu tubuhmu menyembul-membubul, bawa cahaya dan
laksa nugraha.
“Adakah
yang semesra sua kita?”
Jejak
Imaji, Yogyakarta – Februari 2016
Pelajaran-Perang[6]
Selepas
ngaji dari santren, Mak, sarung kugulung, dan penunjuk Qur’an kuganti dengan
mata jungkat.
Sebelum
keluar, akan kugorok-tebaskan pesan Tuan Guru, yang tumbuh di tubuhku. Sebab
ia, cumalah bendung paling bertuah, yang membikin urung perang.
“Apa lagi yang lebih
puisi bagi kami, selain darah sepanjang parang-kelewang, juga isyarat
darurat-gawat di mata jungkat?”
Telah,
kutanam kata-kata di sukma, tumbuh, lalu berbuah angkuh dan bergetah darah.
Maka, sejarah demi sejarah yang kutanam cumalah darah-nanah, Mak.
Dari
mulut guru, segala jelma gambar jungkat di
meja-meja madrasah, sementara di santren, lurus alif serupa parang-kelewang bagi mataku.
Darah,
sepanjang jalan pulang. Tubuh musuh yang mati-lumpuh, akan kucincang dan
kupajang di gerbang dan tembok-tembok ruang.
“Apa lagi yang lebih
seni bagi kami, selain ciprat darah di sudut-sudut rumah?”
Sepulang
dari perang, Mak, jungkat kusarung,
dan mata air air matamu adalah padam bagi dendam, yang menyuluh di tubuh.
Jejak Imaji, Januari
2017
Bermain Parang[7]
: Kè’ Lèsap
“Dari sulur bunga siwalan,
mengucur sari-sari nira
dari ketakutan dan pelarian,
punggung-punggung kita jadi terluka
maka biarkan aku menutup
mata dalam mabuk, lantas membusuk
setelah tertusuk di dada
paling jeluk.”
Di sudut rumah,
lambat-lambat parang akan berkarat
sebab esok, tangan anak-cucu
tak lagi bertulang, tak kuat mengangkat
apalagi membabat leher-leher
yang khianat.
Ajarkan padaku, bagaimana
parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana
mantra ditiupkan
sebab sering kali sepajang
jalan, penjajahan dibangkitkan.
Bukankah kesakitan mesti
dinikmati, Ki? Maka tusuklah aku
sebagaimana tusuk pada
dadamu, biar kelak kesakitan
kukabarkan pada pokok-pokok
siwalan, dan disampaikan
lewat air pesing sisa
kolang-kaling.
Ajarkan padaku, bagaimana
parang mesti dimainkan
juga padanya, bagaimana
mantra ditiupkan
sebab sesekali, anak-anak
akan membentak ibu-bapak
dan di langgar-langgar,
perjanjian dengan Tuhan dilanggar.
Di sudut rumah, lambat-lambat
parang patah berkarat
sebab anak-cucu matanya
buta, tak tahu apa
apalagi soal bermain dan
main-main.
“Dari sulur bunga siwalan,
mengucur sari-sari nira
dari nista dan lupa kita,
maka segala menjadi kenang
dan membuntang di petang
yang panjang.”
Yogyakarta, Februari 2017
Pelayaran Kembali[8]
:
Sak-sak
Kelak,
di barat daya pulau ini, akan kurakit kembali kapal Sak-sak
kuutus-layarkan
ia ke Tanah Mataram, sambil memungut sejarah
di
palung Selat Bali, yang tenggelam seribu tahun silam.
Pelayaran
kembali, kumulai selepas sesak pohonan sisa Anjani
kubabat-habiskan
dengan kelewang-kelewang panjang
sepanjang
kelupaan demi kelupaan yang mengiris-kikiskan ingatan kita.
Bagi
nakhoda, juga para penumpang
kuharamkan
menyuka dan menyaku kenangan
meski
sebesar percik di lautan.
Takkan
ada pulau singgah, sebab perjalanan kembali
sering
kali dihempas dan dirubah-arahkan gelombang pura-pura.
Seperti
puncak Rinjani yang lengang-hilang kepada tiada
kita
akan pulang ke tanah sejarah paling palung: sebermula ada kita.
Sesampai
di Tanah Mataram, akan kususun-bangkitkan
tubuh
Raja Surya, dari serakan aksara di lontar Kotaragama
lantas
kubiarkan ia membelah malam, sambil merapal-rapal doa jaring sutra
yang
menyembul-bubulkan janji-janji yang terkubur.
Seperti
Jowarsah pulang ke tanah kelahiran
maka
sejarah dan janji-janji yang kembali, bakal melumpuhkan pura-pura
sebagaimana
angin pasat tenggara, tertekuk-lututkan di gerbang Kanoman.
Praya, Januari 2017
: Masmirah[10]
/1/ Wanita Kacang Panjang
Dalam pejam, aku terkenang jarak sepasang
alismu:
ia mengajarkan rindu.
Lentik bulu matamu
persis putik kembang-kembang kacang panjang
menggantung di pancang-pancang
yang dipersiapkan sedari ditanam
sedari pertemuan.
Apabila musim berbuah datang sudah
kau menjinjing bakul berjalan cantik dan
cerdik
sepanjang pematang yang mewakili
harapan-harapan:
kalau malam kau keluhkan.
Kesepian meyakinkan kita
bahwa rumput dan dedaunan
tidak sepenuhnya diluapi sepi dalam diamnya
ia berdoa sebagaimana aku mendoakanmu
agar upah tidak terbengkalai
oleh kendala-kendala yang dikirim musim.
Jika panggilan mengiang dari hari depan
suara patahan tangkai buah adalah sahutan
sekaligus kedip persetujuan:
kau tengah memadat-pampatkan isi bakul
sekaligus kemapanan dalam diri.
Pagi-pagi sekali
di tengah pasar mingguan
kau menggelar tikar berjualan:
tangan-tangan datang memilah dan memilih
sesuai kuantitas dan kualitas kegelisahan.
Petang-petang sekali
kalau di berugak laki-laki datang meminang
kau menggulung tikar pandan
sebab pengabdian belumlah dituntaskan.
/2/ Wanita Rumah Jajar[11]
Di berugak[12],
kau menjamu tamu
di atas bilah-bilah bambu yang membelah jarak
pemisah jari-jari dari jabat
yang mengekalkan jeri di kedalaman dada.
Di berugak, kau menjamu belian[13]
dengan sadah, sirih, dan kopi diseduh
juga pinang yang terbelah seperti kita
mulai memisah-misah dalam kebersamaan.
Terdepan adalah kehormatan
maka aku dan lelaki pengapel lain
perlu dihargai sekaligus menghormati
sebab menenteng kemungkinan-kemungkinan:
harapan atau tipu, setipis ampas bambu.
Di bale
tani, rencana demi rencana kau susun semenjak di serambi
lantas sebelum ditanam, dipendam
berbulan-bulan di para-para kamar
biar bangun, ingatan menjadi basah dan lecah
seperti tanah sawah.
Di kamar dalam, rahasia dan luka kau simpan
dalam-dalam
sebelum sisa ingatan dimasukkan ke
rantang-rantang
dan ditenteng ke jalan pengembaraan.
Tapi sebelum itu
di sekenam[14],
persiapan adalah mula pengembaraanmu
seperti perjalanan gulungan benang
di panjang palang jajak[15].
Kau adalah lungsin-lungsin[16],
dikencangkan dan telentang
dengan dada dibuka lapang, lantas siap
disisip motif
ulang-aling dari pengiring[17].
Di dadamu, tata krama disemat kuat sampai
pampat
sebelum berharkat istri yang taat.
Jejak Imaji, 2017
[1] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD,
2017).
[2] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD,
2017).
[3] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD,
2017).
[4] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD,
2017).
[5] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Rumah Penyair 4 (PBSI UAD,
2017).
[6] Puisi ini terpilih sebagai
nominator dalam “Lomba Cipta Puisi ASEAN 2017” yang diselenggarakan oleh DEMA
FTIK IAIN Purwokerto dan termuat dalam buku Requiem
Tiada Henti: Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-1 (SKSP, 2017).
[7] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang
Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[8] Puisi ini termuat dalam Antologi
Puisi Nusantara Lebih Baik Putih Tulang
Daripada Putih Mata (KML Bangkalan, 2017).
[9] Puisi ini terpilih sebagai Juara
II dalam “Lomba Penulisan Puisi Remaja DIY 2017” yang diselenggarakan oleh
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BBY) dan selanjutnya dimuat
pada kolom Budaya koran Merapi edisi
Jumat, 16 Juni 2017.
[10] Nama “Masmirah” merujuk pada
panggilan kasih sayang kepada seorang wanita yang lazim didengar di kalangan
masyarakat Sasak, di samping beberapa istilah lainnya.
[11] Rumah jajar atau disebut juga bale jajar, yakni bangunan rumah tempat
tinggal masyarakat Sasak golongan petani yang terdiri dari berugak (gazebo khas
Sasak) di bagian paling depan untuk tamu, bale
tani atau rumah utama di tengah, dan berugak sekenam di bagian paling belakang berfungsi sebagai tempat belajar
menenun, belajar tata krama dan nilai budaya, serta tempat pertemuan internal
keluarga.
[12] Berugak atau berugaq, yakni bangunan (gazebo) khas Sasak berupa panggung terbuka dengan empat
tiang dan atapnya menyerupai lumbung.
[13] Belian adalah sebutan untuk
dukun Sasak.
[14] Sekenam, biasa juga disebut berugaq
sekenam, yakni bagian paling belakang dari rumah jajar yang berfungsi
sebagai tempat belajar menenun (khusus wanita), belajar tata krama dan nilai
budaya, serta tempat pertemuan internal keluarga.
[15] Jajak, bagian depan alat
tenun Sasak yang berposisi berdiri membentuk segi panjang di sebelah kanan dan
kiri, dan memiliki palang tempat menggulung lungsin.
[16] Lungsin atau lusi adalah benang
tenun yang disusun sejajar dan tidak bergerak (memanjang dari palang jajak) yang padanya benang pakan dari pengiring diselipkan dengan cara
diulang-alingkan.
[17] Pengiring adalah alat penggulung benang hasil pintalan yang
diulang-alingkan pada lungsin untuk membuat motif kain.
solah.solah... sang ida "payu jari" dek ilham rabbani, pacu2 aok!
BalasHapus